Sejak Februari 1958, pertentangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Sumatera semakin memanas, sebagai dampak dari kebijakan Presiden Sukarno yang justru menimbulkan ketimpangan-ketimpangan sosial. Langkah Presiden Sukarno membubarkan Masyumi dan kedekatan pemerintah dengan komunis dinilai sebagai sebab munculnya gerakan menentang kebijakan Pemerintah Pusat. Hal itu juga yang dilakukan oleh Kuding.Â
Merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah, ia bersama dengan kawan-kawannya dari Masyumi menyuarakan kritik keras terhadap kebijakan Presiden Sukarno yang dinilai pilih kasih dalam memberikan kebijakan. Percik perselisihan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sampai pada puncaknya saat Kuding dan tokoh-tokoh Sumatera memproklamasikan berdirinya PRRI (Pasukan Revolusioner Republik Indonesia). Kuding pun ditunjuk menjadi presiden gerakan revolusioner yang berbasis di Sumatera Tengah itu.
Empat tahun lamanya Kuding dan keluarganya hidup hidup di hutan-hutan Bukit Barisan yang letaknya memanjang mulai dari Sungai Dareh di Sumatera Barat hingga Pinarik di Tapanuli Utara, Sumatera Selatan. Di masa-masa sulit itu, Kuding dan keluarganya harus tinggal di pinggir-pinggir sungai, harus lari terbirit ketika melewati hutan yang penuh pacet, juga harus menahan gigil saat melihat harimau dan hewan buas berseliweran di sekitar gubuk-gubuk reot yang mereka tinggali.
Pada Agustus 1958 Pemerintah Pusat berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya ikut bergabung dengan PRRI. Sejak saat itu, maka perlawanan PRRI dinyatakan selesai. Sesuai dengan Keputusan Presiden RI No.449/1961 orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan termasuk PRRI diberikan amnesti dan abolisi. Setelah peristiwa PRRI Kuding tak lagi aktif di lingkungan Pemerintah Indonesia. Ia memilih dakwah sebagai tempatnya untuk mengabdi dan memanfaatkan ilmunya, meski ia kerapkali dilarang ceramah karena isinya yang keras. Bahkan pada Juni 1985, Kuding sempat diperiksa polisi sehubungan dengan ceramahnya di Masjid al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta selepas shalat Hari raya Idul Fitri 1404 H.
Keaktifan Kuding di dunia dakwah membuat dirinya dinobatkan sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI). Selain aktif di dunia dakwah, ia juga aktif di dunia pendidikan dengan menjadi Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan, Pembangunan Manajemen (PPM), dan Anggota Yayasan Pesantren Islam---yang kemudian berafiliasi menjadi Yayasan Al-Azhar.Â
Untuk mengisi hari tuanya, Kuding menulis sebuah buku berjudul "Sejarah Moneter" bersama Oei Beng To. Meski Kuding adalah seorang pejuang kemerdekaan dan mantan pejabat negara, tapi ia jalani kehidupan masa tuanya dengan kesahajaan. Pernah ia ditawari sebuah rumah tinggal mewah yang terletak di Jl. Dipanegara No. 10 Menteng, Jakarta Pusat, tapi ditolaknya dengan halus dengan alasan ia tak ingin menerima segala sesuatu yang dibayar dari pajak rakyat. Sehingga ia memilih tinggal dan hidup sederhana di rumahnya sendiri yang beralamat di Gedung Hijau Raya, Pondok Indah, Jakarta Selatan sampai akhir hayatnya.
Sjafruddin Prawiranegara, anak bangsa yang memiliki jasa besar untuk negara itu menghembuskan napasnya yang penghabisan pada  15 Februari 1989 di usianya yang ke-77 tahun. Jasad lelaki sahaja yang seluruh hidupnya digunakan untuk membangun Indonesia itu disamadikan dengan tenang di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. []