Buku Islam Hijau, Refleksi Keagaman dan Kebangsaan Nahdlatul Ulama karya KH. Masrur Ahmad MZ adalah sebuah ijtihad untuk mempertegas kembali eksistensi dan peran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial-keagamaan dalam mengawal keislaman dan kebangsaan di Indonesia.
Di tengah munculnya gerakan-gerakan radikal dan fundamental yang mengatasnamakan agama, rasanya menjadikan hati beliau terenyuh dan perlu “menyadarkannya”. Beliau merasa harus “turun tangan” supaya gerakan radikal dan fundamental tersebut tidak kebablasan lalu merusak tatanan sosial Indonesia yang sudah mapan. Sebab bagaimana mungkin, Islam Indonesia di-Arabisasi-kan, sedangkan masyarakat Indonesia plural? Sebab bagaimana mungkin kita melupakan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila yang dibangun berdarah-darah oleh founding fathers yang berhaluan berbeda-beda seperti nasionalis, agamais, dan komunis?
Lalu pertanyaannya, mengapa beliau mengambil NU sebagai contoh organisasi sosial-keagamaan yang perlu dijadikan kiblat umat Islam dalam beragama dan berbangsa? Jawabannya tentu tidak hanya karena beliau kiai yang lahir dari kalangan pesantren yang jelas-jelas itu adalah NU. Jauh lebih dari itu, baik secara historis, kultur, dan keadaan sosial, Islam (NU) bukanlah agama atau kepercayaan yang mengajarkan amalan dehumanisasi, atau menimbulkan bencana sebagaimana dikatakan oleh Charles Kimbaldalam bukunya Kala Agama Jadi Bencana ( Mizan, 2013).
Sebagaimana beliau menulis dalam kata pengantanya, “Dedaunan membuat mata sejuk memandang. Teduh nan rindang. Duduk di bawah pohon yang lebat daunya membuat dada bernafas lega. Segar. Polusi udara dinetralkan. Terik matahari dihadang. Dedaunan berwarna hijau, sehijau Nahdlatul Ulama.” (hal. xiii). Begitulah kira-kira beliau menggambarkan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan. Maka tidak heran jika beliau ingin menghadirkan kembali Islam rahmatal lil ‘alamin kepada setiap organisasi sosial-keagamaan, sebagaimana dipegang-teguh oleh NU.
Akar Historis
Keberadaan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan tidak bisa lepas dari dua faktor penting, yakni faktor global dan lokal. Faktor global mencakup gerakan Wahabi yang terjadi di Timur Tengah dengan semangat pembaharuan Islam yang menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” dengan –salah satunya—melepaskan diri dari sikap bermazhab. Kedua, konteks politik; yaitu keruntuhan Khilafah Turki Utsmani (hal. 19).
Jelas bahwa gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab dan pengikutnya sangat bertentangan dengan kondisi sosial dan kultur masyarakat Indonesia yang majemuk. Salah satu yang diagendakan Wahabi seperti menganggap tahlil, ziarah, peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah dan khufarat sehingga harus ditiadakan. Tak berhenti di situ, mereka juga berkeinginan menghancurkan makam Nabi.
Dalam pola penyebaran nilai-nilai Islam mereka melakukannya melalui cara-cara kekerasan dan radikal. Pola penyebaran ini semakin mendapat tantangan dari kelompok Islam tradisionalis. Kelompok tradisionalis menganggap bahwa Islam adalah agama kasih sayang, sehingga tidak dapat dibenarkan jika dalam muamalahnya dibumbui dengan kekerasan dan radikal.
Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani pasca Perang Dunia I tentu saja menuai respon dari umat Islam seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun, kelompok tradisonalis merasakan kekecewaan yang sangat luar biasa karena tidak dilibatkan dalam Muktamar Khilafat di Makkah yang diadakan oleh Ibnu Saud. Alasannya karena kelompok tradisionalis bukan orgnasisasi formal, hal ini ditandai dengan pencoretan nama KH. A. Wahab Hasbullah dalam Konggres Al-Islam kelima di Bandung. Sikap diskriminatif inilah yang kemudian menjadikan NU berdiri dengan segala proses dinamikanya.
Selain faktor global, faktor lokal juga mempengaruhi terbentuknya organisasi bernama NU. Masuknya penjajah merupakan salah satu penyebab diadakannya organisasi oleh para ulama dan kelompok tradisionalis lainnya. Hal ini semakin menujukkan bahwa peran ulama dalam proses kemerdekaan tidak bisa dihilangkan. Apalagi dalam keikutsertaanya dalam melawan penjajah di Surabaya, yang dikenal dengan seruan Resolusi Jihad.
Komitmen NU
Tidak berhenti dalam memperjuangkan kemerdekaan sebagai wujud kecintaan NU terhadap bangsa Indonesia. NU melalui para ulama terus berperan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menerima Pancasila sebagai landasan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Sikap NU dalam menerima Pancasila sebagai landasan negara ini dibuktikan dalam Muktamar yang berlangsung di Situbondo pada tahun 1984.
Setelah Orba runtuh, peran ulama NU juga tidak berhenti dalam menjaga kesatuan bangsa Indonesia. Melalui Gus Dur, upaya rekonsiliasi terus diupayakan. Namun sayang, upaya Gus Dur berakhir tragis. Tapi pengakuan terhadap Thionghoa sebagai agama, tidak dapat dihilangkan dari memori bangsa Indonesia dalam rangka mengangkat martabat kaum minoritas yang tidak lepas dari sikap diskriminatif.
Uapaya NU dalam menjaga kesatuan bangsa Indonesia tentu tidak akan pernah berhenti sampai disitu saja. Masa pemerintahan Jokowi-JK adalah potret dari komiten NU untuk menjaga NKRI. Di tengah munculnya fitnah politik terhadap Jokowi, NU tetap berada dalam posisi tengah lagi tegas. Apalagi terkait isu komunis yang ditujukan kepada Jokowi, atau munculnya gerakan ISIS yang dengan sangat kasat mata menginginkan negara khilafah di Indonesia. Karena dalam tatanan hukum NU termaktub sebuah seruan; Jika dalam suatu situasi dan kondisi terdapat dua pilihan yang sama-sama memiliki potensi menyebabkan mudharat, maka dipilihlah satu yang paling kecil potensi kemadharatannya (hal. 136)
Judul : Islam Hijau, Refleksi Keagaman dan Kebangsaan Nahdlatul Ulama
Penulis: KH. Masrus Ahmad MZ
Terbit: 2014
Penerbit: alQodir press
Tebal: xx+316 halaman
ISBN: 978-602-7731-79-1