Mohon tunggu...
Idris Egi
Idris Egi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fishum I.kom 11730073

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ajaran Samin dan Identitas Wong Sikep

14 Januari 2015   02:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:12 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah gempuran budaya materialistis (baca: kolonialisme), Wong Sikep (pengikut Samin) masih mempertahankan nilai-nilai tradisi. Kearifan lokal (local wisdom) menjadi wejangan untuk para pendatang (budaya) baru. Mereka tidak hanya kolot, tetapi mereka juga ngotot mempertahankan nilai-nilai tradisi luhur. Mereka tidak lagi membicarakan tentang bagaimana harus memberontak dan bersikap adaptif terhadap budaya baru, mereka hanya mengamalkan ‘ajaran’ yang sudah sejak lama mengakar. Sehingga tidak heran, streotipe terhadap Wong Sikep timbul dengan nada ‘yang kurang enak’, seperti ‘orang Samin identik dengan orang bodoh yang tidak berbudaya dan harus dijauhi’ sebagaimana orang kolonial mengatakannya. Pokok ajaran Samin sangatlah sederhana: Wong Sikep weruh teke dhewe (Orang Sikep tahu miliknya sendiri). Konsep milik ini, oleh Samin lebih ditekankan pada sisi kewajiban dan tanggung jawab yang melekat di dalamnya, bukan sekadar kesadaran akan sisi hak. Karena itu, weruh teke dhewe (tahu miliknya sendiri) lebih bermakna agar Wong Sikep tidak iri atau mengganggu milik orang lain (hal. 13-14). Ajaran Samin yang sederhana itu tidak dapat diganggu gugat. Sebagaimana yang terjadi pada tahun 1870, ketika kolonial Hindia-Belanda menerbitkan Staatblaad No.55 mengenai domainverklarin, yaitu peraturan yang memberikan hak kepada negara untuk mengklaim kepemilikan atas tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya oleh individu atau masyarakat melaui bukti-bukti tertulis. Dengan pengakuan terhadap kepemilikan atas tanah, maka melekat pula kewajiban pemilik tanah untuk membayarkan sejumlah pajak (hal. 75). Sayangnya, fakta yang terjadi di lapangan seperti di tiga desa Blora, satu desa di Bojonegoro, dan satu desa di Pati tidak satupun Wong Sikep mengindahkan perintah kolonial pada waktu itu. Mereka menganggap bahwa, lemah padha duwe, banyu padha dhuwe, kayu padha dhuwe (tanah milik semua orang, air milik semua orang, kayu milik semua orang), sehingga tidak layak mereka membayar pajak kepada negara atas tanah, air, dan kayu yang mereka ‘miliki’. Bentuk ajaran Samin seperti di atas, sebagaimana ditulis Sholeh dan Muhammad dalam buku Sami:, Mistisme Petani di Tengah Pergolakan, lebih bersifat pada individu dan penekanan moral. Artinya ajaran Samin eksklusif. Di sisi yang lain, ajaran-ajaran seperti di atas tidak diakui bahwa bersifat perintah oleh Samin kepada pengikutnya. Pengakuan Dangir (murid Samin), dalam persebaran ajaran Samin terdapat dua kriteria yakni ‘yang murni’ dan ‘tidak murni’. Yang murni seperti dikatakan oleh Samin adalah dirinya sendiri, sementara para penduduk pengikutnya belum murni sehingga tidak layak diajarkan. Khazanah pembelajaran seperti di atas, yakni mengajarkan tapi tidak mengakui mengajarkan dalam ilmu badie’ disebut dengan tauriyah, yakni lafal yang bermakna ganda; dekat dan jauh. Sementara menurut Suwardi Endraswara, dalam laku kebatinan Jawa, para pemula jarang diminta ‘berpikir tentang’, tapi disuruh ‘merasakannya sendiri’ (rasakne dhewe), ‘membaca’, ‘menyaring’, menghubungkan’ atau ‘menyadari’ apa-apa yang salah dipahami oleh refleksi sederhana. Penafsiran dari apa yang diajarkan Samin memang tidak bisa dipisahkan dari laku Jawa, terutama tentang mistik, ajaran kebatinan, yang harus ditempuh dengan laku atau perjalanan ruhani. Buku Samin: Mistisme Petani di Tengah Pergolakan, selain menjelaskan ajaran-ajaran Samin, juga dengan ‘abu-abu’ mengidentifikasi Wong Sikep.Untuk mengidentifikasi Wong Sikep di masa sekarang tidak bisa dilepaskan dari periode penjajahan, kemerdekaan dan pada masa Orde Baru. Pada masa penjajahan, identitas Wong Sikep adalah bodoh, tidak berbudaya dan stereotipe buruk lainnya. Identifikasi yang demikian tidak bisa dipisahkan dari tekanan kolonial dalam memberlakukan undang-undang yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Samin. Sehingga Wong Sikep melepaskan diri dari lingkungan masyarakat sekitarnya, yakni dengan bersikap eksklusif. Pada masa kemerdekaan, Wong Sikep mulai melebur dengan masayarakat sekitarnya. Wong Sikep mengakui keberadaan negara serta mulai membuka diri, meskipun secara tidak langsung mengatakan mengikuti apa-apa yang menjadi peraturan baku negara. Soekarno yang ditemui oleh salah satu pengikut Samin, Surokarto Kamidin, menjadi pertemuan paling penting dalam mengidentifikasi Wong Sikep. Hasilnya adalah, Wong Sikep menyatakakan menerima keberadaan negara, atau bersikap populis dan inklusif. Peristiwa Mbah Suro di Dusun Nginggil, yang dianggap melindungi anggota Partai Komunis Indonesia menjadi titik balik dari inklusif ke ekslusif. Dengan tertangkapanya serta kabar kematiannya, Wong Sikep kembali pada sikap eksklusifnya yang terjadi pada mas Orde Baru. Pada masa sekarang, ajaran Samin masih dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh pengikutnya, terutama dalam praktek ritual pernikahan. Pernikahan bagi Wong Sikep adalah titik kesempurnaan manusia. Artinya bahwa, ajaran-ajaran Samin masih diamalkan, meskipun pada perjalanannya, melalui budaya-budaya baru yang tak henti menggerusnya, ajaran-ajaran Samin mulai mengikis dan mengering. Judul : Samin: Mistisme Petani di Tengah Pergolakan Penulis : Anis Sholeh Ba’asin dan Muhammad Anis Ba’asyin Terbit : Maret, 2014 Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri Tebal : xxx+218hlm ISBN : 978-602-1220-02-3

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun