Kita semua pasti telah mengetahui bahwa sebenarnya dalam UU No.24 Tahun 2011 disebutkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengamanatkan setiap WNI untuk ikut program BPJS.
Namun, kenyataannya ngga semua warga sukarela mengikuti apa yang diamanatkan oleh Pemerintah. Bahkan yang ada di pelosok daerah tidak mengetahui program dan manfaat BPJS.
Pemerintah ingin secepatnya mencapai target semua masyarakat masuk dalam BPJS karena per 10 Juni 2016 jumlah pesertanya yang baru masuk kepesertaan sebesar 166,9 juta.
Untuk mengejar itu, strategi yang dilakukan pemerintah adalah adanya peraturan dari presiden yang memberlakukan setiap urusan SIM, STNK, SKCK, umroh, syarat jual beli tanah harus memiliki BPJS
Aturan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa BPJS Kesehatan sebagai syarat mengurus administrasi beberapahal, termasuk SIM, STNK, jual beli tanah, hingga ibadah haji. Instruksi Presiden ini berlaku tanggal 1 Maret 2022.
Nah, yang pasti terutama bagi mereka yang punya mobil/motor, untuk urus SIM, STNK harus siap sedia untuk memiliki BPJS karena jelang tanggal 1 Maret aturan ini sudah diimplementasikan. Apalagi mereka yang harus mau bekerja untuk Surat Keterangan Catatan Kepolisisan (SKCK) pun harus punya BPJS.
Bagi yang mau melakukan transaksi jual-beli tanah, pun harus punya BPJS. Untuk urusan yang satu ini, saya sendiri merasa agak aneh apa kaitan antara BPJS dengan jual beli tanah.
Kesehatan yang dikaitkan dengan jual beli tanah itu tidak diketahui poin utamanya. Sekadar kewajiban atau hanya untuk menjaring untuk memenuhi target market? Apakah yang harus memiliki BPJS pembeli atau penjualnya atau pembeli dan penjualnya?
Menurut Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Kelembagaan, Teuku Taufiqulhadi menjelaskan, syarat jual beli tanah yang berlaku mulai 1 Maret 2022 bahwa jual beli tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah harus menyertakan Kartu BPJS Kesehatan sebagai syarat administrasi adalah untuk optimalisasi program JKN.Â
Artinya tidak ada kaitannya dengan kesehatan, semata-mata untuk optimalisasi program atau target dari BPJS sesuai dengan Undang-undang.
Apakah strategi pemerintah ini baik atau tidak?Â
Menurut saya baik dalam pengertian tujuan untuk kesejahteran Kesehatan seluruh masyarakat Indonesia. Hanya pertanyaannya adalah apakah dalam praktek pelayanan Kesehatan ini sudah maximal, atau bahasa yang lugas, masyarakat yang punya BPJS sudah merasa puas dengan pelayanan BPJS?
Jawabannya belum seluruh rakyat Indonesia puas dengan pelayanan, yang tidak puas sebesar 37,1% sedangkan yang puas pelayanan BPJS sebesar 47,6%.
Apa saja yang jadi kendala tidak puasnya pelayanan BPJS ?
1. Jika pasien yang sakit ringan dirujuk ke fasilitas pertama tidak mengapa, tetapi bagi pasien yang berat, ketika harus mulai dari rujukan fasilitas pertama dulu baru nantinya ke rumah sakit yang memang bekerja dengan BPJS, seringkali rumah sakit menolak pasien dengan kartu BPJS, mereka lebih menyukai pasien dengan asuransi swasta atau bayar pribadi.
2. Masifnya program tetapi tidak diimbangi dengan jumlah rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS menyebabkan antrean panjang dan lama untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Seringkali juga pasien harus berpindah-pindah rumah sakit karena ditolak. Penanganan pasien lama.
3. Kenaikan iuran belum diimbangi dengan peningkatan layanan yang memadai.
Kelemahan instruksi Presiden No.1 Tahun 2022
Target market yang ditentukan harus jelas bukan mereka yang sudah menjadi peserta BPJS, harus diidentifikasi siapa dan kategori mana yang memang belum menjadi anggota BPJS.
Sebagai contoh, apabila target market untuk middle-upper class karena mereka lebih suka membayar asuransi swasta ketimbang BPJS, maka tekanan untuk memiliki BPJS itu, harus disertai dengan jaminan manfaat yang jelas dan punya poin lebih dari pelayanan asuransi swasta.
Jumlah kepesertaan BPJS sekarang ini terdiri dari Penerima Bantuan Iruan (PBI) yang iuran dibayar oleh Pemerintah dengan rawat inap di kelas III, jumlah PBI per October 201 sebesar 85,01 jiwa dan sisanya untuk PBI sekitar 10,4 juta.
Proses screening penambahan PBI diintegrasikan dengan data dari Kementrian Sosial (DTKS) sebanyak 3,27 juta, data non DTKS turun 1,37 juta. Kuota hanya berkurang 1,93 juta.
Sayangnya, verifikasi ini masih terus dalam proses yang tak kunjung optimal. Bagaimana operator di lapangan dan aplikasi skreening tersendat karena anggaran pemerintah Daerah untuk melakukan verifikasi dan validasi.
Jika PBI yang tidak dapat divalidasi dapat dikurangi terus dan mereka yang tidak layak untuk menjadi PBI, harus terus dikurangi, lebih baik supaya hal ini jangan jadi beban BPJS.
Sulitnya data yang akurat untuk PBI sehingga diketahui berapa beban BPJS untuk biaya PBI.
Semakin sulitnya sekarang ini banyak warga yang saya ketahui dulunya menjadi anggota BPJS kategori Non-PBI karena bekerja dan dibayar oleh perusahaan. Tapi begitu tidak bekerja, langsung ingin turun level kategorinya menjadi PBI karena merasa tidak bekerja (belum tentu tidak bekerja, mungkin bekerja sendiri tidak bekerja di perusahaan).
Apakah hal ini juga jadi beban pemerintah?
Semoga kebijakan ini masih dapat diperbaik dari segi target market yang valid dan internal dari BPJS harus dilakukan secepatnya sehingga apa yang ditargetkan itu dapat dipenuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H