[caption id="attachment_314557" align="alignnone" width="680" caption="foto by tribunnews"][/caption] SELAMA dua pekan ini 'demam' film Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk sepertinya sedang mewabah. Di time line Facebook sering muncul entah itu ulasan, resensi, status, capture foto, bahkan tiket nonton di bioskop. Pelan-pelan rasa iri menyelinap di hati saya. Saya tahu ini tak baik, tapi kali ini rasa iri tersebut telah menjangkiti saya dan parahnya tak sanggup saya tangkal. Betapa tidak, Tenggelamnya Kapal VDW disebut-sebut sebagai film sastra terbaik penutup tahun 2013. Buncahan perasaan ingin menonton film itu membuat saya benar-benar iri pada mereka yang punya bioskop di kotanya. Saya tinggal di Aceh, tepatnya di Banda Aceh. Sebagai kota bergelar ibu kota provinsi rasanya kurang lengkap jika sebuah gedung bioskop pun tidak ada. Tapi itulah realitanya. Kami (saya) terpaksa menonton film-film bagus setelah melewati musim wabah. Juga terpaksa berpuas diri dengan hanya menonton di layar televisi atau komputer. Sementara itu cukuplah dengan melihat trailernya saja, atau membaca ulasannya di blog/media mainstream. Jika ngotot benar, sebenarnya bisa pergi ke provinsi tetangga; Sumatera Utara (Medan). Tapi biaya yang kami keluarkan untuk membeli tiket dan akomodasi jadi tak sebanding. Istilahnya berat di ongkos. Bagi mereka yang mempunyai uang lebih banyak yang mengambil alternatif itu. Namun bukan berarti mereka tidak mengeluh lho. Tahun lalu misalnya, saya berkesempatan main ke rumah seorang dosen Unsyiah. Waktu itu lagibooming film Habibie dan Ainun. Hanya untuk menonton film berdurasi dua jam lebih itu, bu dosen serta suami dan dua anaknya rela ke Medan. Alasannya Habibie dan Ainun film yang bagus dan layak ditonton, termasuk untuk anak-anak. "Jika di Banda Aceh ada bioskop kita tentu bisa berhemat uang, waktu dan tenaga," kira-kira begitu yang ia sampaikan waktu itu. Saya setuju dengan pendapat ini. *** Bioskop terakhir yang beroperasi di Banda Aceh adalah Gajah Theater. Bioskop ini berada di kawasan Simpang Lima. Pertengahan 2002 silam saat saya pertama kali ke Banda Aceh, bioskop ini masih beroperasi. Waktu itu bersama teman-teman kampus hampir ikut menonton film Eifel I'm In Love. Namun gedung bioskop ini rusak karena terjangan tsunami 26 Desember 2004 silam. Setelah itu, sampai hari ini gedung bioskop itu telah berubah fungsi. Gajah bukanlah satu-satunya bioskop di Banda Aceh, setahu saya ada Jelita Theater yang dulu berlokasi di Beurawe (Hermes Mall sekarang), ada Rajawali di Peunayong, ada juga yang di kawasan Blang Padang tapi saya lupa namanya. Selain Gajah, beberapa bioskop tersebut sudah lebih dulu tak berfungsi. Tak hanya di Banda Aceh, di kabupaten lain bioskop juga pernah ada. Namun tak ada satupun yang masih beroperasi. *** Wacana untuk kembali menghadirkan bioskop di Banda Aceh sebenarnya pernah mencuat. Bahkan Wali Kota Banda Aceh Mawardy Nurdin, sangat menginginkan agar gedung bioskop kembali ada di Banda Aceh. Namun keinginan tersebut terbentur dengan para pemangku kebijakan lainnya sehingga sampai hari ini belum juga terealisasi. Hal tersebut pernah disampaikan oleh pak wali kota saat membuka Klinik Jazz di Unsyiah pertengahan 2013 lalu. Benturan tersebut tak lain karena Aceh merupakan provinsi bergelar Syariat Islam. Keberadaan gedung bioskop dikhawatirkan menjadi sarana baru untuk bermaksiat. Contoh yang sering dijadikan alibi untuk hal ini misalnya berbaurnya penonton laki-laki dan perempuan, juga film-film yang diputar tak senonoh. Padahal, soal ini sebenarnya bisa dicari win-win solution lah. Dalam hal ini pemerintah harus luwes dalam menyikapi problematika sosial. Atau karena mereka memang malas berfikir untuk mencari solusi? Entahlah... Bahkan, saking kesalnya dengan situasi ini seorang teman tahun lalu pernah membuat petisinya di change. Saya termasuk salah satu yang memparaf petisi itu. Aneh rasanya, untuk sebuah bioskop saja kita harus membuat petisi online. Tak ada bioskop bukan berarti tak bisa nonton. Selama ini anak-anak muda Banda Aceh tak kehilangan akal kreatifnya kok. Tempat-tempat umum sering 'disulap' menjadi bioskop dadakan. Yang paling sering adalah gedung Sultan Selim II, AAC Dayan Dawood Unsyiah dan Taman Budaya Aceh. Namun film-film yang diputar adalah film dokumenter/teater khususnya karya anak Aceh. Di Gedung Sosial juga pernah untuk memutar film Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Selain itu acara nonton bersama juga sering digagas oleh kelompok mahasiswa atau komunitas. Komunitas Tikar Pandan termasuk yang paling sering memutarkan film-film bagus. Saya pernah menonton Festival Film Eropa di komunitas ini. Namun di komunitas ini tentunya tak akan ditemukan tayangan film 5 CM, Soekarno, Habibie dan Ainun atau TKVDW. Sarana alternatif ini tentunya tidak bisa disamakan posisinya dengan bioskop. Di bioskop, kita bisa menyaksikan film-film berskala nasional dan internasional. Bioskop tak bisa disubstitusi layaknya beras diganti dengan roti, ubi atau jagung. Lalu, apa pentingnya sebuah bioskop? Bicara soal penting tak penting, memang ada yang lebih prioritas. Itulah yang kita sebut kebutuhan primer. Seiring berjalannya waktu, zaman berubah, skala prioritas masyarakat juga ikut berubah. Kini menonton merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat. Dengan adanya bioskop misalnya roda ekonomi akan berputar. Ah, jadi melebar ke mana-mana nih :-D. Jika dikalkulasikan mungkin tak sedikit uang orang Aceh yang 'terbuang' ke luar kota hanya untuk menonton film. Selain membeli tiket nonton, mereka tentunya akan membeli makanan, membayar sewa penginapan, dan lainnya. Tidakkah ini menjadi bahan pertimbangan untuk para pengambil kebijakan? Kalau soal kekhawatiran 'bermaksiat', bisa saja dipisahkan antara tempat duduk perempuan dan laki-laki. Saya melihat masyarakat Aceh sudah 'tahu diri' dengan aturan ini, di ruang kelas, di forum-forum, mereka telah terbiasa dengan ini. Lagipula, seorang yang cerdas dan terdidik rasanya tidak akan bermesum di depan publik, sekalipun mencuri-curi melakukannya. Terlepas dari semua itu, bioskop merupakan sarana hiburan legal yang mestinya disediakan pemerintah untuk kepentingan publik. Banyak film-film bagus yang layak tonton dan mendidik kok. Bahkan, dengan kewenangannya pihak terkait berhak 'menyortir' film apa saja yang boleh ditayangkan di Aceh. *** Hari ini saya kembali membaca review mengenai TKVDW. Aih, jika di kota saya ada bioskop pasti saya sudah nonton itu film. Sampai selesai menuliskan ini saya masih teringat ucapan pak wali yang mengatakan akan mengupayakan ada bioskop, gedung seni/pertunjukan, dan galeri di Banda Aceh. Semoga.[] Catatan ini juga dipublish di www.ihansunrise.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H