Awalnya adanya kebijakan Pemerintah untuk mengganti LPG 3 kg dengan listrik, masih saya anggap relevan .  Alasan utama dari subsidi yang membengkak LPG 3 kg karena permintaan lebih besar  dari  supply LPG yang notabene masih impor itu tak sebanding dengan tahun yang lalu.  Angka-angka bisa menjadi indicator bukti bahwa pergantian itu sahid ,valid dan kuat alasannya.
PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Â sedang melakukan uji coba program konversi kompor LPK ke kompor Listrik atau induksi. Â Uji coba dilakukan di tiga kota besar, Denpasar , Solo dan salah satu kota di Sumatera.
Dalam uji coba itu, Â 1000 Â rumah tangga kota yang mendapat kompor industry dan alat masak dari PLN.
Kompor yang diberikan gratis itu terdiri dari dua tungku dengan daya 1.000 watt dan 1.800 watt khusus untuk mereka yang punya daya 450VA ,900 VA dan usaha mikro.
Tujuan uji coba untuk mengetahui  berapa kapasitas daya tungku yang cocok.  Bahkan Direktur PLN dalam Rapat pendapat dengan Komisi VII memaparkan  keuntungan kompor listrik.
Saya kaget mendengar usulan dari Banggar DPR untuk menaikkan daya listirk subsidi dari 450 volt ampere  menjadi 900 VA.
Anehnya usulan itu untuk menaikan daya tanpa membebankan biaya (kejanggalan). Â Tanggapan PLN mengatakan akan menerapkan keputusan yang diambil bersama oleh pemerintah dan DPR.
Isu Kelebihan pasokan listrik
Ditengah gencarnya isu konversi LPG Gas jadi kompor listrik, ada isu yang hebat sekali, ternyata PLN sudah menyatakan kepada DPR bahwa mereka oversupply untuk pasokan listrik, Â oversupply cukup fantastis 6 gigawatt. Angka ini akan membengkak menjadi 7,4 GW di 2023 dan 41 GW di tahun 2030.
Loh kok bisa oversupply?  Jadi PLN memiliki kontrak jual beli listrik dengan pengembang swasta yang disebut dengan  IPP, sering disebut dengan skema  Take or Pay.
Dalam skema ini PLN harus ambil semua pasokon listrik dari pembangkit listrik sesuai dengan kontrak. Jika tidak diambil PLN harus bayar, jika tidak dikenakan penalty.