Catatan atas buku “ CALL CENTER” Handbook
Ada dua penanda kondisi perlindungan konsumen suatu negara masuk kategori baik. Pertama, telah tumbuhnya budaya mengadu (complaint habbit), manakala sebagai konsumen hak-haknya dilanggar oleh pelaku usaha. Kedua, memiliki tradisi pengujian perbandingan (comparative testing) mandiri , baik yang dilakukan oleh lembaga konsumen, media dan lembaga independent lainnya.
Dalam hal budaya mengadu, statistic sejumlah negara membuat kita iri. Di Malaysia, selama 2009, National Consumer Complaint Center (NCCC) menerima32.369 aduan konsumen. Di Inggris, The Financial Service Authority, selama semester kedua 2010 menerima 1,7 juta keluhan konsumen jasa keuangan. Di India The Banking Ombudsmanselama 2009-2010 menerima 79.266 pengaduan konsumen jasa keuangan. Sementara Bidang Pengaduan Konsumen YLKI, selama 2011 ”hanya” menerima 525 pengaduan konsumen.
Ada dua hal mengapa pengaduan konsumen di sejumlah negara di atas angkanya cukup tinggi. Selain adanya budaya mengadu, juga ditunjang adanya kemudahan dan keragaman akses point pengaduan, salah satu diantaranya adalah call center.
Pengaduan konsumen dalam dunia bisnis modern memiliki arti sangat penting dalam upaya perbaikan mutu produk / service. sehingga tidah aneh kalau sejumlah perusahaan berlomba-lomba memberi akses semudah mungkin bagi konsumen yang akan menyampaikan keluhan.
Kehadiran buku ”Call Center” ini memiliki dua arti penting. Bagi konsumen dapat menumbuhkan budaya mengadu, setidaknya melalui call center. Bagi entitas bisnis, pentingnya mendesain manajemen akses point pengaduan, termasuk call center, sehingga mendapatkan banyak masukan dari aduan konsumen, untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam upaya perbaikan mutu produk /service.***
(Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H