Pilihan legislatif menjadi pertaruhan kehidupanku untuk bisa menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Aku yang sejak kuliah mendapatkan julukan dari teman-teman sebagai aktivis kampus. Karena kebiasaanku untuk mengikuti organisasi ekstra kampus yang mampu mengempa nalar kritisku. Sehingga jadilah aku mahasiwa yang kritis dan idealis.Â
Aktivis mahasiswa dituntut untuk selalu peduli terhadap nasib teman-temannya di kampus. Aktivis harus selalu kritis terhadap kebijakan kampus yang kurang berpihak kepada mahasiswa. Setelah berpengalaman menjadi aktivis kampus. Kini saatnya setelah tiga belas tahun berlalu lulus kuliah. Aku kembali ke lingkungan asalku. Aku memberanikan diri untuk mencalonkan diri menjadi anggota dewan di tingkat kota/kabupaten pada pemilu serentak tanggal 17 April 2019.
Menjadi anggota dewan adalah jalan yang harus aku tempuh untuk bisa memperjuangkan nasib masyarakat kurang mampu didesaku. Aku ingin berjuang sekuat tenaga untuk bisa mengentaskan kemiskinan di desaku.Â
Kegiatan itu bisa melalui pelatihan kerja atau memberikan pendidikan non formal bagi anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena keterbatasan dana dari orang tua. Kegiatan ini bertujuan agar mereka bisa pandai dan memiliki ketrampilan. Hal itu adalah angan-anganku untuk bisa membangun desaku selama ini.
Tidak ada sedikitpun keinginan untuk  menikmati jabatan dan fasilitas menjadi anggota dewan. Namun jika nanti saatnya tiba aku berhasil terpilih menjadi anggota dewan. Aku berharap bisa menerima gaji sebagai anggota dewan.Â
Gaji ini halal dan memang hak yang harus aku diterima sebagai imbalan dari bekerja. Karena aku juga berkeluarga. Pasti keluargaku juga butuh kehidupan yang layak. Jika aku hanya mengandalkan gaji sebagai guru honorer terasa tidak cukup.
Pesta demokrasi telah dimulai, aku mulai berkampanye di media sosial. Status media sosialku mulai berisi penuh dengan pencalonanku menjadi anggota dewan. Aku mulai mencari tim sukses dari satu warung kopi  ke warung kopi yang lainnya. Aku mencari orang-orang yang benar-benar loyal dan setia terhadap setiap langkah gerak ku. Mereka yang telah aku rekrut menjadi tim sukses menjadi pendukungku baik itu di media sosial ataupun di kehidupan nyata.
Politik adalah jalan untuk menggapai kekuasaan. Terkadang demi mendapatkan kedudukan menjadi anggota dewan, calon legislatif bersedia untuk menggelontorkan uang yang tidak sedikit kepada pemilih dengan imbalan suara-suaranya di tempat pemungutan suara (tps). Saat musim kampanye uang menjadi mahar politik sebelum pencoblosan. Sehingga hal ini bisa mempermudah meloloskan caleg  yang bermodalkan duit untuk duduk di kursi empuk anggota dewan. Mungkin banyak caleg berfikir dengan kekuasaan yang sudah digenggaman jika terpilih. Suatu saat nanti pasti akan mudah mengembalikan uang yang telah digunakan saat kampanye.
Mungkin saja itu strategi yang dilakukan oleh lawan politikku. Namun realitanya aku saja tidak memiliki banyak uang. Aku tidak mampu memikul beban hutang untuk membeli suara pemilih. Bagaimana nasib keluarga kecilku nanti jika aku terlanjur berhutang begitu banyak kepada bank untuk biaya menjadi anggota dewan.Â
Tetapi Allah belum menakdirkan jabatan itu kepadaku. Betapa terpukulnya diriku, saat hutang sudah melilitku. Jabatan sebagai anggota dewan ternyata gagal teraih. Bisa-bisa aku depresi dan tidak bisa tidur semalaman suntuk karena memikirkan kerugian materi kampanye.Â
Cita-cita menjadi anggota dewan masih membumbung begitu tinggi. Meskipun dengan dana kampanye yang terbatas. Aku tetap mempublikasikan pencalonanku di lingkungan tempat tinggalku. Aku memulai memasang banner dan bendera partaiku.Â