Mohon tunggu...
Fitri.y Yeye
Fitri.y Yeye Mohon Tunggu... Administrasi - otw penulis profesional

Wanita biasa.\r\nPenulis Novel Satu Cinta Dua Agama & Rahasia Hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Atasan

28 Januari 2015   23:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:12 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422437037924936798

[caption id="attachment_348431" align="aligncenter" width="424" caption="www.portalhr.com"][/caption]

“Gantungkan cita-citamu setinggi langit nak! Kejarlah ia,teruslah bangun mimpi-mimpi.” Begitu kalimat-kalimat mengalir dari mulut gurunya puluhan tahun silam. “kamu mau jadi apa nak? Matematika sederhana ini saja kau tidak juga mengerti. Berapa kali ibu bilang, dengarkan gurumu saat menerangkan pelajaran. Jangan bercerita pula di belakang, paham kau?!” suara itu meninggi, Ia menunduk, mengangguk berkali-kali di tiap akhir kalimat bu guru.

Ia berlari, saat itu sekuat tenaga. Menjinjing sepatu yang sudah lusuh, karena takut robek di bawa berlari dengan kecepatan tinggi, ia memilih menjinjingnya. Kalau sepatu itu lepas alasnya, maka besok dia akan di jewer bu guru, berdiri di depan kelas dengan mengangkat satu kaki sebab tak memakai sepatu. Peraturannya memang begitu, setiap anak ke sekolah harus dengan sepatu. Kata-kata bu guru terus mengiang di benak, menari-nari seolah kemudian ia rasakan bak alunan musik rock yang menghentak-hentak. Ia sesungguhnya tak terlalu mengerti, apa maksud bu guru bertanya tentang cita-cita? Tentang mimpi-mimpi yang harus di bangun. Tetapi tetap saja mengganggu, setiap saat, setiap hari dan bahkan masuk dalam tidurnya sebagai mimpi buruk yang melelahkan.

“ayooo nak, kamu mau jadi apa? Cita-citamu apa? “ begitu terus, terus dan terus saja setiap malam mimpi itu datang, Bu guru hadir dengan pertanyaan yang sama. Tak terjawab, pun tidak menemukan solusi ketika pagi ia telah terbangun.

Ia menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Rongga dada terasa sesak. Ruangan ber AC, meja kerja dari jati asli, kursi putar dengan busa yang tebal. Begitu nyaman, sangat sangat nyaman. Ia memejamkan mata, mengawang ke langit-langit gybsum putih bersih, tanpa senyum, muka tegang sebab pikiranya berkecamuk. Tempat nyaman tak selalu menentramkan.

Telpon di meja sekretarisnya berdering, suara lembut menyapa orang di seberang.

“semua sudah siap pak, tinggal menunggu bapak!” gadis sintal itu sekretaris pribadinya.

“iya..!”

Lalu ia berdiri, tak banyak kata. Berjalan ke luar ruangan. Diikuti wanita cantik yang menjinjing tasnya tergopoh-gopoh. Sepatu hak tinggi membuat jalannya timpang, takut terpleset di lantai licin. Si bos tak mau tahu, terus berjalan menuju ruang meeting.

Sekretarisnya membukakan pintu, mempersilakan dia masuk. Duduk di sofa yang sudah disediakan khusus untuknya. Papan namanya terpampang di depan. Meja bundar cukup besar, beralas kaca tebal kira-kira lima belas orang menunggu di sana. Laki-laki perempuan, berbusana rapi, berkemeja lengan panjang dilengkapi dasi dan begitu juga yang perempuan. Dia sendiri mengenakan kemeja marun lembut berjas hitam, semuanya tampak gagah, cantik dan intelek.

Ia berdehem, memulai kata.

“ehemm..!” hadirin mengerti tandanya akan dimulai. Ia membuka dengan sapaan sopan, candaan ringan. Sebelum kemudian mengupas habis agenda meeting hari itu. Satu-persatu peserta lain bertanya, memberi saran. Mengungkapkan protes, dukungan kemudian keadaan semakin memanas.

“kita dalam masalah besar!” ungkap seorang peserta berdasi biru.

“ini tidak bisa dibiarkan, ini merusak nama baik!” timpal perempuan berkemeja ungu.

“Kita harus susun strategi, kasus ini tak boleh terendus keluar. Terlalu bahaya!”

“ini fitnah..”

Begitu terus hingga tak ada solusi untuk beberapa lama. Ia meneguk air mineral di gelas kristal. Tiba-tiba tenggorokannya gatal karena haus.

“anda tahu? Ini resiko menjadi orang besar? Setiap tindakan akan disorot media. Lalu berita akan menyebar kemana-mana. Jangan asal mengeluarkan statemen di publik, karena tak terbayangkan begini kan akhirnya?” Semua diam.

“Berapa kali saya bilang, jangan sembarangan kalau ngomong. Pikir-pikir dulu. Kita berada di wilayah sensitive, apalagi di situasi pelik sekarang. Lebih baik diam jika tak tahu akar persoalan. Emosi boleh, tapi jangan asal tendang. Bisa-bisa kepala kalian yang dipenggal!” nadanya masih tenang, tapi tatapnya mulai tajam, terlihat dia juga sedang berusaha menyimpan amarah.

“Sekarang kalian tahu akibatnya kan? Hanya salah ucap, tanpa ada niat untuk menghina dan merendahkan orang. Segala dalil sekarang keluar sebagai bentuk ketidak sukaan! Kalian ini orang-orang hebat, tapi jangan merasa yang paling hebat. Kalian pasti pernah dengar ungkapan, ada langit di atas langit. Kita ini bukan superior, bukan nabi yang tak bisa salah. Kalian harus tahu itu.”

Yang lain masih diam, memukul-mukul pena di atas meja, mengelus-elus dagu, hening. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Entah mereka saat itu sungguh-sungguh mendengar atau cuma pura-pura diam tanda mengerti?

Lima belas orang itu adalah orang-orang pilihan, dia menjadi pimpinan, menjadi atasan. Bebannya terasa lebih berat dari yang lain, setiap malam tidurnya tak pernah nyenyak, berseliweran masalah silih berganti menggerogoti, pikirannya kacau. Tapi dia tetap tenang, senyumnya yang biasa selalu mengembang, pelan-pelan kini mulai hilang. Dia melempar pandangan ke masing-masing orang, di pikirannya mereka semua ada dalam genggaman, namun seringkali istrinya mengingatkan. Meski tergenggam bukan berarti mereka pasrah, mungkin ada yang ingin lepas, atau mungkin rela digenggam tapi di dalam melakukan perlawanan. Hati-hati ! Kini ucapan istrinya terngiang, meski tak ingin berprasangka, kejadian-kejadian ini bukan disengaja namun telah menjerumuskan, tidak hanya dia tapi semua orang yang ada di sekelilingnya kini semua merasa tak lagi aman.

Ia kembali ingat pertanyaan gurunya di masa silam,

“cita-citamu apa nak?” andai sekarang bu guru bertanya lagi padanya,

“cita-citamu apa nak?” dia akan katakan dengan sangat lantang.

“Saya tak mau jadi atasan!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun