"Mah, minta uang buat beli jajan!" kataku sambil merayu ibuku.
"Tidak ada uang jajan yach!" jawab ibu.
"Nanti gimana dong kalau lapar?" tanyaku.
"Ibu sudah bawakan makan siang dan penganan di dalam tas sekolahmu!" jawabnya tegas.
Sambil mengisak-isak, aku masih merayu ibuku untuk memberikan uang jajan karena aku sering melihat teman-temanku dapat jajan di sekolah.  Sementara diriku, tak punya uang maka tak bisa jajan.  Saat itu aku  masih kelas 2 SD dan tak paham kenapa ibuku tak memberi uang . Aku pikir beliau pelit, beliau tak punya uang . Â
Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, Â orang sering mengatakan dan beranggapan bahwa saya dididik dengan manja karena jarak umur saya dengan kakak perempuan saya berbeda hampir 11 tahun. Â Seolah-olah semua kasih sayang ayah dan ibu serta kakak tertumpah buat saya.
Kenyataannya tidak, karena  apa yang saya alami justru sebaliknya.  Cara mendidik ibu terhadap saya sangat mementingkan pendidikan karakter.  Sejak dini beliau sudah menyiapkan diri saya untuk bisa mandiri , belajar untuk bisa sekolah sendiri, mengatur diri seperti pakaian, kamar sendiri harus dipersihkan. Semua diajarkan sejak dini.  Beliau selalu mengkhawatirkan apabila saya tidak bisa mandiri nantinya akan merepotkan diri saya  sendiri.  Beliau merasa dirinya sudah tua saat melahirkan, dan mengkhawatirkan tidak cukup banyak waktu untuk mengawasi saya apabila tidak mendidik sejak dini.
Walaupun ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa, namun, beliau selalu memiliki wawasan yang sangat luas untuk masa depan kedua-anaknya. Utamanya adalah pendidikan karakter dan kedua adalah pendidikan formal bagi anak-anak untuk masa depan.Â
 Cerita di atas adalah untuk mendidik diriku tidak jajan karena dengan alasan untuk menjaga kesehatan , makan sembarangan.  Walaupun di sekolah guru-guru sering mengajar kepada muridnya untuk tidak jajan, kenyataannya teman-teman saya sering jajan di kantin atau di luar sekolah yang seharusnya tidak diperbolehkan oleh pihak sekolah.
Beliau sangat memperhatikan kesehatan saya karena sejak kecil saya sering sakit-sakitan. Hampir tiap bulan saya batuk dan pilek. Â Batuk dan pilek saya tidak berhenti walalupun sudah minum obat. Berhenti ketika ibu membawa ke dokter dan minum obat resep dokter. Di tempat dokter selalu mengingatkan ibu untuk tidak makan sembarangan seperti gorengan, es supaya saya tidak selalu batuk dan pilek, dan menjaga stamina kesehatan saya.
**********
"Nak, mamah dan kakak tidak bisa ikut liburanmu, jaga diri dan tidak boleh nakal di rumah bibi yach!" pesan mamah
Berlibur di rumah bibiku di luar kota merupakan suatu impian karena baru pertama kali aku diperbolehkan bermalam di luar kota dan tinggal di rumah bibi . Â Â
Ketika ibu mengantarkan aku di tempat "travel" , beliau Berpesan kepada supir untuk mengantarkan diriku (saat itu aku berumur  12 tahun) ke alamat bibi.  Lalu beliau menyelipkan uang kepadaku. Tanpa pesan  apa-apa,  mobil "travel" sudah akan berangkat ke kota tempat tinggal bibi.
Selama liburan aku senang sekali tinggal di rumah Bibi. Merasakan suasana dan kota yang berbeda dengan keluarga dan kotaku.   Tanpa terasa liburan hampir habis.  Tiba-tiba aku  teringat uang yang dititipkan oleh ibuku.  Nach kalau uang ini utuh buat apa ibu memberikannya.  Uang titipan ini seharusnya dibelikan oleh-oleh untuk ibuku , dalam hatiku, jika ibu dibelikan oleh-oleh pasti senang.
Lalu, diantar oleh Bibi, aku pergi ke toko oleh-oleh, Â membeli banyak sekali oleh-oleh sambil menghabiskan uang yang diberikan oleh ibu.
Travel yang mengantarkan aku hampir sampai di rumah. Tak sabar rasanya aku untuk berteriak kepada ibu.
Dari kejauhan, aku memanggil ibuku.
"Mamah, aku pulang!" teriakku.
Mendengar teriakan itu, ibu tergopoh-gopoh menjemput diriku  di depan rumah.
"Wah, kamu kok segar banget berlibur di rumah Bibi.  "Kerasan" (senang ) yach  di rumah Bibi? "tanyanya.
"Iya dong , mah!" kataku.
"Ini ada oleh-oleh buat mamah dan kakak!" sambil menyodorkan oleh-oleh khas makanan daerah yang dibungkus dalam doos yang sangat besar sekali.
Mata ibuku melotot melihat bungkusan besar itu dan Beliau hampir tak bergeming.
"Kamu beli oleh-oleh atau mau jualan?" tanya ibuku hampir tak percaya dengan apa yang kubawa.
Aku agar terperanjat dengan respon Ibuku. Tadinya aku mengharapkan Beliau sangat gembira menyambut oleh-oleh yang kubawa. Â Namun, kenyataannya, beliau justru terperanjat.
Lalu tangannya menggandeng diriku masuk ke dalam rumah.
Beliau bertanya dengan perlahan-lahan, "Berapa yang kamu belanjakan untuk oleh-oleh?".
"Semuanya, Bu!" kataku dengan polos.
Muka ibu berubah menjadi merah padam. Namun, beliau masih dengan suara yang tertahan menahan kemarahan: Â "Begini yach Nak, maksud Ibu memberikan uang itu adalah untuk keperluan yang mendesak, jika kamu sakit di rumah Bibi. Bukan oleh-oleh untuk ibu. Â Uang itu sangat berharga , uang itu susah mencarinya, jadi kamu tidak boleh menghambur-hamburkan untuk diri sendiri atau untuk ibu!"
Aku terhenyak mendengar pesan yang tidak kuharapkan. Â Pesan yang memang mengandung kebenaran, tapi aku masih merasa tak suka karena usahaku menyenangkan ibuku tak direspon dengan baik.
**********
Waktu berjalan dengan sangat cepat, aku masuk dunia pubertas.  Aku berkenalan dengan seorang pemuda dalam sebuah kegiatan pramuka.  Pemuda yang usianya berbeda 4 tahun itu  sedang mendekati diriku.  Kami suka ngobrol di rumahku.  Setelah bergaul hampir 2 tahun, pemuda itu akan kuliah ke Jakarta. Rasanya sedih banget, tapi demi masa depan tentunya  menyerahkan keputusan untuk berangkat .Â
Saat itu belum ada HP . Hubungan kami hanya melalui surat menyurat saja. Bulan pertama, kedua masih lancar. Namun, bulan berikutnya surat sudah berhenti . Â Dengan berhentinya surat, aku bingung luar biasa, ingin ada kepastian . Â Tapi tak ada kepastian yang diterima. Menunggu kepastian itu suatu kondisi yang sangat mengganggu konsentrasiku. Â Akhirnya, aku mendengar dari seorang temanku yang kuliahnya sama dengan pemuda itu bahwa dia sudah punya cewek lain.
Mendengar berita itu aku, sangat "down" dan hilang semangat hidupku, apalagi menghadapi ujian akhir di SMA. Â Ibuku yang melihat gelagat yang tidak baik itu datang dengan tepat.Â
"Dunia ini tidak sedaun kelor, jika dia bukan jodohmu, kenapa engkau harus menangisinya. Tuhan pasti berikan yang lebih baik dari padanya. Â Ayo belajar , kejar ilmu dan cita-citamu. Â Jangan menangisi masa lalu, tatap masa depanmu, berdiri tegak, lanjutkan pelajaranmu. Ibu akan doakan yang terbaik yang Tuhan berikan untukmu!" kata ibu-ibu.
Kata-kata itu sangat mempengaruhi diriku, semangatku bangkit dan aku memberanikan untuk meninggalkan kesedihan dan kenangan indah masa laluku. Â Kekuataan ini hanya aku dapatkan dari dukungan kuat dari ibuku yang datang tepat pada waktunya. Â Beliau terus mendoakan diriku, sehinga aku bisa kuliah di Jakarta.
**********
Selesai kuliah, aku bekerja. Â Bekerja selama hampir 4 tahun, lalu aku pengin kuliah lagi. Â Bekerja sambil kuliah memang berat, tapi itulah perjuangan yang ingin kuwujudkan. Â Tapi suatu hari dalam kelelahkan bekerja dan kuliah, aku jatuh sakit. Â Â Sakit panas yang kupikir hanya kelelahan saja.
Namun, ketika dokter telah memeriksa saya, maka  dokter mengatakan "Anda harus masuk langsung  ke Rumah Sakit, karena typhus!"
Bingung dong, ngga bawa apa-apa, minta izin pulang kos, lalu bawa baju untuk masuk rumah sakit. Â Dengan kebiasaan mandiri, saya masuk rumah sakit sendirian tanpa diantar siapa pun, mulai mendaftar sampai masuk ke ruangan. Â
Selama di rumah sakit, saya hanya melapor ke kantor, saya tak mau memberitahukan ibu . Alasan utamanya, beliau sudah sangat sepuh , usia beliau hampir 75 tahun . Beliau tinggal sendirian , karena ayah saya sudah meninggal . Â Beliau tinggal di kota Semarang, sedangkan saya di Jakarta. Beliau tak mengetahui seluk beluk Jakarta. Â
Bagi saya memberitahukan kepada ibu artinya hanya menyusahkan dan merepotkan dirinya yang sudah tua. Â Namun, tanpa saya ketahui, ketika saya sedang tidur, tiba-tiba saya terbangun karena mendengar suara beliau. Saya kaget luar biasa kenapa beliau bisa datang ke Rumah sakit tempat saya dirawat? Â Siapa yang memberitahukan? Â Â
Saya hampir marah kepada orang yang memberitahukan tentang saya kepada ibu saya. Â Ternyata ibu saya menangkap kegelisahan saya. Â Â Â
"Nak, jika kamu sakit tapi tidak memberitahukan ibu, justru ibu yang jadi sakit nantinya.  Ibu  merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirimu.  Jika ibu sudah melihat apa yang terjadi dengan dirimu, ibu lebih tenang!"
**********
Hadiah ibu bagi saya adalah pendidikan karakter, penguatan dan pemberi semangat ketika saya sedang dalam titik nadir,  kasihnya yang tak bersyarat dan tak terbatas  saat saya sakit , teladan dan sikap hidupnya yang sangat mulia.
Tidak pernah dapat dibalaskan hadiah yang tak ternilai itu walaupun beliau sudah mendahului saya dan  selama perjalanan hidup tuanya Beliau  tak pernah mengeluh,  hidupnya  di kursi roda merubah dunianya yang aktif menjadi seorang invalid,  penuh penderitaan selama hampir 17 tahun kecelakaan kendaraan merenggut kedua kakinya yang  patah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H