Dalam menilai sebuah kota, tentang kondisinya saat ini, dan juga dalam memproyeksikan masa depannya nanti yang berbentuk seperti apa, kita tentu tidak bisa meninggalkan dan apalagi menanggalkan sejarah terbentuknya kota itu sendiri. Kita sebut saja misalnya ketika kita membicarakan dan juga membandingkan tentang tata ruang Kota Metro dan Kota Bandar Lampung. Sebab sejarah terbentuknya kota itu sendiri berbeda-beda. Proyeksinya juga berbeda. Sehingga bentukannya di masa kini, menjadi juga berbeda. Karena itu kita tentu perlu secara objektif melihat dan juga menilai kondisi suatu kota, yang mana, sebaiknya tidak terlepas dari sejarah pembentukannya sendiri pada jaman awalnya dahulu.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas secara spesifik sejarah kota-kota kita, terutama membahas tentang sejarah Kota Metro dan Kota Bandar Lampung. Saya kira dan saya yakin bahwa ada banyak hal yang diketahui oleh beberapa ahli tentang kedua kota itu yang hingga kini masih belum terdokumentasi dengan baik sebagai sebuah sejarah bentukan kota. Namun beberapa klumit informasi tentang bentukan kedua kota itu bisa kita simak dalam berbagai bentuk informasi, yang menyampaikan kita pada pandangan bahwa Kota Metro adalah sebuah kota yang berkembang dari “kawasan permukiman” yang tentu saja tidak dibentuk secara khusus untuk menjadi sebuah kota (kecil) seperti sekarang.
Kasus Kota Bandar Lampung, kota ini juga tidak dibentuk secara khusus sebagai sebuah kota, apalagi dengan luasan seperti sekarang. Karena ada awalnya ia adalah sebuah tempat transit (pelabuhan), yang berkembang menjadi kawasan perdagangan dan jasa (plus permukiman), yang lalu seiring dengan waktu, karena penduduknya semakin bertambah, akhirnya kini bisa berkembang menjadi sebuah kota (besar). Bandar Lampung masa kini, bukanlah sebuah kota yang dahulunya dibentuk dan didesain secara khusus sebagai sebuah kota. Ia berkembang dengan sendirinya. Pengaturan ruang kotanya, diatur belakangan.
Sehingga, dengan sejarah bentukannya yang berbeda, menyebabkan kondisinya pada masa kini juga berbeda. Itulah sebabnya, ketika kita ingin membandingkan kedua kota ini, kita harus seoptimal mungkin menempatkan dasar penilaiannya pada sejarah bentukannya itu sendiri.
Ketika kini kita melihat Metro tata ruangnya terbentuk sedemikian rupa, tertata dalam blok-blok permukiman dan ada ruang publik yang tertata dan terjaga, maksudnya ada alokasi ruang yang secara khusus disediakan, dan hingga kini terjaga, seperti posisi masjid, perkantoran, alun-alun, pasar, dan semacamnya, itu karena dahulunya adalah daerah permukiman yang sama sekali tidak diproyeksikan akan menjadi sebuah kota (kecil) seperti sekarang. Apalagi diproyeksikan menjadi kawasan perdagangan dan jasa skala besar seperti Kota Bandar Lampung.
Kita lihat saja, kawasan pinggiran Kota Metro, yang memang dahulunya tidak dibentuk bersamaan dengan pusat kota metro (yang berupa kawasan permukiman dan sapras pendukung), kondisinya tidak jauh berbeda dengan kota lain yang masuk dalam katagori “nyaris tak tertata”. Ini menandakan bahwa sebelumnya memang Metro tidaklah secara khusus dibentuk sebagai sebuah kota. Sehingga yang “tertata” itu hanya dalam persentase wilayah (masa kini) yang tidak terlalu besar. Beruntunglah perkembangan ekonomi Kota Metro tidak terlalu pesat sehingga tuntutan perubahan dan peningkatan kualitas ruangnya, tidak begitu signifikan. Akhirnya metro bisa seperti sekarang. Khususnya di pusat kotanya. Nah, berbeda dengan kondisi Bandar Lampung yang tuntutannya sedemikian besar sehingga, akibat memang tidak didesain sebagai sebuah kota dengan luasan seperti sekarang, menyebabkan bentukan ruangnya menjadi terkesan tidak tertata.
Kembali ke bahasan tulisan ini tentang “Kota Lama Kota Baru Kota Kreatif”, saya ingin mengatakan bahwa kota yang memang direncanakan sejak lama dan memang lokasi itu dibentuk secara khusus sebagai kota, di Lampung ini tidaklah ada. Bandar Lampung tidak sejak awal didesain secara khusus sebagai sebuah kota dengan luasan seperti sekarang. Begitu juga Metro, ia tidak didesain dengan luasan seperti sekarang.
Karenanya, membandingkan Metro dengan Bandar Lampung menjadi tidaklah relevan. Karena mereka memang punya situasi bentukan awal yang berbeda. Metro didesain sebagai kawasan permukiman yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota kecil, yang untungnya tidak mengalami tuntutan peningkatan kualitas ruang kota secara signifikan. Sementara Bandar Lampung, adalah sebuah kota besar yang tidak didesain sejak awal sebagai sebuah kota dengan luasan seperti sekarang, dan akibat tuntutan perkembangan ekonomi yang sedemikian besar menyebabkan terjadi peningkatan kualitas ruang kota yang juga sedemikian besar (dan nyaris terlambat untuk dikendalikan).
Sebagai catatatan penutup saya ingin mengingatkan bahwa secara makro, ruang kota itu terdiri dari 5 katagori utama, yaitu; 1) ruang terbuka, 2) lahan pertanian, 3) perumahan, 4) perdagangan, dan 5) industri (Arthur & Simon, 1986). Pembagian ini akan efektif jika dibuat dalam bentuk blok. Dan pemisah atau penanda sebuah blok adalah ruas jalan. Nah, sebuah kota yang sejak awal terbagi dalam blok-blok dan terbentuk dengan cantik oleh grid jalan, akan menentukan nasib bentukannya di masa yang akan datang. Nah, ini juga yang akan menuntun manusia hasil bentukan ruang kota itu akan seberkualitas apa nantinya.
Jadi jangan sampai dilupakan bahwa bentukan ruang kota dan fungsinya itu, akan bisa mempengaruhi kualitas penduduk yang bermukim didalamnya. Akankah ia akan menjadi manusia yang kreatif ataukah tidak? Jika jawabnya “iya”, maka kota itu secara perlahan akan menjadi kota kreatif. Sebagaimana yang ditulis oleh Udo Z Karzi (Lampost, 30/8). Itulah sebabnya, beberapa kota dunia, seperti Paris, Birmingham, Roma, dan semacamnya, menghasilkan pemikir dan seniman dunia, karena ruang kotanya mendukung daya imajinasi dan pikir para manusia didalamnya.
Ups, saya lupa. Dalam kasus di Indonesia, Bandung dan Jogja, Semarang, dan kota-kota di Jawa yang sebagian besar ruang kotanya adalah bentukan lama (kita sebut saja sebagai kota lama), menghasilkan krativitas tanpa batas. Sekali lagi karena ruang kotanya memang mendukung itu. Kini, tantangan para “city mayor” di Bandar Lampung dan Metro adalah; bagaimana menjadikan kotanya sebagai kota kreatif ditengah-tengah kondisi kotanya kini yang seperti sekarang. Hanya walikota yang kratif dan cerdaslah yang akan membawa perubahan yang optimistik. Akankah kotanya akan menjadi (E Laksono, 2013) Metropolis City, Utopian City, Renaissance City, High-Tech City, Cultural City, Inspiring City, atau Globally Competitive City? Hanya jaman yang akan menjawabnya.
Kota Lama, Kota Baru, Kota Kreatif
Oleh: IB Ilham Malik
Peneliti di Pusat Studi Kota dan Daerah UBL, Dosen Teknik Sipil UBL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H