Mohon tunggu...
Idris Egi
Idris Egi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fishum I.kom 11730073

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Kekuasaan

3 Desember 2014   19:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:08 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang menjadi kelebihan dan rakyat patut memberikan apresiasi positif terkait momen berdamainnya wakil rakyat kubu Prabowo (Koalisi Merah Putih) dan kubu Jokowi (Koalisi Indonesia Hebat)? Kata damai yang disepakati dua kubu tersebut, toh, bukan karena landasan yang fundamental, yakni kepentingan rakyat. Melainkan, kepentingan kedua kubu koalisi untuk merebut posisi strategis dalam jabatan legislatif di tingkat nasional.

Konflik tersebut terjadi semenjak proses pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam proses pemilihan, ketika rakyat memilih Jokowi-JK sebagai presiden pengganti SBY, lantas kubu Prabowo mengeluarkan manuver politik yang begitu cadas dan kejam dengan menyapu bersih pimpinan legilatif. Hal ini memungkinkan bagi kubu Prabowo dikarenakan jumlah kader-kader yang tergabung dalam Koalisi Merah putih lebih banyak daripada Koalisi Indonesia Hebat.

Tentu saja Koalisi Indonesia Hebat tidak akan membiarkan jabatan strategis di legislatif kesemuanya dipegang oleh Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta saat pemilihan Presiden. Koalisi Indonesia Hebat yang dalam pemilihan mendukung Presiden Jokowi-JK memiliki tugas agar presiden terpilih “tidak terhambat” dalam melaksanakan program kerja yang diagendakan. Mereka harus bekerja super ekstra agar lembaga eksekutif dan legislatif bersinergi.

Apa yang menjadi keinginan kedua belah pihak tentu merupakan catatan hitam dari perjalanan sistem perpolitikan Indonesia. Di satu sisi, Koalisi Indonesia Hebat menganggap jika pimpinan legislatif dikuasasi Koalisi Merah Putih akan menghambat kinerja Jokowi. Sedangkan lembaga pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif tugas mulanya adalah menciptakan keseimbangan dalam menjalankan kebijakan. Hal ini tentu tidak harus satu paket, mengingat sangat penting adanya kontrol dari tiap lembaga untuk menciptakan keseimbangan tersebut.

Di sisi yang lain, Koalisi Merah Putih lebih menunjukkan hasrat politik-kekuasaan dalam merebut jabatan di lembaga legislatif. Bahkan, Koalisi Merah Putih terlihat lebih mengedapankan ego dan balas dendam atas kekalahan Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden. Hal ini sangat terlihat, ketika muncul dan disahkannya RUU MD3 dan RUU Pilkada tidak langsung yang jelas-jelas menciderai spirit demokrasi, yakni melibatkan rakyat sepenuhnya dalam kancah politik.

Pertuakaran Sosial

Benar apa yang dikatakan oleh George C. Homans (Ardhie Radhitya, MA, 2014), bahwa interaksi sosial tidak lepas dari sebuah peristiwa pertukaran sosial yang sama-sama memiliki kepentingan. Kata damai, juga bukan harapan rakyat yang sebenarnya. Rakyat membutuhkan kinerja yang realistis dari setiap wakil rakyat yang duduk di Senayan. Tentu saja, kekecewaan yang telah membuncah tersebut tidak dapat terbayarkan oleh kedua kubu yang bersepakat damai hanya karena kepentingan politik dan jabatan.

Lebih lanjut, Homans menjelaskan bahwa pertukaran sosial selalu ada biaya (cost) dan imbalan (reward) yang harus dikeluarkan dan didapatkan oleh kedua belah pihak yang melakukan interaksi. Kita bisa melihat dengan begitu jelas, pengorbanan (biaya) mahal yang dikeluarkan oleh Koalisi Indonesia Hebat dengan mendirikan pimpinan tandingan baru di DPR. Tentu biaya yang harus dikeluarkan adalah sikapnya yang kekanak-kanakan di tengah persepsi rakyat.

Namun, sikap kekanak-kanakan yang dipersepsikan oleh rakyat itulah yang mebuat Koalisi Indonesia Hebat mendapatkan jabatan (imbalan) strategis di DPR. Lantas di mana posisi rakyat ketika proses pertukaran sosial itu terjadi dan jabatan diperebutkan sampai pada terjadinya kata damai?

Sudah sejak dahulu, Machievelli (Il Principle,2014) mengajak umat manusia untuk melihat kekuasaan dengan realistis. Baginya, kekuasaan bukan lagi berbicara tentang spirit nilai untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Para pemimpin terlebih dahulu mengamankan posisinya dalam merebut dan mempertahankan kekuasaannnya, baru kemudian memberikan serpihan kepedulian kepada rakyatnya. Untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaanya itulah, muslihat, tipu-menipu, fitnah diperbolehkan.

Tentu kita tidak perlu mencibir pendapat Machievelli dengan beragumen bahwa politik adalah seni mensejahterakan kehidupan umat manusia seperti yang dikatakan oleh Aristoteles dan Hannah Arendt. Karena dengan membandingkan, rakyat hanya akan memberikan pemakluman terhadap pemilik kekuasaan dan bersabar menunggu kapan kesejahteraan itu akan tiba.

Melihat realitas politik yang terjadi antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat, rakyat hanyalah penikmat dari drama politik yang tidak dilibatkan dalam situasi tersebut secara langsung. Rakyat hanya diberikan kesempatan untuk melihat perebutan kekuasaan dengan jujur, bahwa kekuasaan dalam politik adalah proses penistaan terhadap kedaulatan rakyat itu sendiri dan, bukan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun