Mohon tunggu...
Fawaidurrahman Faid
Fawaidurrahman Faid Mohon Tunggu... -

nevernervous..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Meretas Identitas Politik Islam

19 Maret 2011   19:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

Agama merupakan sendi kehidupan bagi umat manusia yang meyakini adanya Tuhan. Apapun bentuk Tuhan yang diyakininya, Ia tetaplah Tuhan yang diagungkan. Oleh kerana itu, beragama adalah hak azasi manusia yang paling azasi, yang siapapun tidak berhak melarangnya, bahkan negara sekalipun. Pada pengertian selanjutnya, dalam agama ada dua sisi yang saling bertentangan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan. Pertama, agama sebagai ajaran yang mengajarkan agar setiap manusia berbuat baik. Kedua, agama yang telah menjelma sebagai organisasi sosial.[1] Sebagai organisasi sosial, agama kemudian akan berhadapan dan saling bertentangan dengan agama lain, yang lebih tepatnya persaingan antar organisasi agama. Namun, disisi lain agama diposisikan sebagai perekat menghadapi perubahan sosial dan juga chaos.[2] Sehingga agar tidak terjadi konflik, dalam menjalankan agama harus ada kebebasan yang mengikat.

Sementara, lebih spesifik, Islam merupakan agama yang mengusung jargon “rahmatan lil-‘alamin”.[3] Jargon berat tersebut selalu dicoba direpresentasikan dalam praktek kehidupan oleh masing umat muslim dengan pola yang beragam. Rasionalisasi-pun sangat dibutuhkan saat Islam mencapai tahap menyebaran. Sebab, dengan jargon tersebut Islam dituntut untuk masuk ke pelbagai aspek. Hal tersebut dilakukan agar kehadiran Islam lebih bisa diterima oleh semua kalangan dan dapat dipertanggung jawabkan secara rasional.

Pada ranah praktis, seringkali manusia, umat muslim khususnya, tidak dapat menangkap pesan dari jargon rahmatan lil-‘alamin tersebut, ketika nilai-nilai dalam Islam yang bersumber dari wahyu mencoba dimanifestasikan dalam praktek kehidupan (habitual actions) yang berakibat pada pemaksaan tafsir dari masing-masing kepala. Ironisnya, tafsir tersebut seringkali diklaim sebagai kebenaran utuh dan tunggal, dengan menafikan tafsir-tafsir lain. Padahal tidak ada kebenaran yang utuh dan tunggal. Kebenaran selalu berjalin-kelindan antara satu dengan yag lain, bagai benang yang mencoba dirajut menjadi kain.

Fenomena yang paling menarik untuk selalu diamati adalah ketika Islam dibenturkan dengan aspek politik. Pelbagai terori pun bermunculan dari masing-masing pakar. Diantara teori tersebut adalah Domestikasi Islam, Skismatik Aliran, trikotomi Islam, kultural islam, dan dekonfessionalisasi islam. Dari kelima pendekatan teoritis tersebut hanya satu yang jelas mengasumsikan adanya keterpisahan antara islam dan politik.[4]

Sementara, sejarah membuktikan kiprah umat islam sangatlah signifikan dalam mengawal kemerdekaan bangsa dengan gerakan jihad melawan kolonial belanda yang kemudian dilanjutkan melawan jepang. Fenomena politik tersebut kemudian berlanjut kepada proses pembentukan identitas bangsa. Gerakan tersebut, bagi penulis, tiada lain karena nilai-nilai yang ada dalam Islam yang ditransformasikan ke dalam spirit nasionalisme sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari Iman.

Namun demiikian, dalam perkembangannya, pasca orba atau pada era reformasi hingga kini, identitas pilitik islam semakin tidak jelas orientasi. Yang timbul justru politik “atas nama Islam” mewarnai hiruk-pikuk percaturan politik nasional yang memang juga semraut. Problem inilah yang ingin penulis kaji dalam tulisan ini dengan mencoba menawarkan pendekatan teoritis yang masih bersifat imajinatif disebabkan, menurut penulis, kesadaran indivual umat islam di Indonesia khususnya masih sangat perlu untuk diaktualisasikan.

Hubungan Agama dan Negara di Indonesia

Sejak kemerdekaan Indonesia diploklamirkan Indonesia merupakan negara berdsarakan pancasila dan UUD 1945, bukan pada agama. Namun, tidak berarti bahwa orang-orang Indonesia tidak beragama, melainkan bebas memilih agamanya, dan negara bertugas untuk melindungi dan menghargainya.[5] Pada posisi inilah, harus ada pembeda yang dapat dijadikan pegangan sehingga peran negara tidak terlalu jauh memasuki urusan individu, serta tidak pula memasuki ranah masyarakat. Karena jika negara telah memasuki urusan individu, maka hakikat beragama sebagai wujud keyakinan hati nurani dan kepercayaan individu akan hilang. Sedangkan di sisi lain negara bisa menjadi alat mayoritas yang menindas minoritas.

Ketika reformasi lahir dengan nilai-nilai demokratis yang dibawanya, keterbukaan dan kebebasan yang melekat pada nilai itu sering kali disalah artikan oleh sebagian orang, bahkan disalah gunakan. Inilah yang kemudian di sebut sebagai reformasi yang kebablasan. Misalnya, keterbukaan menyatakan pendapat didistorsi menjadi kebebasan memfitnah dan menyerang orang lain. Atau kebebasan mengeluarkan aspirasi dan ekpresi berubah menjadi perilaku anarkis dan berbuat sewenang-wenang. Maka, akibat dari kebebasan yang kebablasan dan mengatasnamakan reformasi tersebut adalah ancaman bagi yang lain. Dan yang terancam merasa bebas untuk membalas. Sehingga dalam posisiseperti ini akan terjadi konflik yang berkepanjangan.[6]

Ironisnya, agama (baca: organiasai agama) turut serta dalam menciptakan arus konflik dan mengembangkan anarkisme yang bermuara pada politik. Bagi sebagian orang atau kelompok yang turut menciptakan arus politik agama ini disebabkan oleh pemahaman yang sempit, atau mempunyai kepentingan terselubung yang menjadikan agama sebagai alat legitimasi untuk menyerang kelompok lain yang tidak sealiran atau seagama. Masuknya agama (yang dipahami secara sempit atau salah) kedalam wilayah konflik ini memiliki kerawanan amat tinggi.

Dengan demikian, konflik bernuansa agama yang merupakan buah dari kepentingan politik akan terus berkobar dan membesar. Artinya, agama menjadi pemicu paling mudah dan efektif sebagai alat pemersatu untuk mengarahkan massa melalui kekerasan yang dibungkus dengan lebel agama.[7] Dan untuk mengurai konflik agama yang bermuatan politik, atau konflik agama yang dimanfaatkan politik ini tidak terlepas dari kebebasan beragama yang saling berbenturan kepentingan. Untuk itu, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan kebebasan beragama itu sendiri.

Mengingat kompleksitas aspek politis dan historis bangsa Indonesia sejauh menyangkut kehidupan umat beragama, politik serta reaksi sosial yang bisa muncul kapan saja, maka jelas masih sangat sulit mencari format yang tepat dan bisa diterima secara ijma’ bagi banyak pihak dalam reposisi hubungan agama dan negara. Dan agaknya akan sangat sulit jika reposisi yang di maksudkan untuk memisahkan peran pemerintah dalam mengatur kehidupan warga negara, termasuk dalam kehidupan beragama, khususnya dalam aspek administrasi keagamaan, bukan pada aspek teologis masing-masing agama. Hal yang akan lebih sulit lagi jika reposisi itu dimaksudkan untuk memisahkan agama dengan negara. Dengan kata lain mengubah Indonesia menjadi negara sekuler.[8]

Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dinilai oleh Abdurrahman Wahid bahwa, pancasila yang dijadikan ideologi karena dalam fungsinya sebagai faktor pemersatu bangsa, sehingga harus mampu menjadi perisai dari serangan perpecahan bangsa. Dan hal itu merupakan sintesa dari berbagai pemikiran yang beragam, kerenanya Pancasila dinilai ideologi nasional yang kuat. Alasan itu didasarkan pada Pancasila yang merupakan hasil pencarian titik temu dari berbagai ideoligi universal yang sebenarnya, pada sisi-sisi tertentu, satu sama lain saling konfliktual.[9] Dari masalah penerimaannya saja bisa dijadikan acuan bahwa Abdurrahman Wahid lebih mementingkan kehidupan masyarakat yang plural, ketimbang memperjuangkan negara Islam di Indonesia.

Secara lebih jauh, dalam “Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara”, Abdurrahman Wahid memandang bahwa Pancasila adalah asas dari Nahdlatul Ulama, sedangkan Islam adalah aqidahnya.Negara tidak harus berbentuk negara Islam, asal tidak bertentangan dengan agama Islam.[10] Dari pendapat inilah yang kemudian dikembangkan oleh Gus Dur dalam memandang agama secara historis, relasi kuasa antara agama dan negara memperlihatkan semacam hubungan simbolik dalam pemberian legitimasi. Proses pemberian legitimasi bisa dari agama atas negara, bisa pula dari negara atas agama.

Pola hubungan agama dengan negara ada satu model dimana ada agama dan negara atau agama yang diakui negara dengan legitimasi, sementara itu tetap mengakui pluralitas agama. Sehingga menurut Gus Dur, negara jangan terlalu ngurusi agama; berikan saja legitimitas (para Pemeluk) agama akan jalan sendiri, dan negara diberi legitimitas, silahkan jalan sendiri.[11] Karena pada prinsipnya dasarnya, agama dalam pembangunan suatu masyarakat yang hubungannya antara agama dan politik (negara) itu sendiri masih menjadi sebuah diskursus yang belum tuntas akan ditentukan oleh pola hubungan antara agama dan politik. Namun secara jelas bahwa dengan asumsi tersebut Abdurrahman Wahid menolak baik fungsi suplementer agama dalam negara maupun fungsi alternatif agama sebagai ideologi tunggal negara. Sebab, menjadikan agama Islam, atau agama apa pun, sebagai ideologi negara Indeonesia hanya akan memicu disintegrasi yang berbasis sekteranianisme.[12]

Melihat agama sangat berbengaruh dalam percaturan politik di Indonesia, ada kemungkinan-kemungkinan yang akan menyatukan atau setidaknya ada timbal balik antara agama dengan negara. Agama dan negara sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, atau memisahkan agama dengan negara.[13] Hal inilah yang kemudian penting untuk dikaji. Karena semuanya akan mempengaruhi terhadap hukum dan kebijakan politik sebuah Negara.

Corak Gerakan Politik Islam di Indonesia

Hubungan antara islam dan politik di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Namun, perkembangan tersebut tidak disertai dengan perkembangan teoritis. Upaya teoritis baru berkembang beberapa dekade belakangan ini. Upaya teoritis di Indonesia lebih didasarkan kepada kisah-kisah politikislam secara formal. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba mendasarkan pada salah satu pendekatan teoritis yang dikembangkan oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan 1960.[14]

Konsep yang ditawarkan dalam dekonfessionaliasasi ini lebih kepada pola memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan dengan pertimbangan asaz kemanusiaan dan kemashlahatan bersama. Jika dikaji lebih jauh konsep ini menawarkan penjelasan konstruktif mengenai politik antagonis antara islam dan Negara. Hal tersebut tampak dalam penerimaan tokoh muslim dahulu terhadap pancasila yang memang bukan atas dasar islam an-sich. Realitas tersebut bukan berarti isyarat dari kekalahan politik islam. Melainkan proses awal dari gerakan politik islam yang lebih menyentuh pada nilai-nilai substansi islam.

Dalam pancasila terkandung perspektif religiusitas nilai islam seperti keesaan Tuhan, keadilan, kemausiaan, dsb. Dengan demikian, adanya pancasila, yang sepertinya plural, diharapkakn berfungsi sebagai kontrol politik sosial untuk mengekspresikan kaitan dengan kepentingan kelompak islam terhadap kelompok lain. Pada tahap selanjutnya, politisasi islam mulai masuk pada konstitusi Negara dengan dibentuknya kementrian urusan agama untuk mengakomudir perlindungan atas kebebasan beragama. Akan tetapi pada prakteknya hanya mengakomudir urusan agama Islam.

Dengan sedikit eksplorasi di atas sebenarnya penulis, ingin mengungkapkan bahwa politik islam Indonesia mencoba menampilkan diri dalam bentuk yang obyektif dan tidak skriptualistik dengan memcoba menerima semua yang ada dalam kultur Indonesia dengan tanpa meniadakan eksistensi kepentingan atas nama islam itu sendiri. Namun demikian, pola politik islam atau islam politis di era post-modern ini, sepertinya tengah berusaha untuk mengidentifikasi eksisitensinya dalam politik nasional sehingga tak dapat dihindari format politik pun harus ditranformasi dari legalistik-formalistik menuju substantif.

Timbulnya Manuver Politik “Atas Nama Islam”

Ditandai dengan berkahirnya orde baru, dari era reformasi hingga after post-reformation ini, banyak sekali tumbuh ideologi islam yang diusung oleh sebuah institusi ataupun partai politik. Pelbagai macam institusi sosial politik islam menggunakan ideologi islam untuk mengambil simpati masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas beragama Islam. Dari yang mengatasnamakan penegakan syari’at islam, sampai idealitas nilai-nilai islam.

Ironisnya, pelbagai institusi tersebut hanya berjuang untuk kepentingan kolompok masing-masing dan kurang mengindahkan kemashlahatan umat secara umum. Terbukti, ketika semisal salah satu partai politik yang ada “embel-embel islam” duduk diparlemen, yang ada hanyalah tingkat korupsi yang semakin marak. Sementara nilai-nilai yang ada dalam islam, untuklebih mendahulukan kepentingan umat secara umum dari pada kepentingan individu menjadi terabaikan.[15]

Hal tersebut berakibat pada terkikisnya kepercayaan masyarakat kepada institusi yang mengatasnamakan Islam. Bisa dilihat pada hasil pemilu legislatif 2009 kemarin, partai yang mengusung nama islam justru terpuruk dan lebih didominasi partai-partai nasionalis. Bagi penulis, fakta tersebut merupakan dilema bagi umat islam sejauhmana dapat dijadikan bahan refleksi untuk memperjelas orientasi politik islam yang lebih bisa diterima oleh semua orang.

Fenomena yang terjadi selama ini hanyalah menjadi noda bagi identitas umat islam dan islam itu sendiri. Sebab, umat islam yang diharapkan untuk selalu bersikap pluralis, humanis, dan menjadi orang yang selalu bersih, justru tercoreng dengan adanya kepentingan kekuasaan. Percaturan politik di Indonesia memperjelas fakta tersebut. Fakta mengatakan bahwa umat islam tidak bisa bersatu dan terbukti partai yang paling banyak mewarnai perpolitikan Indonesia tiada lain adalah partai islam.

Dengan demikian, proses penyadaran diri dari masing-masing individu sangat perlu untuk dilakukan. Selama ini umat islam sebenarnya sadar dengan apa yang terjadi akan teapi, tidak mampu menyadari dan membiarkan semuanya terjadi sampai berlarut-larut. Konsep kesadaran diri disini sangatlah penting dilakukan untuk mengembalikan citra umat islam yang sudah ternodai. Sebenarnya, problem seperti ini sudah terjadi sejak dahulu kala sampai-sampai Ibnu Qoyyim al-Jauzi mengatakan bahwa Islam adalah sesuatu dan muslim adalah sesuatu yang lain dan keindahan nilai-nilai islam seringkali terhijabi oleh perbuatan-perbuuatan muslim itu sendiri.[16]

Menghadirkan Politik Islam obyektif-substantif: Sebuah Solusi

Melihat fenomena politik islam yang “semraut,”Bahtiar effendi mengemukakan salah satu cara paling tepat untuk menghadirkan politik islam dewasa ini, yakni dengan penampilannyayang lebih obyektif dan substantif. Yakni dengan upaya melepaskan praktek politik yang hanya mengusung symbol atau segala macam formalitas islam yang justru mengabaikan substansi dari nilai-nilai ajaran islam. Dengan perubahan mekanisme berpolitik ini diharapkan dapat memulihkan kembali citra umat islam yang sudah tak karuan. Itulah jenis politik islam yang mungkin dapat mentransendenkan diri dari kepentingan-kepentingan formalistik, legalistik, dan ekslusif, dengan lebih berusaha mencapai kepentingan-kepentinagn yang substantif, integratif, dan inklusif.[17]

Disamping juga perlunya merevitalisasi factor relijiusitas islam sebagai maghnet pemersatu dalam percaturan politik islam. Menurut Qadhafi, tradisi dan praktek Islam harus digunakan untuk memperkuat ikatan sosial dan politik diantara muslim[18] dan tentunya kesadaran diri akan ditegakkannya nilai-nilai yang ada dalam islam disini tidak bisa dinafikan. Jika, semua itu tidak dilakukan, Islam tidak akan memiliki arti apa-apa bagi pemeluknya.

Pada era saat ini sudah saatnya umat islam menghindari penggunaan simbol-simbol agama sebagai perisai pencitraan dirinya agar ruang lingkupnya dalam mewarnai perpolitikan nasional dapat benar-benar diterima oleh masyarakat Indonesia. Tidak perlulah kiranya menggunakan jargon “penegakan Negara islam”. Sebab, kerapkali menjadi pertentangan ideologis-politis di antara umat islam di Indonesia, sehingga muncul pelbagai friksi yang mengancampersatuan dan kesatuan umat islam.[19]

Oleh sebab itu, persoalan ini perlu mendapatkan perhatian dan apresiasi dari seluruh umat islam di Indonesia, terutama para elit politik islam, agar keragaman dalam pemikiran dan ideologi di antara umat Islam dapat menjadi rahmat.[20] Demikian pula diharapkan citra islam kembali bersinar dan mendapat tempat di hati pemeluknya dan non-islam bila perlu yang tiada lain dengan jalan menyelamatkan apa yang perlu diselamatkan.

Tidak dapat dipungkiri, agama yang merupakan sebuah keyakinan dari setiap individu ini sedikit banyak akan mempengaruhi pikiran pemeluknya, dan ini akan dilanjutkan kedalam tindakannya sehari-hari. Atau dalam ungkapan lain, agama menjadi pedoman dalam menginterpretasikan tidakan-tindakan pemeluknya. Menurut Smith sebagaimana dikutip oleh Ali Machan Moesa, agama dapat dianalisis kedalam empat aspek, yaitu identitas kelompoknya, pengaturan kemasyarakatannya, organisasinya, dan sistem keyakinannya.[21]

Epilogue

Keberadaan politik islam yang turut mewarnai percaturan politik diindonesia sangat perlu untuk ditransformasi konsep dan format gerakan politiknya. Sebab, eksistensi politik Islam mempunyai arti penting bagi umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia sehingga perlu mendapat perhatian dan kontrol yang lebih dari umat Islam agar tidak terjebak dalam kepentingan politik-praktis yang dapat mencoreng citra Islam yang substantif.

Dalam hal ini solusi yang penulis tawarkan adalah upaya membersihkan citra Islam dengan menampilkan system politik yang tidak menjadikan symbol atau jargon keislaman, melainkan lebih kepada menampilkan politik Islam yang lebih obyektif dan substantif. Dengan konsep tersebut diharapkan dapat menyelamatkan Islam dari kaum muslim puritan yang mencoba bermain politik “atas nama Tuhan”.

Identitas umat islam harus diselamatkan dari noda-noda yang coreng oleh sebagian umat islam yang lain. Islam dan umat islam mesti menjadi sarana perwujudan rahmat dan kasih sayang Tuhan bagi semua manusia. Sebab rahmatan lil-‘alamin bukanlah sebatas jargon. Melainkan menjadi prinsip yang harus dipegangtegug dan dijalankan sebagai manifestasi dari diaspora nilai-nilai keislaman.

Akhirnya, apoligia prolibro suo, tak ada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, masih terbuka pintu pembacaan lain mengenai korelasi Islam dan politik. Dengan demikian, penulis hanya mengharap semoga makalah ini dapat memberikan sumbang-sih pemikiran dalam menghiasi khazanah keilmuan. Amin… Wallahu A’lam

[1] Imam Aziz,dkk, Agama Demokrasi dan Keadilan, cet,ke-1 (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.18.

[2] Zainudin Maliki, Agama Rakyat, Agama Penguasa; Konstruksi Tentang Realitas Agama dan Demokrasi, cet,ke-1, (Yogyakarta, Galang Press,2000), hlm.101.

[3] Terlepas dari pemahaman yang menyatakan bahwa Islam adalah ajaran hidup yang berisi etika, kemanusiaan, dan ilmu social atau ideology. Deskrispsi ini didasarkan pada pemahaman bahwa istilah agama sangat tidak pas ketika dilabelkan kepada Islam. Sebab, islam lebih mencakup segala aspek. Sementara agama lebih terpatok kepada ritual religious an-sich. Lebih lengkapnya, lacak Hasan Hanafi, dkk., Islam dan Humanisme, (Yogyakarta: Pustaka Pejajar, 2007 ) hlm. 1. Namun demikian, disini penulis lebih memilih penggunaan tentang Islam secara garis besar dan pemahaman mayoritas tapi tanpa menafikan pemahaman minoritas, yakni sebagai Agama.

[4] Ekslorasi lebih lengkap tantang teori pilitik islam dapat di lacak tulisan Bahtiar Efendi, “Disartikluasi Pemikiran Politik Islam?” dalam Olivier Roy, alih bahasa Harimurti & Qomaruddin, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: Serambi, 1992) hlm.IX

[5] Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, cet,ke-1, (Jakarta, PT BPK Gunung Mulia, 2004), hlm.283.

[6] Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, Cet.ke-1, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 22.

[7] Ibid, hlm.23.

[8] Azyumardi Azra, Reposisi Hububgan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan Antarumat,cet,ke-1, (Jakarta, Penerbit Buku Kompas,2002), hlm.35.

[9] M. Fajrul Falaakh, dkk, Membangun Budaya Kerakyaan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, cet,ke-1, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 101.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun