Baru-baru ini DKI Jakarta mengeluarkan rencana untuk menerapkan plat ganjil genap guna mengatasi masalah lalu lintas Jakarta yang semakin kompleks. Selepas menghapus kebijakan 3 in 1, Jakarta berkeinginan melawan masalah lalu lintas Jakarta dengan penerapan pengendalian penggunaan kendaraan bernomor polisi ganjil genap. Kita belum tahu persis bagaimana cara penerapan ini di lapangan, namun kebijakan ini diyakini oleh pemerintah sebagai salahsatu upaya untuk menyelesaikan masalah lalu lintas ibukota negara yang sudah semakin rumit.
Sebagai salahsatu upaya untuk mengatasi masalah Jakarta, tentu saja hal tersebut tetap layak untuk diapresiasi. Apalagi pada saat ini jumlah kendaraan di Jakarta sudah semakin banyak. Belum lagi ditambah dengan kendaraan dari sekitar Jakarta yang juga masuk ke Jakarta dengan berbagai ragam aktivitasnya. Sehingga pada akhirnya, kapasitas jalan yang sudah disediakan oleh Jakarta tidak mampu menampung volume kendaraan yang masuk dan beroperasi di Jakarta.
Pendekatan masalah transportasi itu pada dasarnya sederhana saja. Kita tahu, bahwa layanan lalu lintas itu ditunjukkan dengan derajat kejenuhan jalan (DS). DS diperoleh dengan membandingkan volume kendaraan (V) dengan kapasitas tampung jalan (C). sehingga diperoleh rumusan V/C, atau yang sering disebut dengan VC ratio. Jika DS atau hasil perbandingan itu menunjukkan angka yang mendekati 1, maka hal itu menandakan bahwa lalu lintas sudah mengalami masalah puncak (deadlock).
Jika angka DS mendekati 0, maka hal itu menandakan bahwa lalu lintas bebas kendaraan. Karena DS tersebut berada dalam angka 0-1 (0 < DS < 1). Karena itu, untuk mengatasi masalah lalu lintas, setiap pengambil kebijakan bisa menyelesaikannya melalui pengendalian terhadap volume (V) atau memperbesar kapasitas (C). Semua bisa diambil dan sama-sama benar, dan itu bergantung pada kebijakan setiap kota, termasuk dalam hal ini Kota Jakarta. Karena setiap kebijakan akan selalu diikuti oleh konsekuensinya.
Dalam menyelesaikan masalah lalu lintas, pemerintah juga perlu melihat persoalan ini dari dua sisi yang berbeda, yaitu sisi kebijakan hulu dan sisi kebijakan hilir. Harus diakui, kebijakan pemerintah membangun berbagai macam public transportation (mulai dari busway, monorel, MRT, LRT dan kereta api sekarang) adalah kebijakan yang berada disisi hilir. Termasuk juga dengan pengendalian lalu lintas dengan penerapan 3 in 1, penerapan plat ganjil genap yang sebentar lagi akan dijalankan, pengelolaan parkir, semuanya adalah kebijakan yang berada di sisi hilir.
Ibarat air bah, jika kedatangan sekian volume airnya tidak dibendung, maka daya tampung kolam akan habis juga. Demikian juga dengan lalu lintas. Berapaun kapasitas jalan ditambah, bagaimanapun arus dikendalikan, kalau volume kendaraan terus menerus memenuhi Jakarta, maka Jakarta akan tetap mengalami masalah pada transportasinya.
Jadi, selain berupaya menghadapi masalah transportasi dari sisi hilir, adalah hal yang sangat baik jika Jakarta menghadapinya dari sisi hulu juga. Apalagi Jakarta adalah ibukota negara dan pemerintah pusat memiliki peranan dan bahkan tanggung jawab untuk membantu Jakarta keluar dari masalah transportasi. Dan juga yang mesti diingat adalah bahwa Jakarta menjadi referensi bagi kota lain di Indonesia. Ketika penanganan lalu lintasnya salah, maka sudha pasti akan menimbulkan masalah serupa di kota-kota lain.
Pertanyaannya, sector hulu itu apa saja dan bagaimana? Jakarta ini dijejali oleh kendaraan baru yang terus menerus bertambah. Dan hal ini yang menjadi masalah utamanya. Selama manusianya yang bertambah, terutama akibat urbanisasi yang juga dibutuhkan oleh Jakarta, hal ini tidak menimbulkan masalah besar pada lalu lintas. Namun yang jadi masalah adalah meningkatnya populasi kendaraan di Jakarta yang berlangsung setiap hari.
Karena sector produksi kendaraan tidak bisa dihentikan karena kepentingan bisnis dan pengaruhnya sangat besar pada ekonomi, maka yang bisa dilakukan adalah dengan mengendalikan kepemilikan kendaaraan. Pada dasarnya siapapun bisa memiliki kendaraan.Â
Syaratnya adalah setiap pembelian kendaraan harus disertai dengan SIM. Dan setiap SIM hanya untuk satu kendaraan. Dari sisi kepolisian, pengeluaran ijin mengemudi haruslah melalui prosedur yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Janganlah ijin SIM ini menjadisalahsatu sumber pendapatan kepolisian dan bahkan menjadi salahsatu sumber biaya operasional polisi.
Jika saja pemerintah DKI Jakarta dan juga pemerintah pusat mampu menyelesaikan masalah ini, dan bisa diterapkan di Jakarta dengan baik, maka hal itu akan berimplikasi yang baik pada kota-kota lain di Indonesia. Karena kebijakan Jakarta dan pusat, sudah pasti memberikan pengaruh besar pada Indonesia. Kita tidak perlu membahasnya terlalu detail dan terlalu teknis, karena untuk kasus transportasi kita saat ini, tidak lagi berada di level masalah teknis.Â
Namun berada di sisi kebijakannya. Akankah pengambil kebijakan mampu mengatasi masalah transportasi Jakarta? Kebijakan ganjil genap adalah salahsatu bentuk frustasi Jakarta pada kondisi transportasinya. Dan ini haruslah kembali diluruskan agar setiap pihak melihat masalah transportasi dari sisi hulu. Tidak selalu terjebak pada masalah di sisi hilir.
IB Ilham Malik,Sedang menempuh S3 Urban Planning di the University of Kitakyushu, Jepang. Penerima beasiswa Monbukagakusho MEXT 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H