Sebagai ibu rumah tangga, saya sudah mulai menghitung kenaikan barang konsumsi termasuk energi gas dan listrik.Â
Jika dulu saya sekali berbelanja sayuran di e-commerce sekitar Rp175-Rp 200 ribu, sekarang saya harus mengeluarkan uang sekitar Rp 200-Rp 225 ribu. Barang dan volume barang sama, tidak berbeda karena saya pusing untuk membuat menu baru.Â
Begitu juga belanja tambahan (ayam, ikan) di supermarket, terasa kenaikannya sekitar 15-20%. Gas sudah menyentuh Rp 200 ribu sebelumnya merangkak naik dua kali.Â
Juga listrik tagihan Juli dipastikan kenaikan sebesar 20%. Jadi secara rata-rata, inflasi untuk biaya makan plus energi (belum termasuk transportasi) sekitar 15% bagi saya.
Hari Rabu tanggal 6 Juli yang lalu, Rupiah sudah menyentuh Rp 15.015 dan IHSG sudah menyentuh 6,646.41, merosot 0,85.
Pidato Presiden Jokowi dengan tegas mengingatkan mereka yang suka makan roti dan mi, harus siap-siap untuk hadapi kenaikan harga. Kenapa?Â
Kita masih bergantung kepada Ukraina dan Rusia untuk impor gandum. Produksi gandum Rusia 130 juta, sementara Ukraina sebesar 55 juta. Namun, sejak perang Ukraina dan Rusia, ekspornya ke negara-negara Asia dihentikan.Â
Saat ini kebutuhan untuk gandum sebanyak 11 juta ton per tahun. Itu hampir 80% diimpor dari Ukraina. Kenaikan harga pangan impor akan meningkat sebesar 30-50 persen.Â
Saat ini Indonesia masih belum menaikkan karena sebagian pangan itu ada yang masih dihasilkan oleh petani, menggunakan stok lama.
Kondisi energi akibat perang Rusia -Ukraina pun membuat harga energi kita melambung tinggi. Harga patokan energi gas di pasar Internasional sudah mencapai US 110 -120 per barrel, sementara APBN kita masih menggunakan harga USD 60 per barrel.Â