Mohon tunggu...
Idris Egi
Idris Egi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fishum I.kom 11730073

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyoal Radikalisme Agama di Tengah Arus Globalisasi

5 Desember 2014   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:58 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ISBN:978-602-229-309-5

Globalisasi yang kini membanjiri penjuru dunia telah berdampak terhadap struktur politik, ekonomi, budaya dan agama. Hadirnya globalisasi lambat laun mengubah pola interaksi masyarakat yang sudah sejak lama menjadi identitas, serta tidak jarang menggerus identitas lama (lokal) dan merubahnya menjadi identitas baru (global). Munculnya fenomena ini menuntut adanya respons cepat sebagai agenda mempertahankan nilai dan norma yang sudah menjadi identitas suatu bangsa (atau komunitas) tanpa melarikan diri dari perubahan yang terjadi.

Upaya mempertahankan identitas lama yang sudah terinternalisasi perlu dilakukan karena dampak negatif (madharat) dari globalisasi sangat begitu kuat, selain dampak positifnya. Dengan globaliasai, tembok-tembok teritorial tidak lagi kokoh, etnisitas serta nasionalime mulai kering, sehingga menimbulkan budaya baru seperti budaya konsumtif, shock culture, dan masyarakat penuh resiko.

Namun, hadirnya globalisisasi tidak dapat dihindari karena merupakan sebuah keniscayaan akibat pesatnya teknologi dan informasi. Maka yang penting dilakukan dalam merespons globalisasi adalah memberikan alternatif yang bernuansa dialogis, integratif, dan tidak norma-doktrinal atau menutup diri dari globalisasi.

Tidak terkecuali dalam agama. Globalisasi dalam sektor agama ditandai dengan munculnya sekularisasi serta perubahan fundamental sistem kenegaraan yang serba demokratis. Sekularisasi dan demokrasi menjadi musuh bersama kaum agama (theocrazy community). Sekularisasi dan demokrasi dianggap sebagai sebuah paham yang melenceng dari ajaran-ajaran agama sehingga perlu ditentang. Sikap reaktif ini menjadi salah satu alasan mengapa radikalisme dijadikan salah satu jalan untuk mewujudkan keutuhan agama dan Tuhan sebagai pencipta segala hukum.

Lantas, apakah gerakan radikalisme yang dimotori oleh umat beragama ini adalah langkah alternatif menahan laju globalisasi di Indonesia? Ataukah justru sebaliknya, radikalisme adalah upaya bunuh diri umat beragama dan mencoreng nama baik agama itu sendiri? Hadirnya buku Radikalisme Agama di Indonesia karangan Dr. Zuly Qodir mencoba mengeksplorasi fenomena tersebut.

Dr. Zuly Qodir menjelaskan fenomena radikalisme agama yang terjadi di Indonesia adalah sebuah respons umat beragama terhadap hadirnya globalisasi di tengah Indonesia yang merubah sistem keagaaman dengan munculnya sekularisasi dan sistem kenegaraan yang ditandai dengan demokrasi. Kemunculan gerakan radikal ini ditengarai oleh organisasi keagamaan non-mindstream, seperti Hisbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam yang mengimpikan terbentukanya negara khilafah.

Namun, gerakan radikalisme yang ditengarai oleh organisasi keagamaan non-mindstream juga disangsikan oleh Zuly Qodir sebagai upaya penyelamatan terhadap ajaran-ajaran agama di tengah hadirnya globalisasi. Kesangsian Zuly Qodir terhadap gerakan radikal ini berdasarkan spirit agama (Islam) untuk mentranformasikan nilai-nilai kemanusian, pembebasan terhadap segala bentuk penindasan, serta hubungan transenden yang harmonis.

Pernyataan yang demikian pada hakikatnya adalah keinginan untuk menjadikan agama sebagai rahmatul lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), bukan seperti yang dilakukan oleh organisasi agama (Islam) radikal. Agama seharusnya hadir lebih dekat dalam kehidupan manusia dalam menjalankan dan mentransformasikan nilai-nilai ajarannya, bukan sebaliknya menjadikan agama sebagai alat untuk membungihanguskan manusia lainnya dengan mengatasnamakan agama.

Senada dengan itu, Hans Kung yang dikutip oleh Amin Abdullah lebih spesifik mengatakan, setidaknya ada beberapa kriteria yang harus disandang agama dalam kehidupan global sekarang ini. Pertama, agama harus kembali kepada konsepsi teologisnya yang benar, bukan sebaliknya menjadi teologi yang konformis dan opurtunis. Kedua, agama harus dikembangkan menjadi teologi yang bebas dan kritis. Agama harus bebas dari ketergantungannya pada institusi fatwa atau lembaga keimanan dan dengan bebas dapat menggunakan analisis kritis untuk menemukan kebanaran yang terkandung di dalam ajarannnya. Ketiga, agama tidak membatasi diri untuk melayani sebagian umat, melainkan menjadi penerang jalan seluruh umat manusisa (Fachrzal A. Halim, Beragama dalam Belenggu Kapitalisme, 2002).

Baik Zuly ataupun Hans sama sekali tidak mengatakan bahwa agama adalah sesuatu yang berlawanan dengan globalisasi atau perubahan sosial lainnya. Justru keduanya saling menguatkan spirit agama dalam menciptakan umat manusia terbebas dari penderitaan, eksploitasi dan kesenjangan sosial. Agama harus menjadi tembok terakhir ketika laju globalisasi semakin tajam menggerus nilai-nilai kemanusian.

Menganggap globalisasi dan agama berlawanan tidak lepas dari pola pikir literal-tekstual yang digunakan oleh organisasi keaagamaan radikal. Berpikir literal-tekstual sama halnya dengan mengartikan sumber-sumber agama secara dogmatisme yang sempit, disertai dengan satu formalisme dalam tingkah laku dan aturan kehidupan yang lahir. Satu aspek lain yang akan menonjol adalah dari cara literal-tekstual adalah sikap konfrontatif terhadap semua pihak dan pribadi serta golongan yang tidak sependapat dengan mereka, entah mereka berada dalam rumpun agama mereka, entah mereka berada di luar rumpun agama yang lain (hal.61).

Implementasi dari pola pikir literal-tekstual sangat begitu tampak terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus Syiah dan Sunni di Sampang, konflik antar agama di Indonesia bagian timur, serta penolakan oleh organisasi keagamaan terhadap pelantikan Gubernur DKI Jakarta, atau penolakan terhadap Miss World yang akan diselenggarakan di Bogor kemarin adalah semua potret dari pola pikir literal-tekstual.

Selebihnya, buku ini tidak hanya mampu menjelaskan fenomena radikalisme agama yang terjadi di Indonesia, melainkan buku ini merupakan upaya ‘penyelamatan’ terhadap nilai-nilai ajaran agama (Islam) sebagai agama yang membawa kemaslahatan bagi sesama.

Judul: Radikalisme Agama di Indonesia

Penulis: Dr. Zuly Qodir

Terbit: Maret, 2014

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Tebal: xviii+282 hal

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun