Hari itu tanggal 2 Maret 2020, kebiasaan kami bertiga setelah beribadah dari gereja, kami pergi berbelanja di suatu supermarket.  Belanja mingguan ini untuk mengisi stok yang habis .  Apalagi anak saya jadi anak kos, biasanya hari minggu sebelum balik ke kos akan belanja untuk konsumsi minggu berikutnya.
Begitu kami sampai di depan supermarket, anak saya langsung kaget melihat  antrian orang yang mau bayar di kasir itu mengular panjang.Â
Dialog yang panjang pun terjadi. Â Anak: "Mah, ini khan belum Ramadan?" Â Jawab saya: Â "Iya, kenapa mereka borong makanan dan keperluan rumah tangga begitu banyak?"
"Apakah supermarket akan tutup?" tanya anak selanjutnya.Â
 Saya jawab: "Rasanya tidak, apabila sekarang ini sedang musim Covid 19,  mereka mungkin takut adanya lockdown", jawab saya.
"Loh lockdown, khan masih ada toko yang buka?"tanya anak lagi.Â
 "Betul, lockdown bukan berarti tidak ada toko yang menjual makanan untuk keperluan sehari-hari.  Umumnya, hal-hal yang esensial seperti makanan, apotik , bank itu tidak bisa tutup".
Fenomena mengular itu ternyata bukan sekedar di kota tempat tinggal saya. Â Beberapa minggu kemudian sehari jelang Ramadan, seorang keponakan juga posting, di supermarket di kota Pekalongan. Postingnya foto antrian belanja itu sudah mengular panjang. Â Ditengah pandemi yang terjadi demikian mencengkam, Â orang lupa untuk melakukan "physical distancing".
Apa penyebab "panic buying"?
Menurut Dr. M. Grohol, Psy.D. yang merupakan pendiri dan editor in chief Psych Central, keinginan panic buying bisa dipengaruhi orang lain karena adanya penularan emosi. Â Ketika orang tidak dapat mengontrol emosi ketakutan, kekhawatiran, dia langsung mengikuti orang lain. Ketika dia sudah memborong makanan, dirinya merasa lega . Kelegaan yang tidak sewajarnya. Â Hal ini hanya ditimbulkan oleh emosi dan keinginan kepuasan hati belaka.