Jelang ramadhan, saya selalu mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan warga. Baik warga yang ada di kota maupun di daerah, kampung dan sekitarnya.
Menarik sekali karena justru kegiatan itu menjadi suatu aktivitas kebersamaan dan silaturahmi yang  membuat warga jadi semakin semarak dalam menanggapinya.
Tradisi Nyadran:
Salah satu tradisi yang tetap dijalankan sampai saat ini adalah "Nyadran".  Nyadran ini diselenggarakan di setiap bulan ruwah dalam penanggalan jawa.  Jelang ramadhan, para warga di desa kecamatan Cepogo, kabupaten Boyolali.  Ada 15 desa yang berada di kaki Gunung Merapi.  Mereka sudah mempersiapkan  untuk menggelar nyadran secara bergantian sesuai dengan penanggalan Jawa yang ditetapkan oleh leluhur.
Perjalanan dilanjutkan ke rumah warga-warga. Â Di setiap rumah telah tersaji hidangan dengan berbagai macam . Tamu diharapkan datang . Â Pemilik rumah menyambut tamu di tangga dan saudara dari berbagai desa bergantian datang. Â Mereka akan makan bersama-sama dan setelah itu gantian pemilik rumah pun akan datang ke tempat orang lain.Â
Silaturahmi yang sangat kental dengan nuansa ikatan erat antar persaudaran ini masih menjadi tradisi kuat yang tetap teguh dilakukan dan dirawat oleh mereka yang berada di desa-desa.
Tradisi Dugderan:
Melihat Semarang di setiap kali jelang Ramadhan adalah melihat masa kecil saya.  Saya teringat sekali ada banyak pedagang kecil yang berjualan di sepanjang jalan  di Pasar Johar, sampai ke Jalan Pemuda.
Dugderan itu merupakan festival khas kota Semarang, pertanda dimulainya bulan suci Ramadhan. Â Ketika dibuka oleh Walikota biasanya dimeriahkan dengan bunyi mercon dan kembang api. Suara "Dug" itu berasal dari bedug . Sementara "deran" berasal dari mercon yang dibunyikan.
Khas barang yang dijual adalah warag ngedok. Â Filosofi dari warg ngendok adalah untuk pendidikan agar melaksanakan ibadah dengan menjaga kesucian dan memantapkan ketaqwaan kepada Allah.