Mohon tunggu...
Ihan Sunrise
Ihan Sunrise Mohon Tunggu... -

Blogger, Pengkhayal, Penggila Kopi. ~www.ihansunrise.blogspot.com~

Selanjutnya

Tutup

Catatan

One Day In Tangse

25 Mei 2011   01:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:16 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangse. Entah mengapa saya begitu terkesan dengan nama kecamatan yang terletak di daerah pegunungan di wilayah kabupaten Pidie tersebut, sejak kecil saya selalu punya keinginan untuk bisa menginjakkan kaki di daerah penghasil durian dan padi yang sangat terkenal itu, agar bisa merasakan sejuknya udara bersih pegunungan, dan juga dinginnya mata air yang mengalir di sungai-sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakatnya.

Saya tidak lahir di sana, tetapi Tangse begitu melekat di hati saya, beberapa desa seolah begitu jelas keberadaannya, seperti desa Blang Dhot, Lingga dan Blang Pandak.

Memang, saya pernah ke Tangse, tapi itu sudah sangatlama sekali, sekitar tahun 90-an saat saya masih duduk di sekolah menengah pertama, itupun hanya beberapa jam saja, tak banyak yang saya ingat seperti apa kronologisnya selain saya pernah merasakan nikmatnya mandi di sungai Tangse, dan juga nama desa yang saya datangi ketika itu; Rantau Panyang.

Pada tahun 2005 silam saya kembali melewati Tangse ketika hendak pergi ke Meulaboh, sama seperti perjalanan sebelumnya tak banyak yang dapat saya rekam ketika itu karena hari telah gelap begitu saya memasuki daerah Tangse, Geumpang dan seterusnya.

Saya merasa bahwa Tuhan selalu memenuhi keinginan hamba-Nya dengan cara tak biasa, begitu juga dengan saya, akhirnya saya bisa kembali mengunjungi Tangse, meski untuk itu Tangse harus menghadapi bencana banjir bandang yang dahsyat. Saat saya mendengar Tangse dilanda banjir hingga merenggut korban jiwa hati kecil saya gelisah, saya merasa kehilangan, seperti ada sepotong kenangan di masa lalu yang ikut hanyut bersama gelondongan kayu-kayu dan bangkai rumah penduduk.

Minggu, 27 Maret 2011 yang lalu saya dan enam orang teman lainnya mewakili lembaga SAGENA akhirnya dapat menjejakkan kaki kembali di Tangse. Kedatangan kami adalah untuk mengantarkan bantuan dari teman-teman yang berhasil kami kumpulkan dalam waktu singkat. Seratusan paket alat tulis, baju layak pakai, personal care, home care, dan beberapa jenis kebutuhan mendesak lainnya yang kami bawa pada saat itu.

Saya hampir menangis begitu sampai di desa yang kami tuju, hati saya menjadi sangat nyeri dan untuk beberapa saat saya tidak bisa berkata-kata. saya terkesima begitu tahu bahwa desa yang kami datangi tersebut adalah desa Rantau Panyang satu. Desa yang belasan tahun lalu pernah saya datangi.

Dalam baluran suasana hati yang begitu melankolis pada saat itu saya langsung teringat pada ibu saya yang berada di Aceh Timur. Saya memberi tahu pada beliau bahwa saat itu saya sedang berada di Tangse, tepatnya di desa Rantau Panyang. Saya menceritakan bagaimana hancurnya desa-desa yang terkena dampak banjir bandang, jalanan yang rusak, rumah-rumah yang hancur, dan juga tenda-tenda darurat untuk berteduh. Para perempuan dan anak-anak yang banyak termangu, entah apa yang sedang mereka pikirkan.

“Tempat tinggal ibu dulu ke atas lagi, dekat dengan gunung, desa Blang Pandak namanya.” Balas ibu saya melalui pesan pendek.

Yah, akhirnya ingatan saya menjadi jelas, cerita-cerita tentang Tangse pada masa kanak-kanak saya akhirnya pelan-pelan kembali terkuak. Dulu, ibu saya sering sekali menceritakan tentang indahnya Tangse, ketika kecil beliau pernah beberapa waktu tinggal di daerah tersebut.

Tetapi Tangse yang dulu tidaklah seperti sekarang. Ke-eksotisan Tangse puluhan tahun silam dipenuhi oleh rerimbunan belantara hutan yang mistis, binatang-binatang buas masih berkeliaran dan sering memangsa penduduk, jalanan masih berupa jalan-jalan setapak yang susah dilalui. Masyarakat Tangse adalah kaum original yang belum terkontaminasi oleh arus perkembangan zaman.

