Kurikulum 2013 masih dalam objek percobaan Departemen Pendidikan Nasional. Pada awal mulanya diadakan kurikulum yang baru adalah menggantikan sistem KTSP yang dianggap menyulitkan anak dan sudah "Gak Zaman..."
Tetapi ternyata dengan sistem kurikulum 2013 yang baru ini malah menjadi "buah simalakama" bagi Diknas sendiri. Mulai dari penyebaran buku yang tidak merata ( seperti biasa dengan mengusung alasan " Tender " yang tidak ditepati oleh perusahaan yang menanganinya. Timbul pertanyaan " Kenapa sih, permasalahannya tender melulu???di akhir tahun ajaran kita dikejutkan dengan banyaknya sekolah yang menerima bahkan mengundur jadwal ujiannya dikarenakan keterlambatan dalam pembagian soal ujian nasional. Diknas , sebagai pihak yang paling bertanggung jawab harusnya tidak mempunyai alasan yang sama dalam penyebaran buku-buku "Tematik" 2013 tersebut. Sangat mengherankan, instansi sebesar Diknas selalu salah dan tidak selesai dalam menangani permasalahan tender yang melibatkan anak didik dan pihak sekolah pada beberapa daerah di Indonesia.
Lebih jauh lagi, dalam penerapan Kurikulum 2013 yang mengusung Tematik ( dalam satu semester terdapat 6-7 tematik) banyak beberapa sekolah di Bogor dan daerah lainnya dimana para gurunya belum memahami betul cara penerapan terhadap para anak didiknya (khususnya sekolah negeri).
Kurikulum 2013 sebetulnya didalamnya terdapat berbagai macam tema yang sangat menyenangkan bagi para anak didiknya, tetapi dengan melihat buku-buku yang di menangkan tendernya oleh Diknas terlihat memasukkan materi yang seadanya. Sehingga membuat beberapa orang tua murid menjadi bingung dalam mendidik anaknya dirumah (apalagi dengan orangtua murid yang dengan bekal pendidikan rendah). Semuanya sangat jauh berbeda dengan beberapa buku yang diusung oleh beberapa penerbit ternama seperti Erlangga, Bumi Aksara ataupun lainnya yang menerapkan dan memberi perhatian lebih pada beberapa materi tematik yang di usung oleh DIKNAS.
Hal ini telah saya alami, sebagai orang tua dari anak murid yang duduk disekolah dasar kelas 2. Kemarin kami membantu anak kami dalam menyelesaikan PR yang diberikan oleh gurunya. Didalamnya mengenai pola tingkah laku hewan yang diperankan oleh anak. Tetapi, ketika PRnya dikumpulkan ,ternyata hampir semua orang tua yang membantu anak-anaknya dalam mengerjakan PR dirumah malahan menuliskan ciri-ciri baju yang dipakai anak. Bukan ciri-ciri hewan yang dilakoni para anak didalam digambar. Lucunya, reaksi guru membenarkan tanpa membaca soal dan jenis pekerjaan apa yang diinginkan oleh buku tersebut.
Kejadian ini banyak juga terjadi pada beberapa kelas lain yang dimulai dari kelas 1-4 SD. Buku yang sifatnya semula adalah sangat menyenangkan, tetapi ketika ditanya apakah gurunya mencoba untuk membuat suasana kelas seperti instruksi buku yang terlihat sangat menyenangkan dan jauh dari "stress" bagi para anak, ternyata banyak yang tidak dilakukan oleh para guru. Karena mereka masih terbiasa dengan sistem lama yang membosankan.
Mengenai penggunaan buku yang sudah dipakai akan diberikan lagi oleh adik-adik pada tahun dibawahnya adalah suatu kegiatan yang menurut saya adalah suatu kegiatan dan kebiasaan lama yang salah. Buat apa ada BOS yang didalamnya adalah telah terhitung jumlah anak untuk dibiayai dalam memperoleh hak belajarnya. Hal seperti ini, yang kadang kala membuat pihak sekolah merasa tenang dalam menggunakan aliran dana BOS sehingga menimbulkan korupsi di sekolah. Kenapa? karena mereka (pihak sekolah) akan beranggapan bahwa buku masih baik dan layak digunakan untuk anak-anak tahun sesudahnya, sehingga aliran adana BOS bisa dibagi-bagikan oleh para oknum kepala sekolah ke oknum guru-guru lainnya. "What a Pity..?" Dan tidak bersuaranya Komite Sekolah dalam menanggapi hal ini adalah membuat pihak sekolah menjadi terbang diatas angin.
Kembali ke kurikulum 2013, paling tidak DIKNAS harus lebih belajar dalam menerapkan asessment terhadap beberapa perusahaan yang menyanggupi tender-tender besar yang berskala Nasional sehingga tidak menimbulkan kekeliruan yang sama terus menerus. Pembekalan bagi para guru bukan hanya disitu saja, evaluasi yang terencana dan sungguh-sungguh dari pihak DIKNAS pun diperlukan. Bukan hanya sekedar dalam menjalankan tugasnya sebagai Abdi Negara yang cuma duduk di kursi empuk, menangin tender dengan komisi yang berlimpah tapi ternyata anak-anak sekolah yang menjadi korban dari suatu kebijakan yang gagal dalam Asessment.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H