Mohon tunggu...
Sahidun Zuhri
Sahidun Zuhri Mohon Tunggu... -

SAHIDUNZUHRI. Pengarang yang mengawali debutnya di media nasional melalui Story Teenlit Magazine ini, Lahir di Magelang, 10 September 1991. Cerpennya mulai tersebar di media, lokal dan nasional. Beberapa tulisannya berupa artikel juga telah dipublikasikan di Okezone.com dan Harian Jogja. E-mail: szuhri72@yahoo.co.idAlamat: UNY Kampus Wates Jl. Bhayangkara No 7, Wates, Kulonprogo.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perjalanan Pendidikan Seorang Anak Buruh Tani dari Universitas Negeri Yogyakarta

2 Mei 2015   11:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL! SELAMAT DIES NATALIS UNY KE-54

Pagi itu saya tidak sempat menuliskan hari, tanggal dan bulannya dalam buku agenda besar saya yang selama ini mejadi tempat curhat saya. Pagi itu yang jelas perasaan saya sangat bangga mendapatkan kabar dari seorang teman yang mengatakan bahwa saya diterima sebagai mahasiswa FakultasEkonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Perjalanan untuk pada akhirnya bisa kuliah memang tidak mudah. Saya harus rela menunggu dan bersabar mulai dari tahun 2011 hingga 2014. Tidak pernah terpikirkan sebersitpun ketika dulu selepas lulus Sekolah Menengah Atas di salah satu sekolah negeri favorit kabupaten Magelang, bahwa saya pada akhirnya harus putus sekolah.

Padahal, niat awal saya setelah lulus SMA saya ingin melanjutkan kuliah di universitas. Saya pernah menceritakan kisah saya ini kepada teman-teman terdekat saya. Seperti yang sudah seringkali kuceritakan, saya terpakasa berhenti menaggalkan mipi-mimpi saya yang sudah bergelantungan di atas kamar yang tanpa langit-langit ITU untuk segera saya wujudkan. Mimpi apa? Mimpi untuk menjadi seorang guru! Itu cita-cita yang memang Bapak sematkan untuk saya ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika saya perlahan-lahan diajari Bapak bagaimana kita harus selalu meluangkan waktu untuk membaca buku.

Bercerita mengenai Bapak barangkali membuat saya semakin bersyukur. Setidaknya kehidupan saya waktu muda lebih baik daripada Baik. Dalam artian, meski sama-sama hidup dalam serba keterbatasan namun waktu muda Bapak sudah merasakan yang namanya kehidupan broken home. Orangtua Bapak, atau lebih tepatnya adalah nenekku. Jujur, saya tidak sempat melihat seperti apa muka nenek dan kakekku. Jadi ceritanya begini, Bapak terpaksa harus hidup dengan nenek putrinya yang kebetulan nenek kakung bapak sudah meninggal. Di kehidupan tanpa kasih sayang orangtua, bukan membuat masa kecil dan masa muda Bapak berantakan.

Namun, Bapak tetap mementingkan pendidikannya di Sekolah Rakyat. Meski Bapak harus bangun sebelum subuh untuk memasak air untuk membuat air minum. Karena neneknya sebelum subuh sudah berangkat ke pasar yang notabene jalan kaki berkilometer. Maklum, pada waktu itu sepeda onthel-pun hanya dimiliki oleh orang-orang priyayi saja, kata Bapak. Setelah solat subuh, Bapak lagi-lagi tidak berdiam diri. Bapak membantu nenek ke sawahnya untuk membuang kotoran sapi dari kandangnya sebagi pupuk tanaman padi.

Baru setelah pekerjaan itu selesai, Bapak mandi di sungai untuk membersihkan diri sebelum pergi ke sekolah. Dengan tanpa alas kaki dan baju sederhana berkain blacu, Bapak berlari untuk sekolah yang jaraknya sepuluh kilometer dari rumah. Dulu, kata Bapak Sekolah Rakyat tidak banyak seperti sekarang ini. Dari bangku Sekolah Rakayat itu yang hanya bermodal alat tulis sabak dan grip pinjaman dari sekolah ini Bapak mulai menuliskan cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Waktu saya bertanya sama Bapak mengenai alat tulis yang Bapak gunakan waktu itu Bapak menjawab dengan penuh kenangan.

Sepintas yang saya pikirkan waktu itu, sabak adalah berupa lembaran kertas berwarna cokelat seperti lembaran-lembaran surat kuno pada zaman dulu. Bapak tertawa menanggapi pertanyaan saya. Setelah itu baru Bapak menjelaskan secara detail, sabak adalah sejenis papan tulis kecil yang bisa di tenteng yang terbuat dari pipisan batu tipis. Sedangkan grip adalah semacam pensil panjang. Kata Bapak, waktu itu belum ada yang namanya penghapus. Jadi kalau mau menghapus menggunakan kain blacu yang Bapak pakai. Sudah terbayang seperti apa bentuk dan rupanya baju Bapak.

Bapak terus bercerita panjang lebar. Masih berlanjut dengan cerita Bapak mengenai sabak dan grip alat menulis pada zaman itu. Bapak bilang, kalau anak-anak sekolah pada zaman dulu cerdas-cerdas. Karena apa? Karena setiap pelajaran sekolah selesai, tulisan yang ditulis di atas sabak itu harus dihapus karena untuk pelajaran dari guru selanjutnya, jadi pembelajaran anak waktu itu langsung menyerap di otak. Mereka pada mudah hafal semua pelajaran di luar kepala. Bahkan sampai sekarnag Bapak masih ingat pelajaran berhitung, ilmu bumi Indonesia, ilmu alam, sejarah pulau tempat tinggal, menggambar, mengukur tanah, membaca dan menulis bahasa Melayu, membaca dan menulis Bahasa daerah dalam huruf daerah dan latin.

Setelah kelas tiga Sekolah Rakyat, kata Bapak siswa sudah mulai menulis dengan buku tulis yang diberikan pemerintah secara gratis. Saat masa-masa sekolah kelas tiga ini Bapak mulai gelisah. Sebab dari kegelisahaan Bapak waktu itu adalah, Bapak mulai memikirkan bagaimana nantinya mau melanjutkan sekolah ke kelas empat. Sementara kelas empat sampai kelas enam gedungnya ada di Muntilan yang jaraknya terlalu jauh dari rumah. Hari kegelisahaan Bapak itu pun pada akhirnya tiba. Neneknya tidak mengizinkan Bapak untuk melanjutkan sekolah dengan alasan membantu menggarap sawah.

Mimpi Bapak untuk menjadi guru sirna sudah. Setelah itu Bapak mulai giat untuk bekerja buruh di sawah. Bapak mengumpulkan uang sedikit demi sedikit hingga akhirnya bisa membeli kambing, membeli sapi, bahkan tanah. Kekecewaan Bapak waktu itu tidak mau diturunkan lewat anak-anaknya. Jadilah Bapak sering memotivasi saya untuk terus belajar dan sekolah hingga perguruan tinggi. Bapak sangat ingin jika cita-cita yang dulu ingin saya yang melanjutkan. Karena dari sejarah kelurga, hanya saya yang sekolah hingga tingkat perguruan tinggi. Sempat memang menjadi perdebatan diantara keluarga kami. Mereka kakak-kakak saya (empat orang) tidak ada yang mendukung sama sekali pendidikan saya.

Mereka sedikit menunjukkan sifat ketidaksukaan kalau saya bisa sekolah sampai tinggi kaena pada kenyataannya kakak-kakak saya hanya mampu sekolah sampai Sekolah Dasar. Jadilah saya, Ibu, dan Bapak yang berjuang mengusahakan bagaimana caranya saya harus bisa melanjutkan sekolah hingga detik ini. Kami selalu percaya bahwa Allah akan membukakan jalan bagi orang-orang yang mau berusaha, bersungguh-sungguh dan berdoa. Karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka (QS:13/11) Hanya bermodalkan iman dari Allah inilah saya harus mampu untuk mewujudkan mimpi Bapak.

Sebelum saya menceritakan perjalanan hidup pendidikan saya lebih jauh lagi, saya ingin sedikit berbagi kisah mengenai perjalanan saya menuju Sekolah Menengah Atas (SMA). Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, untuk melanjutkan sekolah saya dan kedua orangtua saya yang mengusahakan. Satu rupiah pun tidak ada bantuan dari kakak-kakak kandungku. Sehingga, karena masalah ekonomi selepas lulus dari MTs (setingkat SMP) saya terpaksa harus bekerja dulu di Jakarta. Awalnya memang sungguh tidak terbayang, bagaimana mungkin anak yang masih bau kencur harus bekerja di kota Jakarta yang keras.

Bapak, Ibu dan tetanggaku tidak tega melihat keputusanku ini. Namun saya meyakinkan kepada mereka bahwa saya sudah bisa menjaga diri baik-baik. Di Jakarta saya bekerja di rumah makan Solaria. Rumah makan yang cukup terkenal sampai sekarang. Selama satu bulan saya di tempatkan di Pulogadung Trade Center (PTC), satu bulan yang sebenarnya belum cukup untuk menikmati Jakarta. Karena saya sendiri diwanti-wanti Bapak agar selalu hati-hati. Maka saya di sana termasuk orang yang tertutup jika usai bekerja. Saya selalu takut ketika mereka mengajak saya menikmati malam-malam usai bekerja di kota Jakarta.

Ketakutanku bukan karena lingkungan Jakarta yang teramat keras. Namun lebih kepada ketakutanku menjaga petuah Bapak. Saya tidak akan sekali-sekali melanggar janji Bapak karena tujuan utama saya diJakarta untuk melanjutkan SMA. Di Jakarta sungguh menyisakan banyak kenangan. Entah kenangan tentang hujan, banjir, tidur kepanasan atau bahkan kenangan pada hari Raya Idul Fitri saya tidak bisa pulang. Jujur, waktu itu saya menangis di atas tangga kontrakan. Sehingga pagi harinya saya di ledekin oleh senior saya. Kurang lebih dia bilang begini, anak belum bisa cuci baju saja sudah bekerja!

Meskipun saya termasuk orang yang tertutup di usai jam kerja, ketika di tempat kerja saya justru sebaliknya. Saya terbilang sebagai karyawan yang crewet. Dalam artian sering banyak tanya teknik-tenik memasak dari kepala dapur. Di sana saya merasa memiliki keluarga baru. Keluarga yang sering memotivasi dan memberikan arahan. Namun kebersamaan itu tidak berlangsung lama. Malam itu secara mendadak Supervisor saya menghubungi saya via telepon. Bahwa saya disuruh mempersiapkandiri untuk keberangkatan besok siang. Besok siang saya akan dipindahakan ke Semarang. Rencana yang mendadak itu tentu membuat saya terkejut, bahkan sempat ada tangis dari beberapa karyawati yang tidak mau berpisah dengan saya.

Keesokan harinya saya dijemput oleh pihak manajemen Solaria, di sana saya diberi pengarahan mengenai kepindahan saya. Setelah administrasi selesai, saya dan salah satu karyawan dari Pondok Indah mulai mempersiapkan diri menuju terminal Pulogadung. Dengan terpaksa saya harus menutup kisah dan kenangan saya di Jakarta. Kini saya harus dengan bangga hati meninggalkan kota Jakarta dengan amanah pekerjaan berikutnya yaitu di Solaria Mall Citraland Semarang. Di Semarang, wawasan menulis saya semakin terasah. Saya mulai tertarik dengan dunia jurnalistik tepatnya fiksi remaja.

Sepekan sekali saya dengan mudah menemukan toko buku. Terkadang saya menyempatkan berkunjung di Perpustakaan Daerah yang luas sekali itu. Dari perpustakaan inilah saya bertemu dengan seorang mahasiswa dari Unversitas Diponegoro semester awal. Anggap saja namanya Mas Adam. Perjuangan Mas Adam untuk bisa kuliah diperguruan tinggi tergolong susah. Lagi-lagi penuh masalah. Masalah ekonomi yang tentu menjadi kendala utamanya. Dia juga sempat berhenti hingga akhirnya bisa kuliah. Pertemuan berlanjut hari-hari berikutnya. Perkenalan itu berujung dengan Mas Adam memperkenalkan dunia jurnalistik pada saya.

Mas Adam bisa melanjutkan kuliah hanya karena satu alasan yaitu jurnalistik. Menulisapapun untuk dikirim ke media-media yang tersebar di Indonesia. Honor yang dia dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan perkuliahannya. Pelan-pelan saya mulai belajar tentang dunia kepenulisan dengan Mas Adam. Namun Allah selalu punya rencana lain. Pertemuan itu haya berlangsung selama tiga bulan di Semarang. Sejak Minggu pagi itu tidak kutemui lagi Mas Adam berada di perspustakaan. Namun saya selalu berdoa supaya Allah melancarkan pendidikannya.

Setelah itu saya mulai pergi menikmati secara total kebudayaan dan keindahan kota Semarang. Jarak yang dekat Semarang-Magelang tidak membuat saya pulang menengok orangtua. Bukan karena saya tidak kangen, tapi saya sudah berjanji pada Bapak tidak akan pulang sebelum mendapatkan uang untuk biaya sekolah. Dari sanalah saya mulai timbul pikiran untuk membeli alat telekomunikasi. Saya masih ingat bentuk telepon genggam pertama saya itu, namun saya tidak hafal secara persis serinya. Telepon genggam dari Nokia itu yang pada akhirnyaikut menemani perjalanan saya untuk meraih mimpi.

Melalui telepon genggam berharga tujuh ratus ribu rupiah di tahun 2007 itu, aku sering bercerita kepada Bapak dan Ibu. Saya selalu mengatakan perjalanan ini hampir usai. Tak jarang pula melalui telepon genggam itu kami bertiga sering menangis bersama karena rindu. Orangtua mana yang tidak rindu anak lulusan SMP-nya yang masih kemarin sore harus pergi jauh dari mereka.

Namun di balik kesediahan akan selalu ada kebahagiaan. Dengan buah kesabaran dan rasa sakit rindu, waktu pada akhirnya mengumpulkan kami bersama. Pada masa-masa pendaftaran SMA, saya secara mendadak mengundurkan diri dari Solaria.

Supervisor saya yang baik akhirnya mau mengerti. Saya keluar dari Solaria untuk pendidikan, jalannya pun akhirnya dipermudah. Bahkan saya tidak menyangka, beliau mengantarkan saya ke terminal Banyumanik dengan mobil beliau. Setelah sebelumnya saya diajak makan dan dibeberkan beberapa cerita bahwa saya ternyata tercatat sebagai karyawan yang bereputasi baik semenjak dari Jakarta. Pertemuan akan selalu dihadapkan pada perpisahan. Semua perjalanan hidup ini saya jadikan modal semangat bahwa untuk mendapatkan sesuatu kita butuh pengorbanan, doa orangtua dan ridha Allah.

Singkat cerita, saya akhirnya diterima di salah satu SMA negeri favorit di kabupaten Magelang yaitu SMA N1 Salaman. SMA yang lagi-lagi mempertemukan saya dengan guru-guru yang tidak hanya mengajarkan tentang akademik saja, namun juga agama. Ketertarikanku di bidang jurnalistik semakin nyata. Di bangku SMA inilah beberapa karyaku mulai dimuat di media-media sekolah dan lokal. Aku semakin giat menulis diimbangi Bapak yang semakin gigih bekerja untuk membiayai sekolahku dan juga menabung untuk biaya kuliahku kelak. Mimpiku selanjutnya setelah lulus saya tentu ingin mengambil Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UNY. Selainjadi guru, mengambil jurusan sastra juga bisa sambil menulis.

Namun lagi-lagi Allah menguji saya dan keluarga. Mungkin nilai kesabaran kami di mata Allah masih buruk. Kami pun tetap bersyukur menjalaninya, karena kami percaya bahwa semuanya pada akhirnya akan berakhir indah ketika kita mau berusaha mengubahnya dan sabar. Sebulan setelah Ujian Nasional itu Bapak saya jatuh dari pohon kelapa saat mengambil air nira untuk dijadikan gula jawa. Dari situlah awal Bapak menjadi lumpuh dan tidak bisa bekerja. Akhirnya saya memutuskan untuk memupuskan niat saya untuk melanjukan kuliah di perguruan tinggi. Kurang lebih berikut ini kisah selengkapnya hingga akhirnya saya bisa bangkit dari kevakuman pendidikan dan bisa melanjutkan kuliah dengan beasiswa BIDIKMISI. Tulisan ini saya beri judul “Masih Ada Langit Biru”

Saya adalah anak seorang buruh tani yang penghasilannya serba terbatas. Bapakku tidak tamat Sekolah Rakyat. Sementara nasib ibuku lebih menyedihkan karena sama sekali tidak mengenyam bangku pendidikan. Namun mereka adalah pejuang-pejuang hebat yang mengajariku cara bermimpi. Meskipun pada akhirnya aku harus jatuh berkali-kali terlebih dahulu. Kisah ini dimulai di tahun 2007, saat aku meminta izin kepada Bapak untuk melanjutkan sekolah. Waktu itu Bapak tidak punya cukup uang untuk membiayai kelanjutan studiku di jenjang sekolah menengah atas. Tubuhku mendadak gemetar. Baru kali itu aku melihat Bapak dan Ibu tak bisa berkata-kata, kecuali air mata yang perlahan menghangat melumeri pipi keriputnya.

“Bapak janji akan berusaha mengumpulkan uang. Untuk sementara waktu kamu bekerja dulu setahun. Percayalah, Ngger. Sesudah hujan pasti masih ada langit biru” kata Bapak pada akhirnya. Sementara Ibu bergegas lari menuju kamar dengan pintu tertutup. Dan aku tahu apa yang Ibu lakukan di dalam sana. Sungguh aku benar-benar tidak bermaksud melukai perasaannya. Bapak lalu memelukku. Aku merasakan derap jantung Bapak yang menggemuruh. Entah perasaan apa yang dia rasakan. Yang jelas rasa penyesalanku bertambah besar. Karena mimpi besarku untuk melanjutkan sekolah begitu tinggi, aku pun akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke Jakarta.

Tahun 2008. Allah melancarkan segala prosesnya. Masa SMA aku habiskan untuk mengasah bakat menulisku. Beberapa cerita pendekku mulai terbit di Majalah Mop dan Majalah Story di Jakarta. Kegagalan waktu itu sudah Bapak antisipasi dengan mengumpulkan uang untuk biaya studiku di jenjang perguruan tinggi. Namun Allah punya rencana lain. Bapak mengalami kelumpuhan selama hampir tiga tahun karena jatuh dari pohon kelapa saat mengunduh air nira. Bapak sempat depresi dan menolak di bawa ke rumah sakit gara-gara uang tabungan itu sudah Bapak janjikan untuk biaya kuliahku. Di saat keadaan Bapak sakit begitu parah, Bapak masih mementingkan mimpiku untuk kuliah menjadi Sarjana.

*

N o v e m b e r 2 0 1 3 .

“ N g g e r , a p a k a m u m a s i h m e n y i m p a n m i m p i m u ? ” t a n y a B a p a k s u a t u k a l i s a a t a k u p u l a n g k e M a g e l a n g . S e m e n j a k l u l u s S M A a k u m e m u t u s k a n u n t u k b e k e r j a d i Y o g y a k a r t a . A k u m e n j a d i t u l a n g p u n g g u n g m e n g g a n t i k a n B a p a k . J a n t u n g k u s e p e r t i b e r h e n t i s e k e t i k a w a k t u B a p a k m e n a n y a k a n h a l i t u . B a h k a n a k u s u d a h m e n g u b u r d a l a m - d a l a m k e i n g i n a n k u u n t u k m e n j a d i S a r j a n a . K a l a u a k u k u l i a h , s i a p a y a n g a k a n m e n c a r i u a n g ? A b a n g k u y a n g h a n y a l u l u s a n S e k o l a h D a s a r t i d a k b i s a d i a n d a l k a n k a r e n a k e r j a n y a s e b a g a i b u r u h s e r a b u t a n y a n g t i d a k m e n e t a p .

“ B a p a k s e r i u s , N g g e r ” B a p a k m e n e k a n k a n u c a p a n n y a k a r e n a a k u b e l u m m e m b e r i k a n r e a k s i a t a s p e r t a n y a a n n y a . T i b a - t i b a B a p a k b e r d i r i d a n b e r j a l a n k e a r a h k u . B e l i a u m e r a i h p u n d a k k u , l a l u m e m e l u k k u . A k u m e n a n g i s h a r u m e n d a p a t i B a p a k s u d a h b i s a b e r j a l a n . L a l u I b u y a n g s e d a n g m e n y i a p k a n m a k a n a n d i r u a n g t e n g a h m e n c e r i t a k a n p e r i h a l B a p a k b i s a j a l a n k e m b a l i s e k i t a r s e b u l a n y a n g l a l u .

“ B i a r p u n k i t a s e r i n g j a t u h k a r e n a m i m p i , n a m u n k i t a m a s i h p u n y a k a k i u n t u k b e r d i r i l a g i d a n b e r l a r i ” u c a p n y a p e l a n , n a m u n m a m p u m e n g h u j a m d a d a k u . S a a t i t u l a h m i m p i -m i m p i y a n g t e l a h l a m a t e r t i d u r b a n g k i t l a g i .

“ T a p i s e m u a s u d a h b e r u b a h , P a k . A k u t i d a k b i s a m e n j a d i g u r u s e p e r t i y a n g B a p a k i d a m - i d a m k a n d a r i d u l u . A k u … ” A k u t a k s a n g g u p m e l a n j u t k a n k a t a - k a t a k u y a n g t e n t u a k a n m e n y a k i t i h a t i B a p a k . B u k a n k a h d a r i d u l u B a p a k s a n g a t i n g i n j i k a a k u j a d i s e o r a n g g u r u ? K i n i s i t u a s i n y a s u d a h b e r u b a h s e j a k a k u b e k e r j a d i d u n i a r e t a i l . M i m p i k u i n g i n m e n j a d i w i r a u s a h a w a n , t a k l a g i m e n j a d i s e o r a n g g u r u !

“ B a p a k s e l a l u m e n d u k u n g m i m p i - m i m p im u , N g g e r . A p a p u n i t u ! U a n g - u a n g m u y a n g d u l u d i k i r i m , s e b a g i a n B a p a k t a b u n g k a n . S e m o g a b i s a m e n a m b a h b i a y a k u l i a h m u n a n t i ” A k u h a m p i r t i d a k p e r c a y a d e n g a n u c a p a n n y a . B a p a k m e n g e c u p k e n i n g k u s e b e l u m a k h i r n y a m e l e p a s k a n p e l u k a n n y a .

*

S o r e i t u a k u d i t e l e p o n o l e h I b u W i d y a s t u t i d a r i F B S U N Y . B e l i a u s e d a n g m e l a k u k a n v i s i t a s i m a h a s i s w a U N Y u n t u k U K T g o l o n g a n s a t u d i r u m a h k u . S e m e n t a r a

itu aku masih bekerja di Yogyakarta. Tak banyak yang kami bicarakan di dalam telepon. Waktu itu Ibu Widyastuti hanya bertanya-tanya mengenai kepribadianku, pekerjaanku, dan motivasi terbesarku untuk kuliah. Di akhir percakapan beliau meyakinkan aku untuk mengajukan beasiswa Bidikmisi jalur Seleksi Mandiri. Beliau memberi tahu beberapa persyaratan yang harus segera aku persiapkan. Dengan berbekal piagam juara III LKTI Parade Science se-SMA Kabupaten Magelang, setidaknya ada sedikit harapan dan optimisme. Semangatku kuliah semakin terpompa. Aku merasa bahwa mimpiku sudah di depan mata. Semakin dekat untuk segera aku raih.

*

Aku mengucek-ucek mata tak percaya. Lembaran-lembaran putih pengumuman sangat menyilaukan mata akibat sorotan cahaya matahari. Anis berada di depanku. Meyakinkan kepadaku bahwa namaku ada di deretan terakhir mahasiswa yang dinyatakan lolos beasiswa Bidikmisi. Sebenarnya aku masih belum sepenuhnya percaya. Meskipun dengan sadar aku sudah menemukan ejaan namaku ada di papan itu. Mungkin ada yang salah? Aku pun mengecek sekali lagi barangkali nomor induk mahasiswanya bukan milikku. Namun lagi-lagi aku harus mempercayai bahwa namaku tercatat di sana.

Dulu aku sempat ragu dengan status kelulusanku. Aku lulus SMA tiga tahun yang lalu. Apakah mungkin mendapat beasiswa Bidikmisi? Jawabannya ternyata adalah mungkin. Bidikmisi tidak membeda-bedakan tahun kelulusan. Siapapun mahasiswa miskin yang berprestasi, Bidikmisi siap mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Terima kasih Bidikmisi. Terimakasih Dikti. Terima kasih SBY. Aku tidak akan pergunakan beasiswa ini dengan biasa-biasa saja. Aku akan jadi mahasiswa berkualitas dan siap menjadi generasi emas UNY.

Setelah hujan, pasti masih ada langit biru. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Bapak enam tahun yang lalu. Mungkinkah ini yang dimaksud Bapak sebagai langit biru itu? Langit biru yang akan segera menaungi mimpi-mimpi besarku. Aku yakin, esok pagi dan seterusnya cuaca pasti cerah dan langit pasti berwarna biru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun