Mohon tunggu...
Lutfi Khoiri Rosyida
Lutfi Khoiri Rosyida Mohon Tunggu... -

Duta paramadina 2011 Paramadina The Jakarta Post Fellow Philosophy&Religion Study

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Harmoni Manusia dan Alam dalam Filsafat India

6 Desember 2011   03:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:46 2982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Masyarakat dunia harus mulai sadar bahwa tidak hanya filsafat Yunani (Hellenisme), Cina dan Islam saja yang mendunia. Filsafat India pun sebenarnya tidak kalah terkenal. Filsafat India mengusung keyakinan akan kesatuan fundamental antara manusia (individu) dengan alam (kosmos). Dengan demikian, tidaklah mustahil jika filsafat India bisa menjadi solusi bagi krisis spiritual dan alam saat ini. Menurut filsafat India, harmoni yang terjalin akan mengantarkan seseorang menjadi waskita (arif bijaksana) terhadap hidup. Tidak terasing dari kehidupan dunia (alam semesta) dan mampu beramah-tamah dengan semua benda di sekelilingnya. Bagaikan bersahabat dengan gemericiknya air, kesuburan tanah yang menumbuhkan segalanya, dan sinar matahari yang menghangatkan semesta raya.

Banyaknya catatan sejarah yang hilang serta kurangnya tokoh India pada zaman dahulu yang menuliskan kisahnya, menjadi salah satu kesulitan yang dihadapi pengkaji filsafat India. Kondisi ini berbeda dengan yang dialami oleh para pengkaji filsafat Yunani, China, dan filsafat Islam yang dibanjiri catatan sejarah serta kisah-kisah tokoh yang dituliskan dalam sejumlah dokumen atau sejarah. Pada makalah ini penulis akan mencoba membahas lima babakan sejarah mengenai cara berpikir masyarakat India dan dua rujukan terpenting yang dipakai sebagai rujukan Falsafah India. Sumber babakan sejarah masyarakat India ini saya ambil dari seorang filsuf India sekaligus budayawan dan sastrawan yang bernama Rabindranath Tagore[1]. Ia menguraikan sedikit gambaran mengenai cara berpikir masyarakat India pada zaman dahulu. Berdasarkan catatan sejarah yang ia miliki, inilah yang membuat para pengkaji filsafat India bisa membagi perkembangan filsafat kedalam lima periode besar. Pembagian Lima Periode Dalam Filsafat India Berikut merupakan babakan perkembangan filsafat India yang terjadi selama lima periode besar itu yakni, zaman Weda, zaman Skeptisisme, zaman Puranis, zaman Muslim, zaman Modern: 1.                  Zaman Weda (2000 - 600 SM) Filsafat India dimulai sejak bangsa Arya masuk ke India dari utara sekitar tahun 1500 SM. Literatur suci mereka disebut Weda, yang terdiri dari Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Samhita memuat Rigweda (kumpulan pujian-pujian), Samaweda (himne-himne liturgis), Yajurweda (rumus-rumus korban), dan Artharwaweda (rumus-rumus magis). Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad memuat komentar-komentar pada semua literatur. Upanisad merupakan yang terpenting dari filsafat India yang sepanjang sejarah merupakan sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan. Tema yang menonjol untuk Upanisad adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subjektif dari kenyataan, "diri" manusia. Sedangkan Brahman adalah segi objektif, makrokosmos, alam semesta. Upanisad mengajarkan bahwa Atman dan Brahman memang sama dan bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman. 2.     Zaman Skeptisisme (600 SM – 300 M) Sekitar tahun 600 SM mulai suatu reaksi baik terhadap ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi hubungan dengan korban para rahib. Para imam mengajarkan ketaatan pada kitab suci, tetapi para rahib mengajarkan suatu metafisika di mana ketaatan ini mengganggu kebaktian kepada dewa-dewa. Reaksi ini datang dalam berbagai bentuk. Tetapi yang terpenting diantaranya adalah Buddhisme ajaran dari Gautama Buddha, yang memberi pedoman praktis untuk mencapai keselamatan dan mengajarkan secara nyata bagaimana manusia dapat mengurangi pemderitaannya dan bagaimana ia mencapai terang budi yang membawa keselamatan. Reaksi lain adalah kebaktian yang lebih eksklusif kepada Siwa dan Wisnu dan juga Jainisme dari Mahawira Jina. Keduanya merupakan bentuk agama yang menarik daripada ritualisme dan spekulasi dari imam dan para rahib. Sebagai kontra-reformasi muncullah Hinduisme resmi enam sekolah ortodoks (disebut ortodoks karena Buddhisme dan Jainisme yang tidak berdasarkan Weda dianggap bid’ah).  Sekolah itu adalah Saddharsana (Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Purwa-Mimamsa, dan Ynana). Adalah yang terpenting dari sekolah itu adalah Samkhya (artinya jumlah) dan Yoga (dari kata "juj", menghubungkan). Yoga mengajarkan suatu jalan (marga) untuk mencapai kesatuan dengan ilahi. Samkhya mengajarkan sebagai tema terpenting hubungan alam-jiwa dan kesadaran-materi. 3.     Zaman Puranis (300 – 1200) Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India. Pemikiran India dalam abad pertengahan dikuasai oleh spekulasi teologis, terutama mengenai inkarnasi dewa-dewa. Contoh cerita tentang inkarnasi dewa-dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata dan Ramayana. 4.     Zaman Muslim (1200 – 1757) Dua nama yang menonjol dalam periode muslim yaitu Kabir (pengarang syair) yang mencoba mengembangkan suatu agama universal dan Guru Nanak (pendiri aliran Sikh) yang mencoba menyerasikan Islam dan Hinduisme. 5.     Zaman Modern (setelah 1757) Zaman modern adalah zaman pengaruh Inggris di India mulai tahun 1757. Periode ini memperlihatkan kembali nilai-nilai klasik India, bersama dengan pembaharuan sosial. Nama penting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-1833) yang mengajarkan monoteisme berdasarkan Upanisad dan suatu moral berdasarkan Khotbah di Bukit dari Injil, Vivekananda (1863-1902) yang mengajarkan semua agama benar tetapi agama Hindu paling cocok di India, Gandi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore (1861-1941) sang pengarang syair dan penmikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide luar. Sejumlah pemikir India zaman sekarang melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat Timur dan filsafat Barat. Radhakrishnan (1888-1975) mengusulkan pembongkaran batas-batas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir masa depan seluruh dunia. Pemikir-pemikir lain tidak begitu optimis dengan kemungkinan ini. Menurut mereka, perbedaan antara corak berpikir Timur dan Barat terlalu besar untuk mengadakan suatu interaksi, dalam arti "saling melengkapi". Filsafat India dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenal identitas mikrokosmos. Mungkin, filsafat Barat terlalu duniawi sedangkan filsafat Timur terlalu mistik. GARIS BESAR AJARAN VEDA DAN UPANISHAD[2] Garis umum ajaran Vedanta yang dalam Upanishad kurang lebih adalah sebagai berikut: a.      Pertama, dalam Veda periode akhir pluralitas dewa semakin kurang mendapat perhatian. Dewa yang satu dengan yang lain tidak begitu dibeda-bedakan, karena hal tersebut dirasakan begitu membingungkan. Perkembangan baru muncul ketika dicari asas penyatu dan pemersatu alam semesta. Pribadi-pribadi dewa yang begitu banyak itu dianggap sebagai nama-nama untuk menyebut satu hakikat yang sama. Nama-nama diberikan untuk menyebut fungsi-fungsi kreatif yang dijalankan oleh masing-masing dewa. Misalnya nama dewa Visvakarman, yang artinya Tuhan segala sesuatu; Prajapati, Tuhan segala ciptaan; Brahmanaspati atau Brahaspati, Tuhan Brahman atau Kekuatan Suci; Purusha, pribadi lelaki yang mati melalui upacara kurban untuk melahirkan jagat raya yang aneka ragam. b.      Kedua, setelah itu muncul persoalan mengenai dualisme keberadaan dan ketidakberadaan. Yang disebut ketidakberadaan ialah materi yang penuh kegelapan yang serba kacau dan tak berbentuk. Keberadaan adalah sebaliknya, alam rohani yang terang benderang, teratur dan mempunyai bentuk. c.       Ketiga, dalam Rig Veda yang ditambahkan pada periode kemudian, terdapat tiga nyanyian (samhita) dalam fasal ke-10, yang memberi petunjuk adanya gambaran awal tentang monisme pantheistik, yang kelak dibahas panjang lebar dalam Upanishad. Penulis fasal ini bertanya, “Siapa Tuhan yang harus kupuja dalam nyanyianku?” Dijawab, ”Pada awal mulanya adalah Benih Emas. Sesudah dilahirkan ia segera menjadi Tuhan yang satu, pencipta segala sesuatu.” Tuhan dilukiskan lahir dari ketidakberadaan atau kegelapan. “Luapan air dahsyat muncul, mengandung dan melahirkan segala sesuatu sebagai Benih dan Api. Kemudian daripadanya muncul daya kehidupan Yang Satu, Benih Emas.” Benih Emas itu ialah Prajapati, Tuhan segala makhluq. Prajapati sebagai Tuhan adalah transenden (tanzih). Dia memerintah berdasarkan hukum. Dia adalah roh imanen (tasybih), meliputi segala sesuatu dan merupakan inti kehidupan segala sesuatu. Ini dilukiskan dalam Rig Veda 10:129. ”Ketika itu belum ada Keberadaan atau pun Ketidakberadaan, belum ada langit atau pun cakrawala, atau segala sesuatu di atas keduanya. Apakah yang diliputi? Di mana? Dalam naungan siapa? Apakah air, yang dalam, yang tak terselami itu? Sebermula adalah kegelapan yang terbungkus dalam kegelapan; semuanya ini tidak lain adalah air yang tak kelihatan. Apa pun itu, Yang Esa ini, yang mengada, yang tersembunyi, dalam kekosongan ini, diadakan oleh daya dari panas (tapas). Sebermula adalah keinginan yang merupakan benih pertama dari budi menyelimutinya. Para bijak yang mencari-cari dalam hati mereka mendapatkan pertalian Keberadaan dalam Ketidakberadaan. Tali mereka direntang kian kemari. Adakah sesuatu di atas atau di bawah?? Para pemberi benih ada di sana, ada juga daya-daya; di bawah ada svadha (energi) dan di atasnya kehendak hati. Siapa yang benar-benar tahu? Siapa yang dapat menyatakan saat kelahiran ini, ketika penurunan (visrshthi) dimulai. Dengan penurunan ini para dewa kemudian memperoleh wujudnya. Siapa tahu kapan saat itu terjadi? Kapan penurunan ini muncul, entahlah (apa Tuhan) menciptakannya atau tidak, hanya dia sang pengamat di surga tertinggi, yang tahu. (Hanya dia yang tahu) atau mungkin juga ia tidak tahu.” Ini dapat dikaitkan dengan yang diuraikan dalam Upanishad. Dalam Upanishad dilukiskan Prajapati melakukan penciptaan setelah melakukan tapabrata dan yoga yang keras. Di sini dikemukakan bahwa yang mendorong penciptaan adalah kekuatan yang disebut Kama (kehendak). Kama merupakan daya hidup yang berada di balik keadaan samsara yang dialami makhluq hidup. Dalam Atharva Veda, kama dinyatakan sebagai anak pertama dari penciptaan. d.      Keempat, penciptaan dilukiskan sebagai tindakan pengurbanan diri dari Yang Maha Ada dan Yang Maha Awal. Tindakan itu dilakukan agar Yang Satu melahirkan keperbagaian atau yang aneka ragam. Yang Maha Ada disebut Purusha. Dia adalah Ada yang maha tinggi, pribadi pasif dan inti jiwa manusia (atman). Dalam Purusha Sukta (Nyanyian Untuk Purusha), purusha dilukiskan sebagai raksasa pertama yang merupakan model segala upacara kurban dan tujuan pengurbanan. Doktrin tentang purusha diduga muncul dari upacara kurban manusia yang pernah dilakukan bangsa Arya, tetapi kemudian dihapuskan. Keterangan mengenai ini dapat dilihat dalam Rig Veda: ”Ketika para dewa melaksanakan upacara kurban dengan mempersembahkan Purusha sebagai kurbannya, musim semi adalah mentega yang meleleh, musim panas adalah bahan bakarnya, musim gugur adalah sesajinya. Sang Kurban, Purusha, yang dilahirkan pada awal mula ini, mereka sirami air di atas jerami, sungguh dialah yang dikurbankan oleh para dewa, para sadhya dan para resi”. Dari kurban awal inilah konon segala sesuatu diciptakan. Dunia tidak lain adalah tubuh Manusia Pertama yang dipotong-potong, sebagai model kurban. Purusha identik dengan alam semesta, sekaligus melampaui alam semesta. Tuhan adalah satu, segala sesuatu dan meliputi segala sesuatu. Melalui keterangan ini tampak kencenderungan monisme pantheistis yang dimaksud. e.      Kelima, Purusha Sukta memadukan dua unsur ajaran, yang kelak dikembangkan menjadi pemikiran utama dalam kitab Brahmana dan Upanishad. Dua unsur tersebut ialah: (a) Penciptaan merupakan hasil dari pengurbanan diri Purusha; (b) Alam Semesta sebagai jagat besar (macrocosmos) memiliki padanan dalam jagat kecil (microcosmos), yaitu manusia. Artnya, antara dunia dan manusia terdapat persamaan dalam keberadaan. f.        Keenam, dalam Rig Veda dan terutama dalam Atharva Veda, untuk menunjukkan pentingnya upacara kurban maka proses terciptanya dunia selalu diidentikkan dengan jalannya pengurbanan. Dengan demikian peranan pemimpin upacara kurban, yaitu Brahmana, sangat penting. Upacara kurban dipandang sebagai tindakan suci dan setiap tindakan suci identik dengan keseluruhan yang terdapat di alam raya. Dalam kitab Purusha Sukta diuraikan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta, termasuk jiwa, pikiran dan materi identik dengan bagian dalam diri binatang suci yang dikurbankan. Dari perkembangan ini muncul pemakaian istilah Brahman, yang menjadi konsep kunci dalam falsafah Veda. Kata brahman, brahma dan brahmana sering diperdebatkan asal usulnya. Ada yang menghubungkan dengan kata brhat (besar, luas), Pendapat ini dianggap tidak sesuai dengan arti utama perkataan tersebut, yaitu ’sabda suci’ atau ’rumusan suci’. Yang lain mengatakan bahwa kata Brahma atau Brahman berasal dari kata brhman (ucapan suci) dan brahmn (dia yang memperoleh kuasa dari ucapan suci). Brahman bisa berupa dunia dan bisa juga berupa manusia. Karena itu nama Brahma kemudian dikenakan kepada Dewa Pencipta, karena Dialah pemilik tertinggi ucapan suci dan sekaligus memperoleh kuasa untuk menciptakan segala sesuatu, melalui pengurbanan tentu saja. Kata brahmana juga dikenakan kepada kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu, yaitu para pemimpin yang berwenang atas ucapan suci dan memimpin upacara keagamaan. Kata brahmana juga dikenakan pada teks-teks suci tentang upacara kurban dalam kitab Veda. Brahman juga diartikan sebagai kekuatan suci yang dimiliki Tuhan dan terdapat dalam jiwa manusia. Sejak masa akhir Veda ini maka istilah Brahman dan Atman menjadi konsep kunci dalam falsafah Veda, melengkapi konsep Purusha. Atman sering diartikan sebagai jiwa individual, sedang brahman diartikan sebagai jiwa alam semesta. Kadang kedua kata tersebut saling dipertukarkan. Kadang juga kata Atman dipakai untuk menyebut jiwa segala sesuatu. Kata Brahman, Atman dan Purusha sering pula digunakan untuk menyebut dua hal yang sama, yaitu ’Hakikat jiwa manusia’. Keberadaan ketiganya di luar waktu, karena itu ia kekal dan merupakan sumber segala perubahan. Ini misalnya dikemukakan dalam Chandogya Upanishad 3:14: ”Kedirianku ini, yang ada dalam hati, adalah Brahman. Kalau aku bertolak dari sini, aku malah memasukinya.” Munculnya konsep Brahman sebagai Pencipta, dan konsep atman dan Purusha, merupakan hal yang baru dari perkembangan idea-dea ketuhanan. Bahkan dikatakan sebagai penemuan besar yang dijumpai dalam Upanishad. Begitu pula penyamaan Atman dan Brahman, yaitu penyamaan jiwa individual (atman) dengan asas jagat raya (Brahman). Dalam Chandogya Upanishad 3:14 juga dikatakan, ”Orang harus memuja Brahman sebagai Yang Haqq...Orang harus memuja Sang Diri (atman) yang memuat budi (buddhi), yang tubuhnya adalah nafas, yang wujudnya adalah cahaya, yang kediriannya adalah ruang angkasa, yang merubah wujudnya sesuai dengan kehendak, yang pikirannya cepat, yang pemahamannya benar”. Upanishad lebih jauh menggambarkan Brahman sebagai makanan, dan nafas sebagai alam semesta. Ini kedengaran aneh di telinga orang modern, tetapi bukannya tanpa alasan. Dalam Taittiriya Upanishad misalnya dinyatakan bahwa unsur dasar kehidupan ialah makanan dan makanan merupakan materi hidup. Dalam Kaushitaki Upanishad disebutkan bahwa nafaslah yang merupakan unsur kehidupan. Dari kenyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi penulis Upanishad materi merupakan unsur asas pertama dari kehidupan dan karenanya identik dengan Brahman; sedangkan roh merupakan unsur asas kedua. Kalau diringkas demikianlah logikanya: (a) Brahman adalah makanan sebab makhluq-makhluq fana dilahirkan dari makanan. Makanan merupakan materi hidup dan asas kehidupan itu sendiri; (b) Kehidupan menampakkan diri dalam nafas, dan nafas tergantung pada makanan. Karena itu makhluq bernafas tergantung pada makanan; (c) Kehidupan kemudian tergantung pada manas (pemikiran diskursif), vijnana (kesadaran batin) dan buddhi (akal yang dapat membeda-bedakan sesuatu); (d). Pada manas tergantung ananda (kebahagiaan); (e) Kebahagiaan adalah jalan pencerahan rohani. g.      Ketujuh, hubungan atman dengan dunia kebendaan, bersifat sementara. Seperti atman, hidup manusia tak mengenal awal dan awal, selalu berputar dalam roda samsara atau perputaran tanpa henti yang menimbulkan penderitaan. Karena merupakan perputaran tanpa awal dan tanpa akhir, maka kehidupan merupakan beban yang menakutkan dan inilah yang menjadi sumber derita. Ada konsep lain sebagai pasangan samsara, yaitu karma, yang diartikan sebagai perbuatan atau akibat dari perbuatan. Karma merupakan salah satu sumber utama penderitaan. Karma adalah perbuatan masa lalu yang menentukan kehidupan masa depan. Berikut adalah uraian singkat mengenai pembabakan lima periode filsafat India dan dua pegangan terpenting dalam Filsafat India yaitu Veda dan Upanishad. Filsafat India tidak mengajarkan seseorang untuk menguasai alam, tetapi untuk berteman dengannya. Mendidik seseorang agar mempunyai kearifan lokal dalam menelaah kearifan hidup. Ajaran ini memiliki sedikit persamaan dengan kearifan filsafat Jawa di Indonesia yang jika ditelususri memang memiliki kesamaan jejak sejarah[3]. Semoga penulis dan kita semua dapat mengambil pelajaran dan manfaat di dalam mempelajarinya. [1] Rabindranath Tagore (bahasa Bengali: Rabindranath Thakur; lahir di Jorasanko, Kolkata, India, 7 Mei 1861, meninggal 7 Agustus 1941 pada umur 80 tahun) juga dikenal dengan nama Gurudev, adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali, yaitu Brahmana yang tinggal di wilayah Bengali, daerah di anakbenua India antara India dan Bangladesh. Tagore merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra (1913). Id-wikipedia.org [2] Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. “Asas-asas Falsafah India”, Universitas Paramadina: 2004 [3] http://www.anneahira.com/filsafat-india.htm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun