Pandemi gelombang kedua memang sangat dahsyat. Rumah sakit dan Fasilitas Kesehatan membludak dengan pasien, Bed Occupancy Rate ( BOR) di kota-kota di Jawa Tengah, seperti Semarang, Kudus, Magelang, dan Jakarta,  sudah mencapai  100%.  Pasien datang terus dan  tidak dapat ditampung lagi di rumah sakit.  Masih ada pasien yang menunggu,  terpaksa rumah sakit pun membuat tenda-tenda darurat di depan IGD (seperti tak layak ) untuk seorang pasien .
Bahkan, ketika satu persatu orang yang terpapar Covid, itu meninggal. Kesedihan, kekhwatiran makin mencengkeram hati kita . Â
Berita-berita kematian menjadi momok , hal tak menyenangkan dan membuat hati kita makin gelisah, Â takut terpapar Covid kemudian meninggal dunia.
Perasaan yang tidak tenang, itu membuat  warga atau masyarakat menjadi panik sekali.  Secara psikologis kepanikan yang tak normal menghinggapi diri warga sehingga mereka tak lagi  berpikir lagi secara rasional.
Dalam kepanikan itu yang tak rasional itu, warga menyerbu beli vitamin , obat yang berkaitan dengan Covid, bahkan oxygen menjadi barang langka karena semuanya dibeli oleh warga.
Bayangkan, dengan pembelian yang sangat besar jumlahnya dalam waktu yang sangat singkat, membuat harga vitamin, obat yang terkait Covid dan bahkan Oxygeen itu melambung tinggi. Padahal belum tentu pembeli yang panik itu membutuhkan. Â Justru mereka yang sakit, tak bisa membeli obat dan beli oxygen karena barangnya sudah habis dan tidak ada lagi.
Harga vitamin dan obat covid melambung tinggi, beberapa barang itu sudah tidak tersedia lagi di pasaran. Keponakan suami saya  yang sedang sakit covid, isolasi mandiri, mencoba mencari vitamin dan obat yang diberikan dokter, sulitnya untuk bisa mendapatkannya. Obat dan vitamin di dalam resep itu tak ada di beberapa apotik.
Yang sangat irasional, adanya video yang  mempertononkan adanya suatu produk susu yang diserbu oleh warga . Warga , sangat panik dan tak punya nalar lagi, apakah benar susu itu dapat menyembuhkan covid, dari mana sumber berita itu karena tidak ada Lembaga Kesehatan yang menyatakan adanya uji klinis dari obat maupun produk susu yang jadi obat Covid-19.
Kepanikan yang irasional ini umumnya disebabkan oleh media social yang menyebarkan isu bahwa obat ini sangat penting dan bisa menyembuhkan covid, atau minuman ini sangat bagus untuk menyembuhkan covid.
Padahal semua berita yang disebarkan di media social itu faktanya tak semuanya benar. Digital literasi yang dimiliki oleh warga untuk cek fakta atas kebenaran berita itu belum dimiliki. Literasinya masih rendah dan tidak berusaha untuk mengecek kebenaran sebelum membagikan.
Seharusnya warga harus mengecek berita tentang Kesehatan itu pada sumber berita yang dipercaya seperti Kementrian Kesehatan, BPOM, WHO dan CDC. Â Dari sumber berita yang dapat dipercaya, kita bisa mengerti dan memahami bahwa banyak hoaks berita yang disebarkan tanpa tanggung jawab.
Inilah 4 cara untuk cegah "panic buying"
1.Berita yang konsisten dan tersusun dengan baik
Informasi Pemberitaan tentang kerugian dari "pani buying" Â dilakukan oleh pemerindah, media dan toko-toko dan supermarket. Â Berita yang mengatakan bahwa stok atau persediaan barang masih cukup banyak dan tidak perlu "panic Buying" untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka.Â
Narasi yang diberikan seharusnya "Apabila Anda melakukan pembelian berlebihan dapat menyebabkan orang yang membutuhkan tidak mendapatkan, akibatnya  Kesehatan atau kebutuhan hidup orang lain jadi taruhannya, mereka tidak dapat diselamatkan karena Anda melakukan yang tidak bena. Apabila hal ini terjadi pada keluarga Anda, bagaimana sikap Anda sendiri?  Harap Anda berbelanja dengan bijak".
2. Mengurangi Sharing Media Sosial
Platform Facebook telah memiliki fitur yang mencegah orang untuk menyebarkan berita berulang-ulanng seperti berita Covid yang tidak relevan untuk disebarkan dan akan merugikan pembacanya sendiri.Â
Jika Anda sebagai pembacanya, memang benar ada kemerdekaan bagi setiap orang untuk menyebarkan tetapi harus diingat bahwa informasi yang terkontaminasi dengan  berita buruk , akan menimbulkan hal yang tidak baik bagi orang yang menerima dari berita yang Anda sebarkan.
Oleh karena itu keyakinan bahwa ada kebebasan untuk  pemberitaan itu harus disertai dengan tanggung jawab social bahwa berita itu adalah berita yang baik dan benar.
3. Memindahkan foto atau video yang memperlihatkan kelangkaan barang
Kadangkala kondisi dari antrian orang untuk mendapatkan oxygen dan obat akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi bagi orang yang melihatnya. Sebaiknya media TV tidak memperlihatkan kondisi ini , bahkan tidak memperbolehkan media TV  untuk menyoroti kondisi stock barang yang memang kosong di toko obat atau menginterview  kepada pemilik apotik/obat. Â
4. Merestorasi control diriÂ
Sejalan dengan pemikiran  manusia ketika melihat stok barang yang  semakin menipis membuat perasaan kita makin takut terhadap barang yang dibutuhkan, sehingga akhirnya berdampak  persepsi kehilangan control.Kita harus merestorasi dan menunjukan kenormalan sebagai manusia yang memenuhi kebutuhan secukupnya tidak berlebihan.
       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H