Mohon tunggu...
Delon Akbar Taradiva
Delon Akbar Taradiva Mohon Tunggu... -

Air tidak akan pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi, tapi air akan selalu menuju ke tempat yang lebih luas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Dan Pluralisme

30 Maret 2012   04:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:16 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktik dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa eksklusifisme komunal. Orang muslim harus secara otentik mengembangkan paham kemajemukan masyarakat (pluralisme sosial). Bergandengan dengan itu dituntut pula kesanggupan mengembangkan sikap-sikap saling menghargai antar sesama anggota masyarakat, dengan menghormati apa yang dianggap penting pada masing-masing orang dan kelompok. Nilai-nilai universal selalu ada dalam inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh umat manusia. Nilai-nilai universal itu harus dikaitkan kepada kondisi-kondisi nyata ruang dan waktu agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat, sebagai dasar etika sosial.

Gabungan serasi dan seimbang antara iman dan ilmu itulah yang kita perlukan sepanjang masa dan setiap tempat. setelah kita mencoba memahami agama secara benar sebagai usaha meningkatkan iman, kita dengan sendirinya ingin memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat yang dijanjikan oleh agama itu, dengan berusaha melaksanakannya di temoat kita hidup, yaitu Indonesia sebagai lingkungan politik nasional kita. Maka pelaksanaan ajaran islam di Indonesia pun dengan sendirinya menuntut pengetahuan dan pemahaman lingkungan Indonesia secara fisik maupun sosial budaya.

Salah satu ciri menonjol negara kiata ialah keanekaragaman, baik secara fisik maupun sosial budaya. Indonesia adalah Negri dengan heterogenitas tertinggi di muka bumi. Berdasarkan kenyataan bahwa ia terdiri dari 13.000 pulau, besar kecil, dihuni dan tidak dihuni (atau menurut perkiraan Angkatan Laut luas Indonesia 17.000 pulau). Dengan kelompok kesukuan dan bahasa daerahnya masing-masing yang jumlahnya mencapai ratusan, secara sosial budaya negara kita juga heterogen. Demikian pula dari segi keagamaan, sekalipun islam merupakan agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang besar dari daerah ke daerah, Selain Islam, empat di antara agama-agama besar di dunia diwakili di negri kita yaitu Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu

Telah dikemukakan bahwa kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (Q, 49:13), maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. (Majid, 1992)

Selama ini banyak kalangan umat muslim yang beranggapan bahwasannya plurslisme adalah bagian dari penistaan ajaran agama Islam, Karena pluralisme dianggap adalah bagian dari bentuk-bentuk kekafiran yang mengatasnamakan Islam. Bantahan-bantahan mengenai plurslisme bukanlah tanpa alasan, kaum muslimin yang menentang akan paham ini mendasrkan pada ayat-ayat Al-Qur’an contohnya saja mereka berkaca dari surat Ali Imron ayat 19 yang berbunyi “sesungguhnya agama yang diridoi di sisi ALLAH hanyalah Islam”, selain itu bantahan terhadap pluralisme juga terdapat dalam Surat Ali Imron ayat 85 yang berbunyi “barang siapa mencari agama selain islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya, dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. Dari kedua ayat dalam surat Ali Imron ini jelas bahwasannya kita sebagai umat muslim diharamkan untuk meyakini agama selain Islam.

Istilah pluralisme dalam Islam barangkali menjadi sebuah persoalan baru, ia terdengar asing, bukan merupakan tradisi Islam yang sejati, bahkan bertentangan sama sekali. Sebab Islam hanya meyakini agamanyalah sebagai satu-satunya agama yang diterima disisi Tuhan (Q. S. 3: 85). Keyakinan ini didukung pula dengan 11 fatwa MUI yang dikeluarkan pasca Munas VII Juli 2005 lalu, dimana pluralisme menjadi salah satu konsentrasi fatwa dari 11 fatwa yang dikeluarkan dengan menjatuhkan hukum haram terhadap pemahaman pluralisme. Eksistensi MUI sendiri agaknya begitu agung ditengah masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. MUI seolah-olah menjadi “wakil Tuhan” di permukaan bumi untuk menentukan hukum dengan ijtihad yang dilakukannya. Keharaman pluralisme yang difatwakan MUI tentu menjadi pengaruh besar bagi umat Islam bahwa ia (pluralisme) memang bertentangan jauh dari ajaran Islam.

Buku Mohamed Fathi Osman berjudul The Children of Adam: an Islamic Perspective on Pluralism (Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding; George University, 1996), yang terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina dengan judul Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan agaknya dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam kasus ini. Jika pluralisme dinilai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam – dalam pandangan MUI dan umat Islam pada umumnya, barangkali hal ini tidak menurut Fathi Osman, bahkan sebaliknya, Fathi Osman justru memandang bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip moral dan hukum mengenai pluralisme tersebut. Lebih dari itu, pluralisme juga pernah menjadi pengalaman Islam dalam catatan sejarah panjang.
Fathi Osman sepertinya ingin mengakrabkan diri dengan banyaknya ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan prinsip pembenaran pluralisme dalam Islam. Dengan sendirinya, hal ini melemahkan pandangan yang mengatakan bahwa pluralisme tidak datang dari Islam, sebab banyak sekali ayat Al-Qur’an yang mendukung pluralisme dimaksud. Dalam hal ini, Fathi Osman mengawalinya dengan menyebutkan bahwa pluralisme dapat dilihat sebagai peran serta bersama tanpa memandang kelompok mayoritas atau minoritas, tapi masing-masing kelompok dapat memberikan peranan masing-masing dengan tetap mempertahankan identitasnya yang khas (h: 3). Ini jelas digambarkan Al-Qur’an: bahwa Tuhan tidak memandang siapa yang banyak, siapa yang sedikit, akan tetapi ketaqwaan yang membedakan mereka semua (Q. S 49: 13).

Fathi Osman memandang bahwa hukum Islam (syariat) dimaksudkan untuk mencegah bahaya dan menepis beban dan penderitaan (Q. S. 5: 6; 22: 78), bukan sebaliknya. Semua hukum Islam harus diwujudkan dalam kesanggupan individu dan masyarakat yang banyak disebutkan berulang-ulan dalam Al-Qur’an (Q. S. 2: 233, 286; 6: 152; 7: 42; 23: 62; 65: 7). Jika perlu, suatu larangan bahkan dapat ditunda untuk sementara sebagaimana halnyameringankan beban kesulitan yang tidak dapat dipikul (Q. S. 2: 173; 5: 8; 6: 119, 145; 16: 115) (h: 32). Jelas ini menunjukkan bahwa Islam melindungi kepentingan orang banyak tanpa memandang status dan kedudukannya, termasuk pula agama dan keyakinannya.

Bagi Fathi Osman, perbedaan merupakan suatu keniscayaan, sebab manusia dilahirkan dengan kondisi perbedaan bawaan, dan pada gilirannya akan menemukan perbedaan perolehan. Inilah essensi pluralisme menurut Osman yang harus diterima dan saling mengenal dengan baik (Q. S. 30: 22; 49: 13) dengan tujuan menemukan suatu pertukaran gagasan dan pengalaman yang bersifat membangun dan agar saling bekerjasama dalam upaya mereka mengembangkan kemanusiaan dan dunia dimana mereka hidup bersama. Tidak ada hambatan mengenai perkawinan silang, baik antara ras, suku, maupun status sosial. Bahkan perkawinan dengan budak dapat diizinkan , dan bahkan didorong dalam kasus-kasus tertentu (Q. S. 2: 22; 4: 25) (h: 38-9).

Bagi Osman, tidak ada alasan tidak bagi pemahaman pluralisme. Sebab pluralisme tidak hanya dapat ditemukan dalam hukum Islam, bahkan pluralism merupakan sesuatu yang pernah ada dalam sejarah peradaban umat Islam. Dalam Wilayah musli – Osman menyebutkan – pendeta Kristen hanyalah pemimpin spiritual yang mewakili komunitasnya masing-masing. Mereka menjalankan profesi dan kegiatan mereka masing-masing dengan bebas. Bahkan, Fatimiyah al-Aziz memiliki seorang menteri Kristen dan menunjuk orang Yahudi sebagai Gubernur di Syiria. Meski posisi-posisi penting dibidang keuangan, kesekretariatan, profesional kota-kota yang dipegang orang-orang Yahudi dan Kristen tidak jarang menimbulkan kecemburuan pihak muslim (h: 62-4). Dalam bidang pengetahuan pun, Osman menyebutkan terjadi interaksi pemikiran keagamaan Muslim, Yahudi dan Kristen di Eropa Barat yang amat menakjubkan (h: 70).Dan yan paling penting untuk keharusan pluralisme ini adalah, bahwa manusia dilahirkan dari nenek moyang yang sama. Bagaimana mungkin manusia dapat dibedakan secara mutlak, jika manusia sama-sama disebut sebagai “anak-cucu Adam. (Osman, 1996)

Selama ini telah banyak pertentangan tentang pluralisme akibat perbedaan pandangan dalam menafsirkan tentang esensi pluralisme itu sendiri. Kalangan muslim yang menolak plurslisme beranggapan bahwa pluralisme berarti meyakini, membenarkan, dan menganggap bahwasannya semua agama itu sama, dan ini sudah tentu menyimpang dari ajaran islam yang salah satunya tertuang pada surat Ali Imron ayat 19. Tapi bagi kalangan yang mendukung pluralisme, pluralisme memiliki arti yang berbeda. Salah satunya seperti pendapat dari Nurcholish Madjid, bahwasannya pluralisme bukanlah meyakini agama lain atau membenarkan agama selain islam, tetapi hanyalah memberi ruang untuk sekedar eksis bagi agama lain.

Bila melihat dari pendapat-pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwasannya saat ini bukan waktunya untuk membenarkan atau menyalahkan makna dari pluralisme, tapi bagaimana kita dapat hidup berdampingan dalam negara yang majemuk tanpa mengurangi rasa keimanan kita terhadap Allah S.W.T.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun