[caption caption="dokumen pribadi"][/caption]
Tahun 1982, lalu lintas di Jakarta masih nyaman untuk dilewati dengan mobil. jadi kuberanikan diriku untuk beli mobil . Seorang urban yang memilih transportasi yang paling baik di saat itu. Apalagi saat itu aku harus kuliah lagi setelah pulang dari kantor. Jadi mobil menjadi andalan utama bagiku untuk transportasi dari rumah , ke kantor, ke tempat kuliah dan pulang ke rumah.
Saya harus berangkat pagi pukul 6 karena untuk menembus ke kantor harus melalui jalur 3 in one di kawasan Sudirman. Perjalanan lancar karena pagi-pagi hanya bersamaan keluarnya dengan anak-anak sekolah. Namun, saat itu jumlah mobil belum separah sekarang ini.
Beberapa tahun kemudian, saya sudah tak mampu lagi naik mobil sendiri. Saya sering masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama. Sakit perut kronis. Dokter tak menemukan apa penyebab sakitnya perut kronis saya. Tapi frekuensinya timbulnya selalu bersamaan dengan pikiran saya yang kalut ketika melihat traffic atau lalu lintas yang macet, baik, pagi, siang maupun malam. Alhasil, saya menganalisa sendiri bahwa saya menderita stres ketika menyetir dengan melihat kondisi macetnya lalu lintas dan saya tidak dapat mengendalikan emosi saya.
Akhirnya, untuk menghindari keluar masuk rumah sakit, dengan keputusan sendiri, saya ikut “pooling car”, artinya bersama-sama dengan teman-teman yang searah ke Sudirman dari kawasan rumah saya, Bintaro. Enak, sich, tinggal duduk, dan kemacetan harus dihadapi oleh supir. Duduk manis dari rumah, dan sampai ke kantor, demikian juga pulangnya.
Namun, beberapa tahun kemudian supir mulai kehilangan pelanggan satu persatu. Dia tak mau lagi menyetir karena merugi. Saya terpaksa mengambil pilihan yang sangat drastis yaitu naik kommuter line AC. Saat itu yang ada hanya dua pilihan commuter line yaitu commuter express AC dan commuter ekonomi non AC.
Wah tentu saja aku memilih yang express AC. Untuk menjangkau ke setasiun, saya tidak ada masalah karena letaknya cukup strategis, dari rumah hanya sekali saja naik angkot dan lamanya hanya 10 menit. Setelah sampai di setasiun, ternyata orang yang mau naik kereta sudah berjubel. Saat itu setelah beli karcis (belum pakai kartu magnit), saya lalu antri lagi untuk masuk peron. Nach setelah sampai di peron , menunggu kereta yang datangnya dari Serpong.
Begitu kereta dari Serpong datang. Langsung , mata saya menyelinap, waduh, penumpang yang berada di dalam gerbong sangat penuh sekali. Jika menunggu kereta yang selanjutnya, saya takut terlambat. Dan makin siang, justru makin banyak penumpang.
Jadi dengan kondisi penuh sesak, bagaikan “pindang”, saya masuk ke dalam ditengah-tengah himpitan orang yang bergelantungan kanan,kiri, muka depan. Ngga dapat duduk, buat saya tidak apa-apa, tapi rasanya nafas hampir tidak dapat bernafas.
Perjalanan Pondok Ranji-Sudirman, hanya 25 menit, kereta itu langsung stop di setasiun Sudirman. Pada waktu KRL belum transit di Tanah Abang. Lalu saya bisa turun di setasiun Sudirman. Setelah turun dari kereta itu saya dapat langsung naik angkot untuk meneruskan perjalanan. Perjalanan saya dari rumah sampai ke kantor cukup 35 menit saja. Bayangkan jika saya naik mobil sendiri perjalanan saya paling sedikit hampir 1 1/2– 2 jam, belum lagi capenya tenaga dan energi yang dikeluarkan untuk menghadapi kemacetan.
Besok paginya saya menyiasati diri untuk tidak terjebak dalam himpitan dengan datang lebih pagi ke setasiun Pondok Ranji. Dari setasiun Pondok Ranji, saya mengambil kereta yang menuju Rawa Bambu ke arah BSD (berbalik arah). Hanya 10 menit, sampai di Rawa Bambu, lalu, saya menyeberang jalur naik kereta yang menuju ke Tanah Abang. Ternyata, strategi ini berhasil, saya mendapatkan tempat duduk nyaman.
[caption caption="dokumen pribadi"]