Mohon tunggu...
Fuad Cahyadiputra
Fuad Cahyadiputra Mohon Tunggu... -

Menulis adalah laku hidup untuk memberi hidup mengalir, merawat apa yang ada dan suda ada bersenyawa pada setiap rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keindahan Sepak Bola

26 Maret 2012   15:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:27 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

4 november 2007

“aaahkkk . . . .Jack, apa yang terjadi dengan tanganku? Kenapa sulit digerakkan?”

“sabar van. . . sabar, tenangkan dulu pikiranmu.“ jawab seorang sahabatku yang bermuka lelah sedang duduk di kursi sebelah tempat tidurku.

“bagai mana aku bisa tenang, jika saat aku terbangun tangan ku tak bisa di gerakkan dan ketika aku melihatnya dia sudah dibalut dengan giibs tebal? Haa . . bagaimana aku bisa tenang? bentakku pada jack yang terlihat kebingungan.

Tiba-tiba dari luar kamar masuk sesosok wanita cantik dengan wajah sedih.

“kau sudah bangun van?”kata wanita itu sambil mengelus keningku, wajahnya sayup memancarkan kesedihan.

“apa yang terjadi ibu? kenapa aku di rumah sakit? kenapa tanganku di gibs?” Tanyaku pada ibuku sambil melihat ke arah bola matanya yang mulai berkaca-kaca.

“tangan mu patah van dan harus di gibs selama 2 minggu.” kata ibuku dengan nada yang rendah dan menghanyutkan

Kalimat itu memang menghanyutkanku, menghanyutkanku kedalam lembah kesedihan dan kesakitan yang amat dalam. Di lembah itu aku merasa seperti di tusuk ribuan pedang. Dan pedang itu mematahkan setiap tulangku seperti impianku yang juga telah patah.

Tiba-tiba suara jack membuyarkan pikiranku.

“van . .”

“hmmm. . .” jawabku saambil melihat ke arah langit-langit. Disana aku melihat impianku seperti terbang bertebaran. Dan lama-kelamaan menghilang di kegelapan, tak tergapai lagi.

“kau terjatuh saat latihan sepak bola tadi siang, kau terpeleset saat berlari menggiring bola, mungkin karena lapangan licin diguyur hujan deras. Posisi jatuhmu sangat buruk dan ahkirnya tangan kirimu tergencet tubuhmu. Saat itu juga aku menolongmu, kau masih sadar saat itu, aku masih ingat kau megucapkan kata-kata kotor sambil mengerang kesakitan, kau terlihat sangat kesakitan waktu itu. Dan ahkirnya saat aku dan teman-teman tim membopongmu ke luar lapangan kau telah tak sadarkan diri.”

Saat jack mengatakan kata sepak bola aku tak mendenngarkan ceritanya lagi. Pikiranku sudah melayang kesebuah kamar, kamar asrama kami. Saat aku dan jack membicarakan mimpi-mimpi kami sambil melihat timnas senior sedang bertanding melawan Singapura di final piala AFF 2007.

2 November 2007

Terdengar suara seorang komentator dengan nada rendah. Seperti seorang yang kalah dan kelelahan.

“ya pemirsa . . ahkirnya pertandingan berahkir dengan kedudukan 3-1 untuk kemenangan Singapura atas Indonesia, sekaligus menjadikan Singapura juara piala AFF tahun ini. Dan tentu saja ini adalah kesekian kalinya Indonesia gagal di langkah terahkirnya untuk merebut juara.”

“hahaha . .kalah lagi van.” sahut jack sambil memakan cemilan yang tersisa sidikit.

“ya itulah kebiasaan negara kita jack, awal-awal seperti singa yang lapar tapi ahkirnya jadi tikus pecundang juga.” kataku sambil mengganti – ganti chanel tivi.

“hahaha . . .pemainya saja cuma bisa tawuran di liga lokal, bagaimana bisa bermain baik saat pertandingan internasional.” Saut jack dengan nada ketus.

Aku lalu melihat ke arah jack.

“jack, saat kita masuk timnas nanti, kita buat masyarakat Indonesia bangga terhadap negaranya lewat sepak bola, ok. “

“bener banget, kita mulai dari besok tanggal 7 November van, dalam seleksi timnas U- 16 besok kita harus lolos.” Seru jack dengan nada lantang.

Aku langsung memegang punggung jack.

“harus jack. . . .mulai dari sekarang kita harus latihan dengan semangat, kita raih mimpi kita, kita buktikan pada orang tua kita bahwa kita punya masa depan cerah di dunia sepak bola.”

“ya van . . .jauh-jauh dari jogja ke jakarta, kita korbankan sekolah, kita korbankan masa muda kita, kita sudah jalani banyak seleksi, dan ahkirnya tinggal selangkah lagi kita dapat baju timnas itu, kita harus semangat.”

Kami berdua terhanyut dalam semangat berkobar saat itu. Inilah yang kami impikan sejak kami kecil. Memakai baju timnas. Sampai ahkirnya tinggal satu langkah lagi untuk menggapai mimpi itu. Tapi di satu langkah itu aku lengah, tanganku patah bersama mimpiku. mungkin tanganku bisa tersambung lagi suatu hari tapi mimpiku takkan bisa tersambung lagi.

6 november 2007

Karena keadaanku tidak memungkinkan lagi ikut seleksi, ahkirnya aku dipulangkan kembali ke Jogja. Jack tetap disana dan akan mengikuti seleksi. Sebenarnya dia ingin pulang bersamaku tapi aku menyuruhnya untuk tetap tinggal dan mengikuti seleksi. Saat kami hendak berpisah aku mengatakan sesuatu padanya “kita memang bermimpi bersama Jack, kita memang berusaha bersama tapi ternyata jalan kita berbeda, kau telah kehilangan satu pesaingmu, kalahkan pesaing-pesaing yang lain dan bawa mimpi kita bersama baju timnasmu, ok kawan . .” Saat itu dia hanya bisa diam dan menundukan kepalanya. Lalu saat aku dan ibuku hendak pergi dia berkata “ jangan menyerah Evan, kau belum habis.”

Kau belum habis kata jack, tapi aku memang sudah habis. Saat aku sampai di rumah, ayahku yang selama ini tidak setuju aku jadi pemain bola melarangku untuk bermain bola lagi. Semua barangku yang berbau bola di bakarnya. Saat tanganku patah adalah kemenangan baginya. Itu menjadi sebuah alasan untuk menyerangku.”kau takan mendapat apa-apa dari sepak bola, yang kau dapat hanya rasa sakit bukan?” itulah yang dikatakan ayahku. Ayahku memang menyuruhku menjadi guru yang memiliki masa depan cerah tapi aku tidak pernah belajar. Aku lebih memilih berlatih sepak bola yang aku senangi. Ahkirnya aku hanya bisa menurutinya.

Sejak saat itu aku tak pernah bermain sepak bola dan lebih mementingkan sekolahku. Beberapa hari kemudian aku mendengar bahwa jack lolos seleksi. Dan dia bersama timnas U-16 di kirim ke Uruguay untuk menjalani pemusatan latihan selama 3 tahun.

Aku melanjutkan kehidupanku tanpa bermain bola selama 2 tahun. Memang karena aku takut ayahku tapi juga ada faktor lain. Saat aku menendang atau memegang bola, seketika tanganku merasakan sakit seperti saat patah waktu itu. Mungkin karena trauma mendalam. Dan selama 2 tahun itu aku hanya bisa menonton pertandingan-pertandingan sepak bola di tivi. Sambil menahan hasratku untuk bermain. Kadang aku melihat berita di tivi tentang timnas Jack yang telah menjadi timnas U-19. Aku memang iri tapi juga bangga terhadap Jack, karena dia memakai nomer punggung 17, nomer punggung favoritku. Dia menepati janjinya, membawa mimpiku di baju timnasnya.

17 November 2009

Di sebuah lapangan dekat rumahku. Lapangan tempatku dan Jack mulai menapaki mimpi kami. Merajut sebuah kain merah putih bersama. Yang sekarang kain itu hanya dipakai oleh Jack seorang. Tapi saat ini aku sedang tak bersama Jack. Aku sedang bersama Mikel, sebenarnya kami memulai mengejar mimpi bertiga dengan Mikel, tapi Mikel gagal dalam seleksi tingkat provinsi. Di pinggir lapangan ini kami sedang melihat teman-teman kami yang sedang bermain bola dengan semangat berkobar. Aku sangat ingin bermain bersama mereka tapi keadaanku tak membolehkan.

Tiba-tiba Mikel menepuk punggungku.

“mau main van?”

Aku hanya tersenyum dan menjawabnya dengan santai.

“tidak kau saja, tau sendiri kan tangan dan ayahku melarangku bermain.”

“hey . . .sudah dua tahun kau seperti ini, mau sampai kapan kau akan menahan sebuah hasrat yang ada di dalam jiwamu. Mungkin kita gagal masuk timnas tapi kita masih bisa bermain bola kan?”kata Mikel kepadaku.

“tapi tanganku . . .”

“haah . . itu hanya sugesti dari pikiran pecundangmu kawan. Jika Jack melihatmu seperti ini dia akan sekalian memotong tanganmu, agar kau tidak merasakan sakit lagi”.

Aku menelan ludah mendengar Mikel berkata seperti itu.

“tapi ayahku?”

Tiba-tiba Mikel menarik kaosku dan memandang mataku dengan tatapan tajam.

“sampai kapan kau akan jadi tikus pecundang? Haaa . . .jangan terus terkurung dikandang itu. Keluarlah dan buktikan pada bapakmu bahwa kau takan merasakan sakit atau bahkan mati saat bermain bola. Ini bukan masalah masa depan van, ini masalah hasrat dan mimpi. Kau punya hasrat yang terpendam, keluarkan itu seperti singa yang mengaung. Ingat kata jack kepadamu? Kau belum habis kawan.”

Mendengar kata-kata dari Mikel tubuhku menjadi dingin tak karuan. Pikiranku melayang-lanyang ke masa lalu. Darah dalam tubuhku seperti memanas. Beban yang selama ini menahan langkahu seperti lepas begitu saja. Saat itu juga aku langsung mengambil bola yang ada disamping Mikel. Tanganku tak merasakan sakit bahkan malah sebuah semangat seperti masuk melewati tanganku, aku langsung menatap kearah Mikel.

“ayo main mike”.

Di hanya tersenyum. Saat itu juga kami berdua berlari menuju ketengah lapangan. Kami bergabung dengan teman-teman kami yang sedang bermain tadi. Mereka menyambut kami dengan ramah. Kami bermain bola dengan semangat, gembira, tertawa, seperti dulu saat kami bertiga memulainya.

Saat adzan mahgrib mulai berkumandang dan teman-teman kami telah merasa lelah.Mereka mulai pulang satu persatu. Ahkirnya tinggal aku dan Mikel di tengah lapangan yang telah sepi. Diterangi cahaya senja yang indah. Aku menatap Mikel yang terlihat kelelahan.

“trimakasih mike, aku sekarang mengerti, ini bukan masalah masa depan, ini adalah bagai mana kita memaknai sebuah mimpi. Tak harus menjadi seorang Cristiano Ronaldo yang digaji setiap dia bernafas untuk menikmati sepak bola. Tak perlu jadi seorang Maradona yang di kenang sepanjang masa untuk memaknai sepak bola. Keindahan dan kenikmatan sepak bola bisa kita rasakan saat kita berkerjasam dengan teman kita. Kepuasan sepakbola bisa kita rasakan saat kita bisa mencetak gol. Dan meraih mimpi dalam sepak bola adalah saat kita bisa merasakan keindahan,kenikmatan,dan kepuasan itu.”

Mikel hanya bisa tersenyum sambil memutar-mutar bolanya.

“kau telah kembali van, itulah kau yag dulu. Dulu kau bermain sepak bola bukan karena mimpi timnasmu. Kau bermain sepak bola karena kecintaan dan hasratmu kepadanya. Selama ini kau telah tertutup oleh obsesi dan ambisi agar kau bisa membuktikan pada ayahmu bahwa kau bisa meraih masa depan dengan sepak bola. Dan ahkirnya kau lupa pada jati dirimu kawan.”

“ya . . kau benar mike. Selama ini aku terbawa arus untuk membuktikan kepada ayahku bahwa aku punya masa depan di sepak bola. Dan aku melupakan hasratku untuk bermain sepak bola itu sendiri. Sekali lagi trimakasih kawan.”

Cahaya senja ahkirnya mulai berganti gelapnya malam. Kamipun pulang kerumah masing-masing. Membawa semangat baru dalam bermain sepak bola. Bukan lagi untuk menggapai mimpi berbaju timnas. Atau menunjukan pada orang bahwa sepak bola punya masa depan. Tapi bagaimana kami menikmati sebuah permainan. Menikmati keindahan sepak bola.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun