Ingatanku melayang kembali kepada masa lalu . Almarhum ibuku dengan latar belakang bukan sarjana tetapi lulusan SMA pada zaman Belanda. Namun pemikirannya tentang keuangan sangat handal. Beliau dengan pola pemikiran yang cukup modern, memiliki prioritas hidup dalam keluarga adalah pendidikan.  Caranya sangat sederhana. Inilah yang  aku ingat saat aku bersekolah dari SD hingga SMA.
 "Nak , ini uang  bukan untuk jajan tapi untuk nabung!" kata ibuku.
Tiap hari atau minggu , saat beliau punya uang, dia menitipkan uang kepadaku.   Pola  yang sangat primitif untuk menabung pada waktu . Disuruhnya aku menabung  di "celengan" karena beliau belum mengenal produk perbankan.  Aku diajar untuk menabung demi masa depanku. Pesan ini terjadi hampir 40 tahun yang lalu.  Pemikiran ibuku sangat visioner. Beliau melihat jauh ke masa depan anaknya yang paling penting dalam hidupnya.  Beliau minta aku menabung untuk biaya pendidikanku.  Beliau takut jika ayahku tak mampu bekerja lagi karena kondisi tubuhnya yang lemah karena faktor umur  sementara aku sebagai anak terkecil dari dua bersaudara masih memiliki cita-cita untuk menyelesaikan pendidikanku.
Menabung , menentukan Prioritas hidup  dalam pengelolaan keuangan itu sangat sederhana diajarkan oleh ibuku, tapi ajaran itu menempel terus dan jadi pedoman dalam hidupku. Â
Begitu masuk dalam dunia kerja, aku sudah melakukan rencana keuangan sederhana dalam hidupku.  Awalnya tentu dengan membuat tujuan atau goal yang ingin dicapai dalam hidupku.  Mimpiku, pengin rumah, mobil dan kuliah lagi.  Aku mengkalkulasi dengan sangat sederhana semua dana dari setiap prioritas yang ingin kucapai.  Untuk rumah, aku beruntung dapat pinjaman dari kantor, tetapi tiap bulan aku harus siap dengan potongan angsuran rumah l/3  dari gaji .   Lama potongan ini akan berlangsung selama hampir 15 tahun .  Aku menghitung lagi, apakah gajiku cukup jika  dipotong angsuran  untuk biaya hidup sehari-hari,  beli mobil serta kuliah.  Ternyata tidak cukup.  Aku harus menunggu sampai 3 tahun lagi untuk prioritas kedua membeli mobil.  Ketika gajiku tiap tahun naik sekitar 6%-10% maka dana tambahan itu barulah aku pakai untuk cicilan kedua yaitu untuk beli mobil.    Jadi tambahan dana dapat dipakai untuk mencicil mobil. Lalu bagaimana dengan kuliah, aku terpaksa putar otak lagi,setiap kali aku mendapatkan uang bonus atau THR, aku tabung . Setelah tabungan itu mencukupi untuk biaya kuliah , barulah aku mulai kuliah lagi.
Inilah pengalaman jadi finansial planner waktu aku masih jomblo alias single.
Lalu bagaimana ketika aku ingin menikah. Â Sebelum menikah, saya dan calon suami sudah bicara secara terbuka tentang keuangan keluarga . Â Meskipun kami berdua berlatar belakang dari ekonomi, tapi kami perlu belajar untuk tetap mempraktekan sebagai financial planner bagi keluarga kami.
Membangun keluarga ternyata  banyak sekali  kebutuhan yang harus kami wujudkan.  Saat itu mimpi kami adalah kami dapat membiayai pendidikan anak dari SD sampai perguruan tinggi, memiliki dua kendaraan (satu untuk bekerja dan satu untuk mengantar anak sekolah), memiliki asuransi kendaraan, kesehatan, rumah dan liburan setiap kali cuti.
Begitu kami kalkulasi semua biaya dari rencana mimpi itu, mendadak sontak kami kaget dan ternganga dengan besarnya biaya yang harus disiapkan .   Kami harus realistis untuk menentukan Prioritas Hidup, pilihan antara  kebutuhan penting dan tidak penting.  Terpaksa, kami  membuat revisi  mimpi yang paling ingin dicapai.  Setelah berpikir matang-matang, kami menganggap biaya pendidikan anak dan asuransi kesehatan yang jadi prioritas utama.  Lainnya masih masuk dalam  daftar "waiting list". Â
Lalu, kami berdua menghitung kembali secara detail berapa biaya untuk asuransi kesehatan dan biaya pendidikan untuk anak.  Setelah kami mendapat hasilnya, saya mengecek apakah kami masih mempunyai  sisa uang di tabungan setelah  pendapatan kami berdua dikurangi untuk biaya rutin. Ternyata belum cukup. Kami terpaksa harus memersiapkan dana tabungan untuk membayar premi itu.
Sambil memperhitungan berapa besar premi dalam US dollar (takut tergerus inflasi biaya pendidikan)  yang harus dibayar tiap tahun , kami harus menyisihkan  dana tabungan  setiap bulannya agar pada akhir tahun dapat dipakai untuk  pembayaran premi tersebut . Berkat kedisplinan dan konsistensi kami , akhirnya asuransi itu selesai dalam waktu 10 tahun dan terpakai saat anak harus melakukan pembayaran SPP SMP, SMA dan universitas