Publikasi Bank Indonesia tahun 2014, mengatakan bahwa pemerintah mengeluarkan program “Skim Kredit” yang dikaitkan dengan tugas dan program pembangunan ekonomi pada sektor-sektor usaha, seperti ketahanan pangan, peternakan, dan perkebunan. Skim Kredit merupakan pembiayaaan yang diberikan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai upaya dukungan dan peran pemerintah dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. Peran pemerintah dalam Skim Kredit UMKM ini pada sisi penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga Skim Kredit, sementara dana kredit untuk pembiayaan seluruhnya (100%) berasal dari bank-bank yang ditunjuk pemerintah sebagai bank pelaksana. Selain itu peran pemerintah sebagai penyiapan UMKM agar dibiayai dengan skim kredit dengan menetapkan kebijakan dan prioritas usaha yang akan menerima kredit, melakukan pembinaan dan pendampingan selama masa kredit, dan memfasilitasi hubungan antara UMKM dengan pihak lain, seperti hubungan UMKM dengan perusahaan besar yang ingin melakukan kerjasama, serta hubungan antar UMKM. Bank pelaksana “Skim Kredit” sepenuhnya di pegang oleh Bank BRI, BNI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, BCA, Bank Agroniaga, BII, Bank CIMB Niaga, Bank Artha Graha, BPD Sumut, BPD Sumbar, BPD Sumsel, BPD Jabar, BPD Jateng, BPD DIY, BPD Jatim, Bank Bali, BPD Sulsel, BPD Kalsel, BPD Papua, dan BPD Riau.
Skim Kredit KUR
Selama ini Skim Kredit yang sangat familiar di masyarakat adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pemberian KUR dilakukan khusus bagi UMKM dengan kategori usaha yang layak namun tidak mempunyai agunan yang cukup dalam rangka persyarakat perbankan. KUR merupakan Kredit atau pembiayaan kepada UMKM yang tidak sedang menerima Kredit atau Pembiayaan dari Perbankan atau tidak sedang menerima kredit dari Pemerintah pada saat permohonan Kredit atau Pembiayaan yang diajukan. Peluncuran Skim Kredit KUR yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai upaya pertumbuhan UMKM di Indonesia. Agar terjadinya petumbuhan terhadap UMKM, maka Skim Kredit ini harus di imbangi dengan produktivitas terhadap sektor UMKM tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2014 terdapat 55,2 juta usaha kecil-menengah. Seluruh usaha tersebut memberikan kontribusi dalam PDB sebesar 57,9 persen dan kontribusi penyerapan tenaga kerja 97,2 persen sedangkan di kawasan ASEAN, lebih dari 96 persen perusahaan di ASEAN adalah UMKM dan kontribusi terhadap Product Domestic Bruto (PDB) sebesar 30-50 persen. Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, Euis Saedah, menyatakan jumlah penduduk Indonesia terbesar di ASEAN akan menjadi sasaran pemasaran berbagai barang, jasa, dan investasi. Riset yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian menyebutkan UMKM masih lemah dalam akses terhadap modal, hak kekayaan intelektual, deregulasi, fasilitas ekspor, manajemen usaha dan administrasi, serta kontinuitas pasokan bahan baku. Disamping mempercayai bahwa sektor UMKM dapat mengatasi masalah pengangguran karena menciptakan lapangan kerja baru, terjadinya distribusi pendapatan yang merata, dan kontribusinya terhadap PDB.Melihat kondisi yang saat ini di hadapi oleh UMKM, pemerintah harus memadukan kebijakan pengembangan UMKM sebagai usaha yang tangguh dan mandiri merupakan sebuah anugerah yang harus di tekuni para pengambil kebijakan di bidang UMKM.
Keyakinan pemerintah bisa saja salah
Keyakinan pemerintah bisa saja salah,. Jika Skim Kredit dapat membantu sepenuhnya, karena pemerintah hanya melihat satu aspek yang dibutuhkan oleh UMKM dan hanya dilihat sebagai obat yang digunakan oleh pemeritah sebagai usaha yang dapat membuka lapangan kerja baru, terjadinya distribusi pendapatan yang merata, kontribusinya terhadap PDB. Padahal dalam UMKM terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan oleh pemerintah sehingga UMKM dapat tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Misalnya, Jepang dan Amerikan merupakan kedua Negara yang patut di cintih oleh Indonesia. Jepang merupakan Negara yang tidak lepas dari kontribusi UMKM dan di Amerika peran UMKM sebagai penciptaan lapangan kerja sejak perang dunia II, sumbangan UMKM ternyata tidak bisa diabaikan (DL Birch, 1979). AS benar-benar telah membuktikan hipotesis tersebut. Ketika sektor finansial terpuruk diterpa krisis yang melanda negeri adidaya itu pada 2008, sektor UMKM tampil sebagai penyelamat ekonomi. Masalah mendasar di Indonesia yang menjadikan UMKM belum sepenuhnya menjadi usaha mandiri ialah lemahnya otoritas kebijakan yang di luncurkan melalui program-program yang diberikan. Program yang diluncurkan tidak menggunakan pendekatan holistik dan koordinasi yang baik. Pendekatan holistik merupakan pendekatan yang didalamnya semua faktor diperhitungkan secara keseluruhan, saling bergantung satu sama lain untuk kepentingan semua. Jelas bahwa aspek modal bukan satu-satunya aspek yang menjadi perhatian pemerintah. Kenyataanya UMKM masih menghadapi aspek lain yang membutuhkan bantuan pemerintah. Misalnya, aspek perizinanan, kebanyakan UMKM tidak memiliki izin karena prosesnya yang sulit sehingga sampai saat ini kebanyakan berada pada sektor informal. Ketiadaan izin usaha menjadi kendala yang serius bagi perkembangan UMKM karena mereka tidak bisa mendapat kredit dari bank, tidak dapat menjual ke pengecer besar, dan tidak bisa melakukan ekspor. Hal ini merupakan sebuah aspek lain yang harus diperhatikan. Bagaimana pemerintah dapat mengemas dalam satu kebijakan ataupun program sehingga semua aspek dapat tersentuh. Pemerintah juga harus memikirkan bagaimana dapat mengkomunikasikan dan melakukan koordinasi dengan baik. Ibarat berdiri dengan satu kaki, kebijakan yang dilakukan hanya memperhatikan salah satu aspek merupakan suatu kebijakan yang pincang.
Beberapa langkah perbaikan
Dari paparan permasalahan yang telah diuraikan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan berkaitan dengan kebijakan pengembangan UMKM melalui Skim Kredit.Pertama, pemerintah harus mendesain payung kebijakan yang dapat menyentuh semua aspek yang dihadapi oleh UMKM. Untuk menjamin tingkat efektivitas kebijakan yang dilakukan diperlukan koordinasi dan sinkronisasi maka kebijakan tersebut berada dalam payung kebijakan yang memiliki daya jangkauan yang luas. Dari sisi substansi kebijakan, dalam rangka mewujudkan suatu kebijakan yang rasional maka diperlukan adanya riset yang menyeluruh untuk menggali data dan informasi yang berkaitan dengan aspek pengembangan UMKM. Data dan informasi yang komprehensif ini akan menghilangkan aspek penyederhanaan permasalahan yang sangat beragam. Kedua, pemerintah harus memperbaiki informasi dan bagaimana pemerintah dapat mengkomunikasikan program tersebut dengan baik. Realitanya program yang di luncurkan oleh pemerintah tidak semua elemen masyarakat mengetahui dan menerima program tersebut. Hal seperti ini harus dilakukan agar masyarakat tidak semestinya berprasangka buruk terhadap pemerintah. Pemerintah dapat mengkomunikasikan kebijakan yang diluncurkan melalui program dengan cara melakukan koordinasi dengan institusi yang ditunjuk yang sekiranya dapat mengkomunikasikan program tersebut kepada masyarakat. Ketiga, pemerintah dapat melakukan koordinasi dengan lembaga yang dapat memberikan pelatihan kepada UMKM. Lembaga ini diharapkan dapat memberikan pelatihan dan perbaikan pada aspek-aspek tertentu dalam rngka menciptakan UMKM yang mandiri dan tangguh. Misalnya, bagaimana UMKM ini dapat dibiayai dengan Skim Kredit dan menggunakan dana tersebut untuk peningkatan produktif. Jika kredit yang diberikan di imbangi dengan peningkatan produktivitas maka dapat menciptakan kesejahteraan sehingga uang yang dikeluarkan tidak sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H