Mohon tunggu...
Haidar Musyafa
Haidar Musyafa Mohon Tunggu... -

Haidar Musyafa lahir dalam keluarga yang sederhana di Sleman, 29 Juni 1986, putra pertama dari pasangan Allahuyarham Bapak Sudarman dan Ibu Wantinem. Baginya, kehidupan ini tak lain hanyalah ladang untuk berbagi kemanfaatan bagi sesama. Berbagi kebaikan. Berbagi ilmu. Berangkat dari keyakinan itulah kemudian ia menekuni dunia tulis-menulis. . Kegigihannya dalam berkarya telah melahirkan antara lain novel-novel biografi: Tuhan, Aku Kembali: Novel Perjalanan Ustad Jeffry Al-Bukhary; Cahaya dari Koto Gadang: Novel Biografi Haji Agus Salim 1884-1954; Sang Guru: Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara, Kehidupan, Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Tamanasiswa 1889-1959; Sogok Aku, Kau Kutangkap: Novel Biografi Artidjo Al-kostar (proses terbit); Hamka: Sebuah Novel Biografi; dan Dahlan (Sebuah Novel). . Juga, buku-buku Islami inspiratif: Allah Maha Pengampun: Janganlah Engkau Berputus Asa; Detik-Detik Menjelang Kematian; Renungan Kehidupan; Hidup Berkah dengan Doa; Siapa Bilang Orang Berdosa Gak Bisa Masuk Surga?; Agar Pintu Surga Terbuka Untukmu; Jangan Kalah oleh Masalah; Kode dari Tuhan; Agar Rezeki Tak Pernah Habis; Tuhan, Saya Ingin Kaya; Ensiklopedi Muslim Harian; Cerdas Mendahsyatkan Potensi Hati dan Pikiran; Agar Nikah Berlimpah Berkah; dan Doa-Doa Harian bagi Muslimah. . Penulis berharap pembaca berkenan mendoakannya agar di kemudian hari dapat menghadirkan karya-karya baru yang akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat luas. Bagi para pembaca yang ingin menyampaikan saran, kritik, atau bertegur sapa menjalin korespondensi dapat menghubunginya melalui: Email: haidarmusyafa2014@gmail.com dan Fanpage FB: Haidar Musyafa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mbah Sholeh Darat

1 April 2017   10:53 Diperbarui: 1 April 2017   19:01 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nama lengkapnya adalah Muhammad Shaleh. Lahir di Desa Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara pada 1820 Masehi. Ayahnya, Kyai Umar As-Samarani adalah seorang pejuang dan kepercayaan Pangeran Dipanegara selama berkobar Perang Jawa 1825—1830 Masehi. Sejak kecil, Kyai Umar As-Samarani mendidik Muhammad Shaleh dengan pelajaran agama secara ketat. Sehingga Muhammad Shaleh tumbuh menjadi anak yang cerdas dan sangat paham dengan ajaran agama Islam. Belum genap 12 tahun, ia sudah hapal Al-Quran dan tratusan hadis. Melihat kecerdasan dan bakat anaknya di bidang ilmu agama, Kyai Umar As-Samarani semakin giat mendidik sang putra. Untuk mewujudkan keinginannya agar kelak Muhammad Shaleh dapat meneruskan perjuangannya mendakwahkan ajaran Islam, Kyai Umar As-Samarani meminta sang putra untuk memperdalam ajaran Islam kepada sahabat-sahabatnya yang rata-rata adalah seorang ulama besar.

 Sebagai anak seorang ulama yang memiliki hubungan dekat dengan sang pengobar Perang Jawa, Muhammad Shaleh memiliki banyak kesempatan untuk mengenal dekat sahabat dan kerabat orangtuanya. Pertama-tama Muhammad Shaleh belajar pada Kyai Muhammad Syahid, seorang ulama dan pengasuh Pondok Pesantren Waturoyo, Margoyoso, Kajen, Pati. Guru Muhammad Shaleh itu adalah cucu dari Kyai Mutamakkin—seorang ulama besar yang hidup di zaman pemerintahan Paku Buwana II (1727-1749M). Dari Kyai Muhammad Syahid, Muhammad Shaleh belajar ilmu fiqih dan berhasil menghapal beberapa kitab induk. Di antaranya, Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawwim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.

 Selain memperdalam fiqih kepada Kyai Muhammad Syahid, Muhammad Shaleh juga mempelajari kitab Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti dari  Kyai Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus. Belajar nahwu dan sharaf kepada Kyai Ishak Damaran, Semarang. Belajar ilmu falak dari Kyai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, yang seorang Mufti di Semarang. Mempelajari kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali dari Kyai Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang. Belajar Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Yaitu sebuah kiab yang beisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M kepada Syekh Abdul Ghani Bima, Semarang. Selain itu, Muhammad Shaleh juga mendalami tashawuf dan tafsir Al-Qur’an dari Kyai  Muhammad Alim di Bulus Gebang Purworejo.

 Belum puas belajar agama kepada ulama-ulama di Jawa, Muhammad Shaleh ingin memperdalam ilmu agama di Makkah. Ia berangkat ke Makkah bersama dengan Ayahnya. Selepas menunaikan ibadah haji, Kyai Umar As-Samarani meninggal dunia. Muhammad Shaleh memutuskan untuk tinggal menetap di Makkah dengan tujuan memperdalam agama Islam dari ulama-ulama besar yang ada di tanah suci. Selama di Makkah, Muhammad Shaleh belajar ilmu-ilmu aqidah, khusunya kitab Ummul Barahin karya Imam As-Sanusi kepada Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki. Belajar Ihya’ Ulum al-Diin dari Al-‘Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah. Memperdalam fiqih dengan menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Khatib, serta Nahwu dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah. Menelaah kitab al-Hikam karya Ibnu Atha’illah dari Al-‘Allamah Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki. Belajar kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 1 dan 2 dari Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi. Selain itu, Muhammad Shaleh juga belajar kitab Fath al-Wahhab Kyai Zahid dan Syekh Umar a-Syami. Dari Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri, Muhammad Shaleh belajar Syarh al-Tahrir karya Zakaria al-Anshari. Sedangkan tafsir Al-Quran didapat dari Syekh Jamal, seoang Muftti Madzab Hanafiyyah di Makkah.

 Pada saat bermukim di Makkah, Muhammad Shaleh mendapat perhatian khusus dari penguasa tanah suci sehingga diberi kesempatan untuk menjadi pengajar di Makkah. Saat menjadi guru di Makkah inilah Muhammad Shaleh bertemu dengan  Hadi Girikusuma, seorang ulama dan pendiri Pesantren Mranggen, Demak. Hadi Girikusuma inilah yang memiliki andil besar membujuk Muhammad Shaleh untuk meluaskan jaringan dakwah di Semarang. Melihat kegigihan Muhammad Shaleh, hati Hadi Girikusuma merasa terpanggil untuk mengajaknya pulang ke Jawa untuk sama-sama mendakwahkan ajaran Islam di Nusantara. Hadi Girikusuma inilah yang memiliki andil besar membujuk Muhammad Shaleh untuk meluaskan jaringan dakwah di Semarang. Di Kampung Nipah Darat, Semarang itulah akhirnya Muhammad Shaleh mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan Islam.

 Selama hidup, Muhammad Shaleh pernah menikah tiga kali. Pernikahannya yang pertama dilaksanakaan sewaktu ia masih tinggal di Makkah. Tidak jelas siapa nama perempuan yang dinikahi Muhammad Shaleh di Makkah, tapi tercatat bahwa dari pernikahannya itu Muhammad Shaleh dikarunia seorang anak laki-laki bernama Ibrahim. Pada saat Muhammad Shaleh pulang ke Jawa, istrinya sudah meninggal dan Ibrahim tetap tinggal di Makkah. Untuk mengenang anak sulungnya itu, Muhammad Shaleh menggunakan nama  Abu Ibrahim pada halaman sampul kitab karangannya yang berjudul, Faidh al-Rahman.

 Setelah tinggal di Semarang, Muhammad Shaleh menikah dengan dengan salah seorang anak Kyai Murtadha, teman seperjuangan Ayahnya yang tinggal di Semarang. Dari pernikahannya dengan Sofiyah, Muhammad Shaleh dikaruniai dua orang anak yang bernama Yahya dan Khalil. Pernikahan Muhammad Shaleh yang ketiga dengan Siti Aminah, putri Bupati Bulus, Purworejo yang seorang keturunan Arab. Dari perkawinannya itu, mereka dikaruniai beberapa anak. Salah satunya adalah Siti Zahrah yang kemudian dijodohkan dengan Kiai Raden Dahlan—santri Muhammad Shaleh yang berasal dari Tremas, Pacitan.

 Muhammad Shaleh yang kemudian dikenal dengan Kyai Haji Shaleh Darat adalahseorang ulama besar dizamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya sebatas pada karya-karya dan keberhasilan murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Jawa, tapi juga dapat dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat ia bermukim di sana. Ia dinobatkan menjadi salah seorang pengajar sebagaimana Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Selain itu, Kyai Haji Shaleh Darat adalah seorang ulama cerdas merangkul orang awam. Seorang Mubaligh yang piawai merangkul para awam dengan bahasa yang mudah dipahami. Seorang ulama perangkul, bukan pemukul, pendidik bukan pembidik.

 Kyai Haji Shaleh Darat meninggal pada Jum’at Wage, 18 Desember 1903 Masehi. Jasadnya yang tak pernah lelah digunakan untuk berdakwah dan menyeru kaum awam mendekat pada ajaran Tuhannya itu disamadikan dengan tenang di pemakaman umum Bargota, Semarang. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun