Di kalangan sebagaian besar masyarakat muslim di Nusantara, bulan Rajab sangat identik dengan peringatan Isra' Mi'raj. Bahkan, peringatan ini telah dianggap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan syariat yang telah berakulturasi dalam doktrinasi ketaatan eksetoris beragama. Meskipun kejadian maha dahsyat yang menjadi mu'jizat bagi Rasul SAW tersebut tidak disepakati oleh para ulama kapan persis waktu kejadiannya.
Ada banyak varian pendapat tentang waktu kejadian peristiwa ini. al-Imam Muhammad Abu Zahrah, dalam sebuah karyanya Khatam al-Nabiyin, menjelaskan bahwa Isra' Mi'raj terjadi pada tanggal 27 Â Rajab. Asumsi ini mengikuti pendapat al-Hafiz Abd Ghany Ibn Surur al-Maqdisy. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa Isra terjadi pada Malam Sabtu tanggal 17 Ramadhan, 18 bulan sebelum Hijrahnya Rasul saw ke Madinah, dan di saat itu Rasul berumur 51 tahun 9 bulan. Selain itu, Ibn Hisyam, Ibn Athir dan Ibn Kasir berpendapat bahwa peristiwa Isra' Mi'raj terjadi pada 12 Rabiul Awwal atau terjadi dalam bulan Zul Qa'dah.
Seorang ulama asal India, Syeikh Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri dalam sebuah karyanya yang pernah mendapat penghargaan sebagai karya terbaik di bidang Biograpy Rasul SAW, Â al-Rahiq al-Makhtum menyimpulkan, setidaknya ada enam pendapat tentang waktu kejadian Isra' Mi'raj, yaitu terjadi pada tahun diangkatnya nabi Muhmmad SAW sebagai Rasul, lima tahun setelah kenabian, tanggal 27 Rajab tahun ke 10 dari kenabian, bulan Ramadhan 16 tahun sebelum Hijrah, bulan Muharram 1 tahun 2 bulan sebelum Hjrah, bulan Rabi'ul Awwal 1 tahun sebelum Hijrah. Â Â Â Â Â Â
Terlepas dari perdebatan tentang kapan waktu Isra' Mi'raj itu terjadi, semua ulama hampir sepakat bahwa titik krusial dan pelajaran penting dari peristiwa besar itu bukan terletak pada kapan waktu kejadiannya, namun sejauh mana peristiwa bersejarah itu melahirkan 'ibrah dan makna yang bisa menjadi acuan dan pedoman pembelajaran dalam kehidupan.Â
Hasrat mengambil pembelajaran itu kemudian melahirkan acara seremonial dalam melestarikan masa lampau. Karena menurut Kuntowijoyo, dalam Pegantar Ilmu Sejarah, pelestarian masa lampau itu menjadi sikap terhadap sejarah, karena menganggap masa lampau itu penuh makna. Bahkan, sejarah itu memperhitungkan masa lalu untuk membicarakan masa kini dan masa kini untuk masa depan. Â Â
Tentu, pelestarian sejarah Isra' Mi'raj bukan semata soal seremoni, apatah lagi hanya terjebak dalam budaya mengeja kisah yang nihil hikmah. Peristiwa yang tak mungkin terjadi bagi manusia selain Rasul SAW itu direkam oleh kitab suci al-Qur'an, guna untuk memperlihatkan keagungan (linuriyahu) akan ayat-ayat Tuhan sebagai pedoman dan rujukan semesta alam.
Kisah Isra' Mi'raj seolah sedang memperagakan ayat qur'aniyah (teks al-Qur'an) yang tak mungkin tertandingi sekaligus ayat kauniyah (tanda-tanda alam) yang juga sangat sarat makna dan pembelajaran. Jika mendatabburi ayat qur'aniyah tentang Isra' yang terangkum dalam surat al-Isra atau surat Bani Israil, dan Mi'raj dalam surat al-Najm, seakan makna ayat tersebut selalu berdialog dalam realitas kekinian, baik tentang kondisi masjid al-Aqsa di Palestina, konflik antara negara Palestina dan Zionist Israel yang tak berkesudahan hingga tentang tabiat kaum Yahudi yang selalu angkuh dan pembuat kerusakan.
Begitu juga dengan ayat kauniyah, peristiwa Isra' tidak bisa lepas dari sorotan dimensi akademik dan ilmu pengetahuan. Seakan, perjalanan Isra' dan Mi'raj senantiasa menantang para ilmuan, saintis untuk mendalami dan bahkan menguji secara ilmiah perjalan Rasul SAW dengan Ruh dan Jasadnya sekaligus, yang bisa menembus jarak yang sangat jauh, dua bulan perjalanan pulang pergi dengan Onta, tapi bisa ditembus dalam satu malam (Laila).
Dari itu, agaknya semua bisa sefaham, bahwa peristiwa Isra' Mi'raj sedang menyuguhkan pelbagai hikmah yang kaya pesona dan makna. Selanjutnya bisa diuraikan dalam kondisi kekinian dan bisa diselaraskan dengan banyak keadaan, termasuk musibah wabah Corona yang sedang mencemaskan masyarakat dunia. Wabah pandemik yang sedang meresahkan manusia sejagat sekarang ini, seakan sedang memberi pelajaran, bahwa makhluk 'siluman' yang bernama virus Corona itu juga bagian dari ayat kauniyah yang boleh jadi diwujudkan untuk memperihatkan tanda dari kebesaran Tuhan di hadapan keangkuhan keturunan anak-anak Adam.
Covid 19 pemberian nama dari  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai nama penyakit akibat dari virus Corona ini, "boleh jadi" tentara Allah SWT yang sedang bergerilya menantang keakuan manusia yang lupa diri dan kufur terhadap nikmat pemberian-Nya. Karena acapkali bencana alam itu menjadi surat cinta dari Tuhan kepada para hamba, agar mereka kembali ke pangkuan kesadaran dan keisnsyafan sembari bersujud menuju Ridha sang Pencipta.
Peristiwa Isra' Mi'raj di alami Rasul SAW di saat penuh lara dan duka, yang disebut tahun kesedihan ('am al-huzn) karena ditinggal dua manusia kesayangannya, Khadijah dan Abu Thalib, kemudian Allah SAW hibur Rasul-Nya dengan memanggil hambaNya itu (bi'abdihi) ke Sidrat al-Muntaha. Semoga dengan pandemic virus Corona ini, para hamba dapat menghalau kepanikan serta kesedihan dengan 'bermi'raj' menghadap penuh ketundukan dan kehinanaan kepada Tuhan, serta bersimpuh dengan jujur akan segala kelemahan dan keterbatasan. Wallahu a'lam.