Cerita tentang Tangse bukan hanya saya dapat dari ibu saya, tetapi juga dari nenek saya yang pernah menjadi petani kopi di daerah bukit barisan itu, juga dari para tetangga nenek saya yang pernah tinggal di Tangse. Sungai-sungai Tangse yang jernih dan mempesona begitu mengusik adrenalin saya ketika itu. Pikiran kanak-kanak saya membayangkan bahwa Tangse itu hampir menyerupai surga, yang mengalir sungai-sungai indah di dalamnya.

Belum lagi mitos-mitos seputar sungai Tangse, seperti mitos yang mengatakan bahwa air sungai Tangse tidak bisa diminum karena bisa mengakibatkan penyakit gondok, dikarenakan di hulu sungai Tangse terdapat pohon Beruru yang misterius. Lambat laun saat saya dewasa akhirnya saya mengkorelasikan antara penyakit gondok dengan kurangnya asupan garam yodium yang dikonsumsi oleh masyarakat Tangse karena mereka jauh dari sumber produksi garam yang berada di wilayah pantai.

Menjelang pukul dua belas siang saya dan teman-teman, Liza, Muksal, Abdal, Nufi, Asra dan Zal tiba dan disambut oleh seorang tokoh masyarakat yang kemudian menjadi guide kami selama di Tangse, pak Wahid namanya, beliau bertugas di Koramil Tangse. Pak Wahid pula yang memperkenalkan kami dengan tokoh masyarakat desa rantau panyang, yaitu Teungku M. Risyad.

Oleh teungku Risyad kami diajak ke mesjid, satu-satunya bangungan yang menjadi pos untuk dapur umum pada saat itu. Di masjid itulah kami menyerahan bantuan dan memberikan paket alat tulis kepada seratusan murid SD, SMP dan SMU. Kami juga mengajak para siswa SMU untuk berkumpul dan saling sharing mengenai pengalaman mereka selama bencana.

Anak-anak itu sungguh luar biasa, dengan kondisi sulit seperti itu mereka masih terlihat riang dan tersenyum, mereka masih memikirkan sekolahnya meskipun keadaan sedang tidak berpihak pada mereka, mereka masih semangat menceritakan impian dan harapan masa depan mereka, tujuannya hanya satu; untuk memajukan Tangse. Mungkin, satu hal yang membuat mereka bersemangat adalah bencana alam tidak memberikan rasa takut seperti yang mereka rasakan pada saat konflik dulu, saya menduga-duga tentang hal ini.

Tengku risyad banyak menceritakan mengenai kronologis terjadinya bencana alam yang terjadi pada kamis malam, 10 maret 2011 lalu. Ia menceritakan banyak rumah-rumah penduduk yang rusak akibat hantaman banjir yang ganas, harta benda yang hilang, dan sawah-sawah penduduk yang rusak.

Beberapa desa yang menurutnya sangat parah adalah desa rantau panyang satu dan dua, krueng meriam, layan, blang bungong, pucok satu dan dua, juga desa blang dalam.

Saya memperhatikan ke sekeliling, banyak parit-parit kecil yang membentuk aliran air baru dari atas bukit, dan itu menjadi sumber ketakutan baru bagi masyarakat setempat. Ujung-ujung bukit terlihat gundul, akibat dari semakin berkurangnya jumlah pepohonan. Di sepanjang jalanan yang kami lalui sampah-sampah bekas banjir didominasi oleh kayu-kayu besar. Dua jembatan gantung penghubung ke desa rantau panyang dua putus dan menyebabkan beberapa desa lainnya terisolasi.

Saya baru ingat, belasan tahun silam saat saya pertama sekali menginjakkan kaki di tanah Tangse ini, saya pernah mandi di sungai yang tak jauh dari masjid tadi. Dulu, sungai itu begitu menggoda, airnya jernih dan bergermericik, bebatuan sungai yang hitam menambah ke-eksotisannya sendiri. Tapi apa yang saya lihat hari itu sungguh mengerikan, air sungainya keruh dan dipenuhi sampah-sampah, memang masih ada gemericik air, tetapi gemericiknya terdengar menyeramkan, entahlah, alam kadang kala memang tidak bisa diprediksi, manusia terlalu ambisius untuk dijadikan sahabat bagi alam.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun