Islam sebagai agama rahmatan lilalamin, tentu saja landasan hukum dasarnya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai sumber ilmu pengetahuan yang memuat nilai-nilai untuk mengkerangkai tata kehidupan ini. Sebagai agama rahmat bagi seluruh alam yang kebenarannya dianggab absolute, maka haruslah dikaji dari berbagai macam perspektif untuk menemukan ajaran Islam yang seutuhnya dan sesungguhnya ditengah agama-agama yang ada.
Pada konstek saat ini, acapkali Islam dianggap sebagai agama teroris, agama yang mengedepankan kekerasan (anarkis), agama yang stagnan (karena doktrin ditutupnya pintu ijtihad), agama primitif, semua itu secara mendasar melahirkan Islam yang terkotak-kotak. Ada Islam NU, Islam Muhammadiyah, ada Islam Mu’tazilah, ada Islam Syia’ah, dan seterusnya. Yang manakah menurut Tuhan yang paling benar. Semuanya terlahir dari sebuah konsepsi pemikiran manusia yang mempunyai keyakinan pribadi dengan menunjukkan dalil-dalil yang sesuai dengan tradisi (konstektual).
Diakui ataupun tidak, pada hakekatnya Islam secara legal formal terlahir di negara arab, dan yang membawa risalah tersebut adalah Muhammad yang dibabtis oleh Tuhan menjadi seorang nabi dan Rasul (Utusan) Tuhan dimuka bumi untuk menyampaikan ajaran tentang seluruh kehidupan, karena hal tersebut sudah tertera didalam Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun yang tersirat, walaupun banyak para tokoh muslim maupun non muslim yang berusaha untuk mendekonstruksi anggapan mayoritas kebenaran itu sendiri, baik melalui fakta-fakta aktual maupun secara teoritis-empiris.
Islam sebagai landasan teologis dalam bingkai membangun daya intelektualisme gerakan kader-kader HMI sejauh mana kebenaran tersebut mampu dicapai sebagai agama rahmatan lil alamin yang kebenarannya absolute?. Dalam lintasan sejarah perjalanannya Islam dalam lingkaran multi tafsir telah melahirkan suatu pemahaman yang bebeda-beda didalam tubuh ummat muslim, sehingga banyak anekdot-anekdot truth claim baik diinternal ummat beragama maupun sesama agama. Ada yang mengatakan semua agama secara substansi mempunyai kebenarannya masing-masing, namun hal itu kami kira bisa dibantah, karena pemahaman dari keber-agama-an dan keberagaman tersebut tidak bisa diukur secara teoritis ansich. Sebab secara teoritis-aplikatif semua agama tidak lepas dari perkembangan zaman yang didalamnya pasti akan menuai perubahan-perubahan, disanalah sebenarnya keikutsertaan manusia dalam merumuskan ajaran agamanya.
Islam sebagai agama samawi, yang mempunyai ajaran universal, menuntut sebuah interpretasi yang utuh, sebagai landasan dan pemeahaman yang menyeluruh terhadap pemahaman keagamaan ummat muslim, dan juga sebagai tiang yang mampu menjadi penyangga nilai-nilai kebenaran, yang tidak hanya dari Tuhan, tetapi juga kebenaran dari manusia yang mampu untuk dipertanggung jawabkan.
Islam sebagai agama yang mempunyai kebenaran mutlak yang datang dari Tuhan semesta alam, sebenarnya sudah mulai tercerabut oleh campur tangan dan pemikiran manusia yang berbeda-beda, sehingga melahirkan kelompok-kelompok yang cenderung arogan, merasa paling benar, dan menganggap kelompok lain salah, melahirkan kelompok anarkhis dengan mengatasnamakan jihad fi sabilillah, sampai dengan sangat ironis, kelompok Islam menghakimi kelompok Islam pula, bahkan kelompok Islam tersebut adalah aliran yang sangat sesat, suatu fenomena tentang keyakianan yang dibawa keranah social.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H