Mohon tunggu...
Gus Alice
Gus Alice Mohon Tunggu... -

Pecinta tafaqquh fiddin di Matholi'ul Anwar Simo Lamongan Surabya Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pemimpin Ideal: Impian Disiang Bolong?

8 Maret 2015   16:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh; Ali Shodikin

Berdasarkan hasil survey internasional yang dilakukan oleh James M. Kouzes dan Barry Z. Postner mengenai para CEO yang sukses, diterangkan bahwa pada umumnya mereka memiliki karakter sifat sebagai berikut: jujur, mampu memberi inspirasi, adil, suka mendukung, mampu bekerja sama, memiliki empati dan kepedulian, loyal dan mandiri. Energi inilah yang telah berhasil mengangkat mereka menjadi CEO-CEO kelas dunia. Institut Teknologi Carnegie telah menganalisa catatan tentang “kesuksesan” terhadap 10.000 orang, dan sampai pada kesimpulan bahwa 15% kesuksesan tercapai berkat latihan teknik. Kemampuan berpikir pada otak dan ketrampilan dalam bekerja dan 85% sukses karena faktor-faktor kepribadian.

Fortune Ram Charan dan Geoffrey mengemukakan bahwa sukses para CEO ternyata bukan terletak pada kemampuan mengolah faktor perencanaan (planning) ataupun keuangan (financial) melainkan karena adanya sifat-sifat integritas, bijaksana, tegar, mampu berkomunikasi dan memiliki perilaku yang bisa menumbuhkan kepercayaan. Sehingga tidak salah kalau dikatakan bahwa baginda kita Nabi Muhammad adalah pancaran dari sifat Allah. Citranya yang par exellence. Dalam al-Qur’an, dia disifati Allah dengan “... seorang Rasul dari kalanganmu yang amat concern dengan apa-apa yang menimpamu, protektif kepadamu, serta amat lembut dan sayang kepada orang-orang yang beriman. Ia yang sukses dan berhasil dalam mengubah wajah dunia, ternyata seorang yang ummi. Namun ia memiliki sifat amanah (accountable), fathonah (intelligent), Tabligh (fairness) danSidiq (transparency). Sikap atau karakter-karakter energi itulah yang diharapkan akan dihasilkan dari proses bekerjanya formulanya sebuah institusi.

Dalam surat Ali Imran ayat 159 misalnya menjelaskan mengenai karakter yang harus dimiliki oleh orang yang memimpin lembaga (baca;ummat). Yakni orang yang mengajak kepada jalan kebaikan. Pertama, hendaklah dia bersiap-siap untuk kecewa –dengan huruf tebal— melihat kinerja para pembantunya. Tetapi selain siap kecewa juga harus siap tidak marah. Dia harus bersikap lembah-lembut. Itu sangat sulit. Ketika orang kecewa, akan sulit bila dia harus bersikap lemah-lembut. Orang tidak bisa melakukannya kecuali dengan rahmat Allah Swt.

Para ahli tasawuf memahami ayat ini sebagai berikut: Ketika kita mencoba mendekati Allah Swt maka yang harus dilakukan adalah menyerap sifat-sifat Allah. Makin dekat dengan sang Khalik makin banyak sifat-sifat yang harus diserapnya. Ketika Allah Swt berfirman; Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka.” Maka Rasulullah Saw telah menyerap rahmat sehingga dia menjadi lemah-lembut.

Seorang pemimpin idealnya harus berupaya sekuat tenaga bisa mengkloning sifat-sifat Allah itu. Allah sangat pengasih termasuk kepada hamba-hamba yang berbuat maksiat. Tentang kasih-sayang Allah itu mengingatkan kita akan kisah yang sangat menarik. Yakni pada malam Qadar, para malaikat ingin tahu perkembangan umat manusia. Pertama ia melihat daftar kebaikan amal saleh manusia. Kemudian ketika ia sampai pada daftar kejahatan tiba-tiba file kejelekan yang dimaksud blank, sehingga para malaikat tidak bisa melihatnya. Malaikat kemudian mengatakan, “Mahasuci Allah yang menampakkan yang indah-indah dan menutupi yang jelek-jelek.” Jadi, salah satu bentuk kasih-sayang Allah adalah menyembunyikan kejelekan hamba-Nya, walaupun hamba itu berbuat jelek. Dia tutup kejelekan itu sampai kepada malaikat muqararbin sekalipun.

Kita dan Anda pun dalam kehidupan ini banyak berbuat maksiat. Tetapi karena kasih-sayang Allah, Allah tutupi kejelekan itu. Padahal Allah tidak senang dengan kemaksiatan itu. Allah marah dengan kejelekan itu. Tetapi walaupun demikian Allah tetap menutupi kejelekan itu supaya tidak banyak manusia mengetahui kejelekan kita. sehingga sebagian ahli sufi ketika berdoa seperti ini: “Betapa banyak kejelekan telah Engkau sembunyikan dariku, dan betapa pujian yang bagus Engkau sebarkan.

Memang menjadikan karakter lemah-lembut bukan persoalan gampang dan apalagi ia seorang pemimpin organisasi politikyang penuh dunia tipu-tipu muslihat.Sehingga kalau pinjam bahasa al-Qur’an. Harusnya pemimpin tak terkecuali pemimpin dunia pendidikan dan atau yayasan harusnya tidak fadhon dan tidak gholidal qalbi.

Kata penulis Tafsir Fahrurrazi, kalau kita belum paham perbedaan antara Fadlon dan ghalidhal qalbi, perhatikan contoh ini. Mungkin ada orang yang karakternya tidak jelek. Tidak pernah mengganggu orang lain, lidahnya tidak pernah menyakiti orang atau anak buahnya tapi hatinya tidak pernah ada rasa empati dan kasihan pada orang lain. Orang ini tidak kasar,tetapi dalam hatinya tidak ada rasa kasih-sayang. Ia berarti tidak fadlon tapi ghalidhal qalbi. Kedua sifat itu tidak boleh menempel pada diri seorang pemimpin. Dia tidak boleh berperilaku yang mengganggu orang lain dan juga tidak boleh mempunyai hati yang keras.

Sehingga sebagian ahli tafsir, kata “maafkan mereka” kalau kesalahan mereka itu berkenaan dengan hak kita. Artinya, kalau mereka itu menyerang kita, seperti mengecewakan kita, menyakiti kita dan bahkan menghianati kita, maka mereka harus kita maafkan. Tetapi kalau dosa mereka itu dilakukan terhadap Allah maka mohonkan ampunan buat mereka.

Jadi, pemimpin itu hemat kita seyogyanya ‘wajib’ memiliki dua sifat ideal sekaligus. Pertama, memaafkan kesalahan bawahannya dan memohonkan ampunan terhadap Allah untuk dosa-dosa mereka terhadap Allah.

Sebagai kata pamungkas. Memang dinamika dalam memimpin suatu organisasi atau lembaga selalu ada problema. Oleh karena itu ada baiknya dikembangkan yang kami istilahkan monitoring communication. Ini penting sebab dengan mengembangkan komunikasi dan apalagi dua arah dipastikan riak-riak dalam berorganisasi akan bisa diminimalisir bahkan kalau perlu dizerokan. Ini semua bisa dilakukan kalau dibicarakan dari hati ke hati dan tentu juga dengan landasan hati yang jujur.

Demikian dan semoga pemimpin kita semua bisa menjadi idola ummat yang dipimpinnya dan bukan justru sebaliknya menjadi orang yang arogan dan lebih-lebih berjiwa necrofyl alias pemimpin yang berjiwa mayat. Semoga.

Pecinta tafaqquh fiddin di Matholi’ul Anwar Simo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun