Mohon tunggu...
Idris Egi
Idris Egi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fishum I.kom 11730073

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cikedung

13 Januari 2015   23:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:13 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah banjir novel populer dengan bahasa melangit tanpa makna, alur cerita romantis yang begitu-begitu saja, ruang abstrak yang dijadikan latar percintaan, serta heroisme metropolitan yang semraut seolah menjadi satu-atunya anomali sosial yang terjadi di kota-kota megah dan banyak pabrik, Kelir Slindet hadir dengan wajah yang berbeda. Menceritakan tentang Cikedung yang tak kalah ‘anomali’nya dengan kota-kota metropolitan; gincu dan parfum murahan, semerbak alkohol, telembuk (pelacur), Kaji Nyupang (kyai pesugihan), dangdut tarling, beserta hiruk-pikuk lainnya sampai pada percintaan yang membawa petaka karena benturan status sosial, dan dengan penuh dendam diceritakan Kedung dalam novel ini. Layaknya Joni Ariadinata mengatakan, “penuh dendam Kedung menulis novel ini yang sekaligus menjadi saksi kecintaanya terhadap tempat kelahirannya”

Adalah Safitri, anak (mantan) telembuk dan Mukimin anak Kaji (Nyupang) yang sembunyi-sembunyi menjalin asmara. Safitri yang khas dengan bibir merah kepundung-nya, suara merdu, dan tubuh yang molek itu diam-diam disukai oleh anak Kaji bernamaMukimin yang urakan, tidak suka mengaji meskipun bapaknya punya mushollah dan disegani: menjadi inti cerita novel ini yang kemudian dibuntuti dengan ‘gunjingan’ masyarakat Cikedung.

Mukimin selalu mengintip Safitri di balik jendela musholla tempat Safitri mengaji. Di awal cerita Kedung telah menjadikan Cikedung sebagai wilayah yang semraut.Tempat santri yang kelabu! Dan ternyata Safitri menyimpan kagum pada Mukimin. Apalagi ketika Safitri datang di sampingnya—di tepi sungai atau makam tua—betapa semrautnya Cikedung, Safitri yang harusnya menjadi figur keindahan karena kemerduan suaranya saat bernyanyi kasidah ternyata juga sembunyi-sembunyi ingin bercinta, bersyahwat seperti Saritem—ibunya—seorang telembuk.

Dari situlah gunjingan tentang Mukimin dan Safitri mencuat di warung-warung kopi, pasar, tempat hiburan bahkan tempat mengaji: Safitri memiliki ilmu hitam, memelet Mukimin. “Paling-paling juga Mukimin dirayu atau diguna-guna…”(hal. 163). Safitri dituduh tidak tahu diri karena ibunya yang menjadi telembuk dan mengharapkan menjadi isteri orang terpandang. Tidak hanya karena Mukimin yang menyukainya, tapi banyak lelaki terpandang lainnya menyimpan perasaan dan berkeinginan mempersuntingnya, termasuk kakak Mukimin sendiri: Musthafa. Tapi sayang, Musthafa ditolak karena Safitri lebih menyukai adiknya yang urakan dan tidak alim.

Keluarga Kaji tidak menginginkan anaknya menikah dengan anak (mantan) telembuk. Anak Kaji harus menikah dengan keluarga yang sederajat. Ah, Cikedung bagi Kedung tidak ubahnya kumpulan individu yang semaraut. Kenapa cinta yang begitu suci itu dihambat oleh benturan status sosial yang kontras.

Mukimin putus asa, begitu juga dengan Safitri. Safitri berhenti mengaji di tempat Kaji, berhenti sekolah dan mengurung dirinya di kamar selama tiga bulan sambil lalu mendengarkan musik dangdut dari tape-nya yang bobrok. Parahnya Safitri memilih menyanyi dangdut tarling, dan berhenti menjadi vokalis kasidah milik Musthafa. Gosip di Cikedung tambah memanas, dan seolah Safitri adalah jejeran tanggal dalam kalender yang tidak ada habisnya, menusuk-nusuk jantungnya.

Menjadi penyanyi dangdut tarling bagi Safitri memiliki kepuasan tersendiri. Disawer dan menghasilkan uang sendiridari pada menjadi vokalis kasidah, tidak peduli gunjingan orang-orang di sekitarnya. Ada yang menghujat dan ada yang ingin meniduri. Lima bulan berselang, Safitri hamil. Gunjingan semakin panas di bawah langit Cikedung. Mulut berbusa penuh semangat bercerita tentang Safitri yang hamil dan siapa bapaknya.

Tidak ada kabar, cerita dan gunjingan lagi setelah Mukimin dan Safitri menghilang bersamaan. Tetapi begitulah Cikedung, keluarga telembuk adalah yang paling salah, Kaji adalah yang paling benar. “Sudah salah masih saja kayak gitu, lama-lama stres keluarga itu. Ujung-ujungnya yang disalahkan Kaji Nasir lagi!” (hal.197). Dalam bahasa yang sejuk Kedung menulis, “Hari terus berangkat. Angin menabrak pohon dan menjatuhkan daun-daun yang sudah menguning” (hal. 210).

Kedung melalui novel ini ingin menampar Cikedung sebagai masyarakat yang paling diskriminatif. Status sosial menjadi ukuran kebenaran, tentu saja karena kekuasan, kekayaan.

Siapa Didi?

Dalam paruh cerita yang tidak terduga, Kedung menghadirkan tokoh bayangan bernama Didi. Didi yang menceritakan Safitri dan menanyakan atas segalah tuduhan yang melekat pada dirinya dan membelanya. Sekaligus membalikkan fakta, menceritakan ‘yang sebenarnya’. Siapa yang harus dianggap salah, apakah Safitri karena dia anaknya telembuk, atau dari pihak Kaji Nasir? Begitu juga Didi menghujat masyarakat Cikedung yang tidak berhenti memuaskan dirinya untuk membicarakan perkara orang lain.

Tulisnya, “Aku benci semua orang yang menuduh Safitri berzinah. Tidak mungkin dia melakukan hal seperti itu. Otak merekalah yang menzinai Safitri. Kirik! Mereka bahkan tak lebih dari seorang pecundang yang gagal hidupnya…”(hal. 242). Dalam pokok inilah, pembaca diajak menanyakan Didi, siapa dia? Apakah dia hanya sebatas teman Safitri ketika mengaji? Atau jangan-jangan, dialah yang tahu siapa orang yang membuat Safitri Hamil?

Saat kebenaran tidak lagi diukur dengan kebenaran itu sendiri. Cikedung memiliki Didi laiknya malaikat. Bersikeras mengunggkap kebusukan. Tapi apalah arti Didi, anak seorang pemabuk tidak mungkin dipercaya banyak orang. Cikedung adalah Cikedung, dengan segala kesemrautannya!

Judul: Kelir Slindet

Penulis: Kedung Darma Romansha

Terbit: Maret, 2014

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 256 halaman

ISBN: 978-602-03-0356-7

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun