Krisis Indonesia kontemporer kini
Memang, krisis Indonesia kontemporer saat ini ada kaitan dengan agama, tetapi agama bukan faktor yang paling menentukan. Indonesia, meskipun tetap masih mengalami krisis, akan tetapi tidak merupakan failed state (“negara gagal”), dan dalam hampir 69 tahun eksistensinya mencapai beberapa kemajuan yang sekali-sekali perlu diperhatikan juga untuk tidak jatuh ke dalam pesimisme berlebihan.
Indonesia merupakan negara yang cukup mantap, diakui secara internasional, tidak berada dalam bahaya pecah, stabil dalam arti, tidak digerogoti oleh gerakan-gerakan pemberontakan, separatis, gerilyawan yang berarti. Artinya, sebenarnya Indonesia pada hakekatnya cukup aman; kehidupan bisa berlangsung secara teratur, perekonomian (meskipun belum memadai) cukup mantap; bahkan kecil-kecil namun terus-menerus menemui kemajuan sejak zaman Orde Baru.
Tentang Nasionalisme; kesadaran nasional atau rasa kebangsaan juga tetap ada. Artinya, Keindonesiaan bukan realitas fiktif, melainkan nyata dan dihidupi. Terkait dengan hal itu, toleransi dan kebebasan beragama, meski jauh dari ideal, tetap ada juga, dalam tingkat yang jauh lebih besar daripada di banyak negara yang sebanding; eksistensi agama-agama minoritas sebagai warganegara kelas satu bahkan oleh kelompok-kelompok radikal jarang dipersoalkan, jadi sudah merupakan konsensus nasional yang mantap. Agama-agama sendiri, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas, juga telah menunjukkan keterbukaan, kemampuan untuk berpluralitas dan bertoleransi serta keterbukaan terhadap modernitas yang jauh di atas rata-rata dalam negara-negara sebanding.
Demokrasi Indonesia, meskipun masih amburadul, merupakan kenyataan, juga merupakan konsensus dengan hanya kelompok-kelompok ekstrem kecil yang menolaknya. Demokrasi Indonesia senyatanya memang belum seimbang karena masih digerogoti oleh kepicikan wawasan sebagian kelas politik, yakni: korupsi merajalela; dalam aparat yudisial dan dalam kelas politik, khususnya di badan-badan legislatif; di eksekutif, khususnya juga di daerah, korupsi juga menjadi masalah serius. Ada beberapa kelemahan dalam karakter bangsa yang menghambatnya menjadi bangsa yang modern, kompeten, mantap dan percaya diri: tidak bisa disiplin, suka mencari jalan pintas, tak bertanggungjawab secara mandiri, etika kerja banyak orang terlalu tergantung dari kualitas kepemimpinannya; kemampuan untuk mengambil sikap-sikap prinsipiil secara mandiri relatif lemah.
Selain itu, kemiskinan luas belum tertangani; kenyataan bahwa 40% bangsa, hampir 69 tahun sesudah proklamasi kemerdekaan dan 16 tahun sesudah jatuhnya Orde Baru, belum sejahtera sebetulnya sebuah skandal. Selain itu, ada serangan terbuka maupun penggerogotan di bawah permukaan terhadap Indonesia sebagai masyarakat yang plural; terjadi creeping radicalization agama, peremehan terhadap toleransi terhadap agama-agama minoritas, usaha terus-menerus, langkah kecil demi langkah kecil, untuk memaksakan penataan kehidupan kepada masyarakat yang berdasarkan sebuah interpretasi agama tertentu; toleransi terhadap mereka yang berbeda semakin menipis.
Dalam krisis-krisis itu, agama menjadi solusi?
Tentu tidak. Kalau mencoba mengatasi masalah-masalah itu dengan intensifikasi keberagamaan, maka hasilnya akan berkebalikan. Semuanya akan mau “diagamakan,” dan dengan demikian agama menjadi unsur yang amat memperdalam dan mempersulit krisis. Jadi, di sini ada kaitan dialektis; semakin keselamatan bangsa diharapkan dari agama, agama cenderung menghancurkan bangsa, memecahbelahkan masyarakat dan mengancam negara.
Meskipun demikian, agama dapat merupakan faktor yang mendukung bangsa dalam usaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Syaratnya, agama mesti menjadi unsur positif, terbuka, misalnya dalam Islam: rahmatan lil alamin, kemudian mendukung persaudaraan, toleran, juga pluralis dalam arti bersedia menghargai perbedaan-perbedaan yang ada tanpa larut di dalamnya. Singkatnya, agama akan berperan dalam mengurai dan merampungkan masalah di Negri ini apabila mendukung nilai-nilai kebangsaan yang dimiliki bersama seperti terungkap dalam Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H