[caption caption="Yustina Wartati Sumber foto: www.youtube.com"][/caption]Untuk mencapai desa Kampung Laut, kita harus naik perahu motor kecil yang bermuatan 20 orang. Perahu bermesin motor tempel yang disebut “compreng”, menyusuri barisan hutan bakau dari Pelabuhan Sleko Cilacap, menuju Kampung laut, perkampungan di antara gugusan Pulau Nusakambangan, Perairan Segara Anakan Cilacap pertengahan 2006. Jarak tempuh dari pelabuhan sampai ke desa Lempong Pucung, Cilacap sekitar 2 jam.
Pada tahun 1987, Desa Kampung laut belum memiliki listrik yang menyala. Saat itu desa Lempok Pucung, Kampung laut juga tak memiliki sekolah sama sekali. Kemiskinan dan pendidikan yang tak pernah tersentuh sama sekali. Suatu ironi yang menyedihkan di suatu desa terpencil nun jauh dari keramaian kota. Listrik masuk Desa baru terjadi pada tanggal 17 Agustus 2012.
Seorang Ibu yang ingin saya perkenalkan adalah seorang ibu berusia 51 tahun bernama Yustina Wartati. Tati, panggilan dari ibu Yustina Wartati. Cita-cita Tati di masa mudanya adalah menjadi Penyuluh pertanian di Sumatera, karena Tati lulusan dari Sekolah Menengah Atas Sidareja. Sayang, cita-citanya kandas karena orangtuanya tidak mengizinkannya untuk ke Sumatera. Nasib berkata lain, Tati dipersunting oleh teman sekelasnya, Sudarno, yang bertugas sebagai Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) di Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) , Cilacap. Bahkan Tati diajak oleh suaminya ke Kampung Laut, dibawah kaki Nusakambangan pada tahun 1987.
Sayangnya, begitu Tati dan suami tiba di desa Kampung Laut, justru Tati ditinggalkan . Tanpa berita dan tanpa pamit, suaminya pergi meninggalkan dengan dua anak. Namun, Ibu Tati tidak patah arang. Ibu Tati yang berasal dari Patimuan tegar melanjutkan kehidupan. Tati melihat bagaimana kondisi sekitar desa Kampung Laut itu sangat menyedihkan. Anak-anak di Desa Kampung Laut tidak tersentuh oleh pendidikan sama sekali. Jumlah anak yang bersekolah sangat terbatas. Mereka tak punya fasilitas dan tempat pendidikan yang memadai atau cukup baik. Anak-anak harus berjalan kaki sejauh tiga hingga lima kilometer dan harus menyeberang dengan sampan untuk mencapai Sekolah Dasar (SD) terdekat. Hanya ada satu SMP. Dan, untuk SMA harus dilanjutkan ke darat atau menyeberang ke Cilacap.
[caption caption="Perjalanan Sekolah Anak Kampung Laut Sumber foto: www.selasar.com"]
Melihat kenyataan yang menyedihkan itu, bu Tati memberanikan diri untuk mengajar anak-anak TK. Meskipun Tati tidak punya latar belakang seorang guru. Tati yang hanya lulusan dari Sekolah Pertanian Menengah Atas tak urung surut. Tati melihat dengan hatinya yang terdalam bahwa anak-anak membutuhkan pendidikan agar anak-anak itu dapat mengecap masa depan yang lebih baik. Bukan hanya dirinya sendiri.
Dengan keteguhan hatinya, berbekal dengan kursus TK, Bu Tati memberanikan diri untuk mengajar anak-anak TK. Tak memiliki tempat untuk mengajar atau menampung anak-anak, maka Bu Tati menawarkan rumahnya sebagai sekolah. Ukuran rumah yang cukup kecil 6 x 5 meter. Penerimaan pertama untuk anak TK sebanyak 40 anak.
Tanpa fasilitas bangku , maka anak-anak itu belajar di lantai atau disebut dengan lesehan. Setelah anak-anak lepas dari TK, banyak orangtua anak-anak mendesak Ibu Tati untuk melanjutkan mengajar sampai SD. Alasan utama dari orangtua ini adalah kekhawatiran jika anak-anaknya harus belajar di Sekolah Induk dengan menyeberang memakai perahu kecil, apalagi jika musim hujan tiba.
Tentunya , Bu Tati merasa tidak memiliki kompetensi untuk mengajar SD karena Bu Tati tak mempunyai sertifikat guru SD. Lalu, Bu Tati pun mencoba menghubungi Sekolah Dasar untuk minta izin mengajar dan menjadikan tempatnya mengajar sebagai cabang dari sekolah induk.
Izin mengajar SD dikeluarkan oleh Yayasan dan Bu Tati diberikan panduan cara mengajar SD. Di tempatnya yang sangat sempit itu, berdirilah satu kelas yang terdiri dari SD kelas 1 dan Kelas 2. SD kelas1 dan kelas 2 dalam satu kelas. Bagi bu Tati mengajar dalam satu kelas bukan merupakan kesulitan . Kesulitan tentunya bagi anak-anak yang mengikuti pelajaran karena anak kelas 1 duduk di depan sedangkan anak kelas 2 duduk di paling belakang.
Pengalaman bu Tati, untuk memisahkan anak kelas 1 dan kelas 2 justru menyulitkannya karena ketika anak kelas 1 ditinggalkan untuk mengajar kelas 2, mereka akan ramai begitu pula sebaliknya.
Tantangannya berikutnya adalah ketika anak-anak yang telah duduk dari SD kelas 1 sampai 4 itu dapat belajar di rumahnya, harus melanjutkan ke kelas 5-6 di Sekolah Induk. Mereka terpaksa harus berangkat dari rumah dengan menyeberang perahu menuju sekolah Induk.
Uang sekolah yang dibebankan kepada siswa, sangat murah, Rp.6,000. Uang sekolah ini akan digunakan untuk pemeliharaan halaman sekolah. Untuk gaji guru seperti Ibu Tati, yang bekerja sangat dari pagi hingga petang, dan tak kenal lelah itu Rp.300,000 per bulan. Uang gaji yang termasuk kecil tapi hatinya tertawa bahagia ketika melihat gaji yang diterimanya itu merupakan kepuasan dan kebahagiaan mengajar.
Hasil jernih payahnya sangat merubah peta pendidikan di Kampung Laut, dari anak-anak yang tidak bersekolah atau hanya lulusan SD saja, sekarang ini telah begitu banyak lulusan S1, bidan dan profesi yang lain.
Ibu Tati tak kenal lelah dan tidak mau berhenti mengajar selama Bu Tati dibutuhkan oleh anak-anak untuk mengajar. Rumah tempat sekolah didirikan disebut dengan “Sekolah Bu Tati”.