Mohon tunggu...
Bhege Widiyanta
Bhege Widiyanta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I am a college student and an assistant researcher at the Center for Religious and Cross-cultural Studies, Graduate School, Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Riuh Kokok Ayam Betina

14 Juni 2014   02:46 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:49 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lalu-lalang kampanye pilpres di televisi, media online, pun jejaring sosial rasanya membosankan ya; membuat muak dan acapkali memancing emosi juga. Terlalu banyak sampah digital yang terserak dan mengotori angkasa kita. Deklarasi “pemilu berintegritas dan damai” lalu, rupanya juga telah benar berlalu. Deklarasi kemarin serasa sedikit saja gaungnya, karena selain hanya menjadi seremoni “gunting pita,” juga tiada tutur yang dengan serius dan berkomitmen me-recall-nya; terutama dari para agent resmi kampaye. Terbukti, masih merajalelanya black campaign, misalnya terbitnya tabloid Obor Rakyat jilid dua atau tiga, yang sepertinya kok tidak disertai dengan penindakan yang tegas dari yang berwajib (Polisi atau Bawaslu) untuk menyudahinya, juga tak terbedungnya ucapan-ucapan sampah yang keluar dari mulut para pendukung calon presiden tertentu, bahkan dari para petinggi, yang pasti jauh dari bermartabat.

Aku merindukan sebuah gerakan yang berbarengan, yang volunteer dan voluptuously, sekaligus tegas seperti aksi artifisial para satpol PP (dan banyak Ormas lainnya) saat melakukan sweeping miras atau menutup paksa paha para penjaja hindangan berlendir, yang kini juga sudah mulai marak. Tentu, aski-aksi semacam itu tak lebih dari sekadar akting pesinetron lebay yang sering dipertontonkan televisi kita. Selain mengundang senyum kecut bagi pemirsa dan tidak merampungkan perkara, juga tindakan yang berdalih “hormat di bulan suci” itu justru tidak mempresentasikan kesucian yang ingin mereka raih sebagai sebuah “kefitrian.” Performance itu menampilkan arogansi nirtoleransi dan “agamaisasi” yang lekat dengan kekerasan dan kemunafikan, serta diduga dikemudikan kepentingan tertentu; sungguh ironis bukan?

Juga, aku yakin, para agent kampanye berbayar yang menyebar black campaign itu tiada memusingkan kenaikan tarif dasar listrik yang segera saja mencekik rakyat jelata di awal Juli nanti. Jelaslah, lha wong mereka masih cukup kenyang insentif untuk sekadar menyuntikkan listrik ke gadget untuk aktivitas elektroniknya di internet. Rupanya, smartphone telah jatuh dibawah kendali manusia yang tak pintar-pintar amat. Haruskah mereka disengat setrum dulu untuk merasakan dahsyatnya kenaikan TDL, lantas gelinjangan dan segera tersadar untuk mengakhiri perilaku yang tak ubahnya semirip budak belian, gedibal pitu likur itu?

Perilaku menjemukan yang ditampilkan dalam black campaign, pun aksi “polisi agama” menjelang bulan Ramadhan ini tentu tidak akan segera usai. Akan masih ada saja kebersambungan cerita yang lebih menjijikkan lagi skenarionya, dan dilibati aneka sutradara dadakan yang ikut nimbrung. Kontestasi membosankan itu akan terus berlanjut, bahkan ketika nanti kita sudah memiliki presiden baru. Semoga saja, presiden baru nanti sungguh mampu membawa kegembiraan, seperti girang bukan mainnya mantan duda saat mendekap mesra tubuh sintal istri barunya.

Kebaruan-kebaruan itu memang sepantasnya membawa kebahagiaan dan bonum commune, bukan sebaliknya; ketakutan, keterpurukan, dendam atau sakit hati. Akan tetapi, aku tetap menduga; 5 tahun mendatang akan senantiasa diwarnai “pertempuran” culas nan licik. Bukan perang Badar atau ala Barathayuda lho, namun semacam sengketa yang tak ubahnya selayak anak-anak ababil yang sedang berantem memperebutkan gadis ranum nan jelita incaran bersama. Lihat saja nanti; rongrongan akan selalu ada, terutama datang dari kubu yang kalah. Dasar alay!

Mereka, mungkin juga kita, barangkali terlalu terlena; bahwa dunia Indonesia ini tidak hanya dimainkan oleh presiden baru terpilih dengan jajaran pemerintahannya. Kita tentu ingat dengan globalisasi bukan? Apa itu globalisasi? Globalisasi adalah tiadanya sekat di antara benua, sebuah interaksi tanpa batas (borderless) antarbangsa, atau sebuah proses kompleks yang memudahkan komunikasi dan migrasi manusia karena kemajuan teknologi, atau globalisasi adalah harta karun yang ditemukan berkat perkembangan teknologi informasi global baru yang memungkinkan kita serentak melihat seluruh wajah dunia dalam satu layar besar, dan seterusnya. Itukah globalisasi? BUKAN!

Jangan mau kita dikibuli dengan definisi absurd semacam itu. Globalisasi itu bukan proses alam yang “mak-bedunduk, ujug-ujug” atau suddenly kalau orang Barat bilang, terjadi seperti gempa bumi atau meletusnya gunung. Sebagai sebuah fakta dan peristiwa dunia, globalisasi itu digerakkan oleh pelaku (agency) konkret, memiliki pelaku yang jelas dan kasat mata, bukan makhluk halus atau merupakan gejala alamiah. Jelasnya, pelaku globalisasi adalah para neolib yang mencongkolkan kuasa neokolonialis-kapitalnya dengan satu tujuan utama, yakni gerak modal finansial bagi akumulasi laba! Siapa mereka? Mereka adalah segelintir orang yang tergabung dalam korporasi-korporasi global nan raksasa. Adakah manusia-manusia Indonesia; misalnya dalam elite politik, yang menjadi bagiannya? Silakan ditelusur sendiri; siapa politikus busuk itu dan siapa saja yang menopang dibelakangnya.

Banyak orang masih saja ngeyel, misalnya dengan berujar; “globalisasi telah merampas orisinalitas kebudayaan dan agama kita.” Begini ya; bahwa lantas kebangsaan kita (Nasionalisme) tergerus atau agama menjadi tersisih, dan budaya asli kita tak dipedulikan lagi atau merebaknya gerakan transnasional, and so fort; itu bukan akibat tersengaja dari globalisasi. Itulah yang disebut dengan “ambivalensi” globalisasi yang tidak mau ambil pusing dan peduli dengan kejadian-kejadian atau dampak-dampak seperti itu. Karena, muara akhir globalisasi hanya satu, yakni gerak modal finansial bagi akumulasi laba!

Itulah aktor-aktor yang akan menjadi nahkoda kapal Indonesia, yakni pertama: presiden baru dan jajaran kabinetnya yang semoga saja tidak tunduk tak berdaya dihadapan pasar. Kedua: tentu saja para agent globalisasi (global corporate) yang mahadahsyat kuasanya. Dan ketiga: teriakan lirih dari para activist yang menyerukan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bersama. Serta keempat: kekuatan yang tak kalah luarbiasanya yang datang dari rakyat (people power). What next? Aku mumet, bukankah mendeportasi diri dari dunia adalah suatu ketidakmungkinan? Apakah lantas mengejawantahkan jalan kemandirian seperti yang Bung Karno perjuangkan dalam Tri Sakti?

Akan tetapi, di waktu sekarang ini, bukan itu sebenarnya keinginanku, harapanku adalah:

Pertama: akan ada sebuah “blue campaign” atau “kampanye biru” yang tidak hanya menyodorkan prestasi dari kandidat, seperti ditemui dalam “white campaign” atau “kampanye putih,” dan jelas bukan black campaign atau kampanye hitam yang cenderung memfitnah dan tanpa bukti, serta bukan pula negative campaign atau kampanye negatif yang mengajarkan pendidikan politik bagi masyarakat dengan menunjukkan kelemahan faktual dan relevan dari kandidat. Melainkan, sebuah “blue campaign” atau “kampanye biru” yang mendesak kandidat untuk mau dengan besar hati mengakui segala kelemahannya, meminta maaf atas kekurangan dan kesalahannya, lantas mau mengadakan upaya rekonsiliasi dan resolusi terhadap individu atau komunitas yang dirugikannya (the victims). Sikap Negarawan ini pasti akan jauh lebih diapresiasi dan dihormati, serta memberikan pengajaran yang berharga bagi masyarakat.

Kedua: Aku hanya ingin melihat bahwa presiden terpilih nanti benar-benar mewujudkan visi dan misi hebatnya itu dalam langkah real dan sungguh-sungguh menghadirkan perubahan yang semakin baik dan dirasakan secara nyata bagi masyarakat Indonesia. Bukan hanya perubahan imaginatif yang tertuang dalam indeks angka-angka. Aku hanya butuh bukti otentik, bukan rentetan janji palsu; seperti ujaran banyak iklan obat kuat yang memadati tiang lampu merah. Singkatnya, aku mau presiden baru nanti tak ingkar janji, seperti janji tak selingkuh dari istri baru kepada sang suami, mantan duda itu.

*Ayam Betina dengan riuhnya berkokok lagi:

Saat diminta memilih, gadis-gadis muda lebih mau dipersunting JOKO ketimbang DUDA. Meskipun demikian, sayangnya mas Jokowi dulu pernah berkelakar bahwa dirinya mirip DUDA Herlino, dan mas Bowo, berujar bahwa dirinya DUDU Herlino, karena si duda itu mengaku lebih mirip dengan Al (anaknya Ahmad Dhani). Semoga, mas Jokowi semakin lengket dengan Ibu Iriana dan mas Bowo yang kini sudah mulai kelihatan rujuk-merajuk dengan mantan istrinya, putri sang “bapak pembangunan” itu juga tak membuat banyak pria, eeehh.. wanita patah hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun