Mohon tunggu...
Bhege Widiyanta
Bhege Widiyanta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I am a college student and an assistant researcher at the Center for Religious and Cross-cultural Studies, Graduate School, Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saatnya Berpaling ke yang Lokal

26 Mei 2014   03:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah gerakan kontra melawan politik uang dan radikalisme agama

Pemilu legislatif yang telah terjadi pada tanggal 9 April 2014 lalu menjadi sebuah “pertunjukan” yang menyingkap takbir “wajah asli” masyarakat Indonesia. Terjadinya banyak pelanggaran dan maraknya praktek politik uang dalam pemilu legislatif itu menjadi bukti adanya bentuk komunikasi yang krisis solidaritas. Para elite politik telah gagal menunjukan keteladannya dalam dalam hidup berbangsa dan bernegara, begitu pula masyarakat yang telah mengiyakannya. Semuanya telah menjadi bagian dari “bangsa sakit” yang perlu segera mendapatkan terapi mental.

Politik uang merupakan bentuk komunikasi semu yang bersifat transaksional, instrumental, pragmatis dan dapat dipastikan menghasilkan pemimpin yang berotoritas semu pula. Otoritas yang sejatinya untuk memperjuangkan kepentingan bersama, lantas berubah haluan menjadi berkutat demi kepentingan diri. Di samping politik uang sebagai wujud komunikasi semu, penanda lain yang menunjukan adanya krisis solidaritas di dalam masyarakat kita adalah merebaknya radikalisme agama yang berujung pada tindak intoleransi.

Kenyataan yang terjadi itu jangan sampai menumbuhkan pesismisme yang lantas mengendorkan semangat untuk membangun solidaritas kebangsaan dalam keberadaban komunikasi. Justru sebaliknya, hal itu menggelitik untuk melahirkan solusi-solusi yang mampu menguatkan konsolidasi demokrasi di negeri tercinta ini. Konsolidasi demokrasi yang penuh dengan solidaritas kebangsaan tidak mungkin terjadi tanpa sokongan komunikasi yang beradap. Keberadaban komunikasi menjadi syarat mutlak yang tak terelakan lagi, karena kegagalan dalam berkomunikasi akan menciptakan kesalahpahaman yang menjadi awal dari konflik-konflik.

Seperti mengais dalam reruntuhan dan berharap menemukan “harta bernilai” yang masih tersisa, kita diajak untuk kembali pada kultur lokal yang telah lama ditinggalkan. Uraian di bawah ini memperlihatkan bagaimana kultur lokal menjadi sumber kelegaan bagi mereka yang haus akan solusi dalam membangun komunikasi yang beradab untuk meningkatkan solidaritas kebangsaan.

Arus deras globalisasi rupanya telah menggerus nilai kebangsaan kita sebagai perekat kebinekaan. Tiadanya tutur tentang sentimen kebangsaaan telah melemahkan benteng dalam menangkal konflik. Kebangsaan yang sejatinya menjadi metafora dari solidaritas itu kini menjadi obrolan yang tidak “seksi” bagi masyarakat kita. Pengalaman bersama sebagai bangsa telah gagal direproduksi, akibatnya geliat ketidakpastian komunikasi semakin menyeruak di dalam masyarakat. Padahal, komunikasi menjadi syarat dasar dalam menggalang solidaritas. Kini setiap orang serasa menjadi musuh bagi sesamanya dan setiap individu cenderung mengamankan diri.

Tak ayal, tindak intoleransi yang dilakukan oleh “saudara sebangsa” menjadi tak terelakan lagi. Teror mengacam setiap saat, pembantaian kelompok berkeyakinan lain merebak di pelbagai tempat dan lain sebagainya. Tragisnya, peristiwa-peristiwa itu condong berpusat pada uang sebagai “identitas baru” yang menggantikan identitas kebangsaan. Hal ini sangat berbahaya, karena ketika uang telah menjadi yang mempersekutukan kepentingan, maka individu atau komunitas lain yang berbeda kepentingan tidak mendapat tempat dalam masalah solidaritas.

Kondisi inilah yang oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf dari Mazhab Frankfurt Jerman, disebut sebagai rasionalitas instrumentalis. Rasionalitas instrumentalis adalah bentuk komunikasi semu yang cenderung transaksional, melulu pragmatis dan meniadakan yang lain. Sebagai sebuah solusi, Habermas mengusulkan sebuah rasionalitas yang bersifat komunikatif. Rasionalitas komunikatif hanya mungkin terjadi dalam iklim kesalingpengertian dan dialog secara intensif, terbuka, dan setara. Apabila konteks ideal itu tidak terwujud, Habermas menawarkan tiga uji keabsahan terhadap pernyataan dialogis tersebut; yakni uji kejelasan arti, kesungguhan maksud, dan kebenaran faktual.

Pertanyaan selanjutnya adalah: adakah potensi yang memungkinkan bangsa Indonesia mengejawantahkan rasionalitas komunikatif itu? Diskusi ini mengajak kita untuk kembali kultur lokal sebagai identitas asali dimana jatidiri bangsa menemukan rujukannya. Di sini, kultur lokal merujuk pada sesuatu yang sangat luas, yakni meliputi adat, nilai, agama, kepercayaan, kesukuan, golongan atau komunitas tertentu dan lain sebagainya. Kultur lokal sebagai identitas asali itu merupakan nilai kebangsaan yang kini mengalami krisis akibat globalisasi.

Wacana kembali ke kultur lokal menyerukan ajakan untuk menemukan sejarah diri sebagai bangsa. Ketika sejarah diri sebagai bangsa yang unik telah ditemukan, maka akan melahirkan kesadaran bahwa kultur-kultur lokalpun berhak untuk memperoleh pengakuan dari seluruh masyarakat. Buah dari pengakuan itu, kita tidak lagi tenggelam dalam “kenarsisan” individu, karena selain kita mampu memahami identitas kita sendiri, keberadaan identitas orang lainpun akan kita akui, selami dan hormati. Hal inilah yang oleh Habermas disebut sebagai rasionalitas komunikatif. Pada titik ini, terjadi sebuah komunikasi kesalingpengertian. Ketika komunikasi kesalingpengertian ini terjadi, maka orang akan mulai berempati pada yang lain dan mewujudlah solidaritas kebangsaan meskipun dibidik dari keragaman sudut pandang.

Keragaman sudut pandang justru memberikan nilai tambah bagi kemeriahan warna dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia telah ditakdirkan untuk beragam, maka kekayaan keragaman itu harus menjadi sumber daya kita. Jangan sampai kita mengizinkan praktek politik uang dan radikalisme agama mencabik-cabik kebangsaan kita. Nilai kebangsaan kita merupakan kesatuan dari aneka kultur lokal yang telah menelurkan prestasi sebagai peradaban agung. Pancasila sebagai kesepakatan dasar bangsa adalah peradaban agung yang terbukti ramah sebagai rumah bersama bagi kebhinekaan bangsa Indonesia. Pancasila mengajak orang untuk merelatifkan diri di hadapan yang berbeda, sehingga orang menjadi lebih terbuka dan toleran. Suasana semacam ini akan menumbuhkan solidaritas, bagi kultur lokalnya sendiri dan kultur lain di luar dirinya.

Kita menjadi sadar bahwa kini solidaritas menjadi tuntutan mutlak yang mengemuka justru karena adanya keragaman yang tak terhindarkan. Solidaritas adalah komitmen terhadap nasib orang lain, justru karena mereka tidak sama dengan kita. Akan tetapi, solidaritas tidak berjalan di ruang hampa atau sebuah keadaan terberi yang nyaris tanpa usaha. Kita akan senantiasa tak bebas dari gesekan dan ujian yang membayangi upaya membangun solidaritas kebangsaan. Praktek politik uang dan radikalisme agama merupakan dua masalah penting yang akan menjadi akut jika tidak lekas mendapatkan uluran tangan untuk merampungkannya.

Praktek politik uang dan radikalisme agama menjadi tantangan yang kini kita hadapi bersama. Muara masalah politik uang tidak terletak pada alat tukar itu sendiri, melainkan pada pengelolaannya. Pemerintah sebagai pemangku jabatan memiliki tanggungjawab dalam mengelola pemerataan kehidupan keuangan dan ekonomi bagi masyarakat Indonesia dalam rangka solidaritas. Musuh besar solidaritas keuangan dan ekonomi ini adalah korupsi. Maka, penegakan hukum yang adil terhadap para koruptor menjadi syarat utama dan pertama dalam mewujudkan solidaritas dalam pemerataan perekonomian dan keuangan.

Sementara radikalisme agama hanya dapat dibendung dengan adanya upaya mewujudkan solidaritas kewarganegaraan. Dalam banyak tragedi di Indonesia, solidaritas kewarganegaraan terlihat dalam tidak pernah absennya para penggiat gerakan lintas agama dan budaya untuk memerangi radikalisme agama, baik dalam advokasi dan pendidikan. Akhirnya, mari kita melirik ke kultur lokal, karena melaluinya solidaritas kebangsaan dan keberadaban komunikasi akan semakin tumbuh subur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun