Indonesia hanya mengenal dua gender dalam praktek kehidupan masyarakatnya.  Gender lelaki atau gender perempuan.  Dari status gender itu , akan menentukan fungsi sosial dan pekerjaannya. Sebagai contoh jika seorang bergender perempuan, maka pekerjaannya  sebagai ibu rumah tangga, mencuci, mengasuh anak. Tidak pernah terbetik  status "gender ganda" atau keberagaman gender dalam status sosial.  Ketika seorang seniman yang kebetulan berstatus gender lelaki, tetapi pekerjaannya sebagai penari, hal ini menjadi suatu penolakan bagi masyarakat luas. Masyarakat Indonesia belum mengenal arti keberagaman gender dalam arti luas, seorang lelaki dapat berperan sebagai gender lelaki maupun sebagai gender perempuan, walaupun fisiknya lelaki.
Sejarah terbentuknya "Gandrung"
Pada tahun 1772 terjadi penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Rakyat Mataram dan Madura untuk merebut Blambangan. Â Perebutan dimenangkan oleh Kompeni . Blambangan menjadi suatu negara di bagian timur Jawa yang akhirnya bernama Banyuwangi. Â Rakyat yang kalah harus melarikan diri ke hutan dan banyak yang tidak berani menampakan diri . Mereka lebih menyukai tinggal di hutan ketimbang harus menyerahkan diri. Â Gandrung muncul dalam bentuk seseorang penari lelaki yang menghibur dengan kendangnya dari suatu rumah ke rumah. Lelaki dengan dandanan seorang perempuan. Â Berkat adanya Gandrung, yang dipakai sebagai alat perjuangan dalam menyatukan rakyat yang masih tinggal tercerai berai di hutan diminta untuk kembali ke kota. Â Akhirnya dengan pendekatan Gandrung, rakyat berhasil dibawa kembali ke ibu kota yang bernama Tirta Arum. Â Â Tirta Arum berubah nama menjadi Banyuwangi.
Gandrung wanita yang pertama kali pada tahun 1895 karena adanya seorang ibu bernama Semi .  Ibu Semi bernazar apabila anaknya yang sakit itu sembuh dari penyakitnya maka ia akan meminta anaknya menjadi  Seblang.  Sebelang artinya  Itulah babak awal adanya Gandrung wanita yang pertama kalinya.  Kesenian tradisional ini dilanjutkan oleh anak-anak perempuan IBu Semi dalam pertunjukkan di panggung.
Sejarah mencatat bahwa untuk pertama kalinya Gandrung dimainkan oleh lelaki. Lelaki yang didandani seperti perempuan, menggunakan pakaian penari perempuan , diringi  oleh musik kendang.
 "Gandrung Lanang" berasal dari kata Jawa . Menurut Kamus Bahasa Indonesia pengertian kata "Gandrung" adalah sangat rindu akan; tergila-gila karena asmara; sangat ingin mendambakan.   Konotasinya kata gandrung mengarah kepada keinginan erotis dalam asmara. Sedangkan Lanang berarti laki-laki.  Namun istilah Gandrung dalam konteks  Kesenian rakyat di Banyuwangi artinya terpesonanya Rakyat Blambangan sebagai negara argaris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang mendatangkan kesejahteraan kepada masyarakat.  Untuk pengucapan syukur kepada Dewi Sri itulah terciptalah tarian Gandrung sebagai kesenian diadakan setelah panen
 Pakaian yang dikenakan oleh penari laki di bagian atas atau kepala dihiasi dengan omprok atau mahkota terbuat dari kulit kerbau dengan ornamen bergambarkan tokoh Antasena dan berwarna  merah dan orange. Di bagian mahkota ada  ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya.  Ditambahkan dan dipasang hio pada bagian omprok, untuk menambah kesan magis.
Di bagian tubuh, penari memakai baju hitam dari beludru berbalutkan, ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka.
Di bagian bawah,  penari memakai batik yang bercorak  dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi
Pada tahun 1930 an, setiap kali pertunjukkan pemain selalu memakai kaos kaki putih.
Perkembangan dalam Penolakan Penari Gandrung Lanang