Barangkali ada yang kaget dengan judul di atas. Agak provokatif?  Merujuk peristiwa sebelumnya sepasang teroris muda di Gereja Katedral di  Makasar yang bunuh diri dengan bom di Gereja itu, hati saya pun berdetak, mengapa pasangan milenial itu dapat melakukan aksi terorisme dengan mengurbankan dirinya.
Ditambah saat saya melihat cuplikan video "teroris perempuan muda yang masuk ke Mabes Polri itu mengacungkan pistolnya dan menembaki sasaran yang ditujunya. Â Lalu, tak berapa lama lagi, tubuh perempuan muda teroris itu tersungkur di tanah .
Aksi terakhir di Mabes Polri itu yang dilakukan oleh seorang perempuan muda milenial. Â Saya sebagai ibu hatiku benar-benar prihatin dan trenyuh melihat keberanian dan kenekatan perempuan muda itu . Nekad yang tidak benar. Â
Peristiwa itu melibatkan pikiran dan emosi saya yang sulit mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Bagaimana hati seorang ibu tidak sedih hatinya melihat putri, putranya terlibat dalam aksi teroris. Â
Tak ada seorang ibu pun yang menginginkan anaknya jadi seorang teroris. Â Mengapa hal itu bisa terjadi? Bergejolak pertanyaan yang membawa saya tidak bisa tidur malam itu.
Apakah ini fenomena gunung es dari para milenial yang mudah sekali terprovokasi dengan ajaran radikalisme?
Gaya hidup para milenial itu usianya sekitar 24-26 tahun itu memang berbeda dengan milenial generasi sebelumnya. Â Milenial itu sejak kecil sudah mengenal yang namanya digital atau paling sedikit punya gadget. Â Gadget yang digunakan anak-anak itu memiliki konten-konten yang bermacam-macam. Â
Sisi positifnya, anak-anak bisa belajar segala hal melalui digitalisasi, namun sisi lainnya anak --anak itu yang belum dibekali literasi tentang digital tidak mengenal apa akibatnya jika mereka mengakses konten yang negatif, tidak mendidik? Â Mereka mudah sekali terkena paparan negatif karena mereka belum belajar mengindentifikasi mana yang benar, mana yang tidak, mana yang positif dan mana yang tidak.
Lalu siapa yang berperan atas literasi digital bagi anak yang belum punya pengalaman digital itu? Tentu orang yang terdekat dengan anak adalah orangtuanya melalui pendidikan.
Bagaimana orang tua berperan dalam pendidikan anak agar tidak terpapar radikalisme?
Pendidikan literasi digital itu bukan diberikan setelah anak dewasa. Jika diberikan setelah dewasa, sangat terlambat karena mereka akan mengatakan, tidak ada gunanya, mereka sudah bisa berpikir sendiri dan pasti menolak campur tangan  orang tua.