"Sebab hati bisa menampung lebih banyak untuk tak sekedar mengingat nama" (MK)
Daerah tujuan “ngegalau” saya kali yakni kota Jogjakarta. Kenapa Jogja? Karena kebetulan waktu itu lagi promo tiket murah dengan tujuan Jogjakarta. Independent traveler pemula seperti saya tidak salah memilih Jogja sebagai tempat pertama yang harus dikunjungi sebelum menjelajahi tempat-tempat menarik lainnya. Makanan murah, mau keliling kota hanya cukup mengeluarkan uang tiga ribu rupiah saja. Semuanya betul-betul murah.
Jangan pernah berharap lebih ketika anda menaiki pesawat murah meriah karena harga sangat menentukan mutu pelayanan. Ibaratnya naik pete-pete (angkot) yang dipasangi sayap, seperti itulah sensasi yang saya rasakan ketika naik pesawat yang selalu punya kebiasaan buruk, ingkar janji (baca: delay). Biar murah asal dapat makanan meskipun rasanya tawar. Kalau sudah lapar perut bisa saja diajak kompromi. Minumnya pun bisa milih: teh, air putih atau kopi. Saya lebih memilih air putih. Air putihnya pun dibagi-bagi layaknya pembagian air zam-zam dari jamaah yang baru pulang naik haji.
Pertama kali menginjakkan kaki di Jogja serasa seperti menginjakkan kaki di kampung halaman sendiri. Saya kaget jam 9 malam waktu setempat jalanan sangat lengang layaknya jam 4 subuh. Di Makassar jam segitu jalanan masih saja macet sampai ke lorong-lorong dan gang sempit. Adapun yang keluyuran lewat jam 9 malam di Jogja pastilah mereka yang punya kendaraan pribadi ataupun pinjaman. Soalnya angkutan umum seperti Trans Jogja hanya beroperasi sampai jam 9 malam.. Hmmm…No wonder…
Salah satu hal yang paling saya sukai dari kota ini yakni jalanannya, bebas macet. Tidak seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia. Walaupun kota ini salah satu kota terbesar di Indonesia, namun hiruk pikuknya kota tidak nampak sama sekali..Rapi dan teratur. Terkesan santai namun serius. Saya pun menarik kesimpulan pribadi kalau para penduduk lokal mungkin malas keluar rumah sehingga jumlah kendaraan nggak terlalu banyak memenuhi jalanan. Kota yang bisa dibilang simple tapi berkelas, tidak glamor dan hedonis. Namun yang paling menjengkelkan adalah lampu merah, ada bahkan waiting time-nya lebih dari 1 menit. huffft.. It’s too long...
Banyak pilihan wisata bagi traveler, entah mau wisata kuliner, wisata pantai, wisata budaya, wisata buku atau wisata alam.. Semuanya komplit tinggal disesuaikan dengan budget. Karena modal saya terbatas dan ditambah lagi saya ditemani oleh travel guide (host) manja maka ada beberapa tempat yang belum saya kunjungi walaupun sebenarnya jaraknya sangat dekat dari penginapan tempat saya menginap..
Benteng Vrederburg
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Benteng Vrederburg, tidak jauh dari Malioboro. Museumnya dilengkapi dengan komputer touch screen layar lebar yang disediakan bagi para pengunjung yang menyediakan informasi sejarah seperti sejarah gerakan pemuda Indonesia, Kongres pemuda dan perempuan Indonesia dan lain sebagainya. Lokasi museum ini sangat berdekatan dengan Taman Pintar. Setelah puas berkeliling di benteng Vrederburg, tidak ada salahnya mampir sebentar di Taman Pintar. Wahana bermain sekaligus belajar bagi anak-anak. Ada juga lapak bukunya loh..Kebanyakan buku yang dijual disini adalah buku bekas. Kalau mau nyari buku kuliahan atau buku komputer juga banyak di sini.
Parangtritis
Momen yang paling indah ketika berada di pantai yakni menyaksikan mentari yang perlahan melewati batas garis permukaan laut seolah olah tenggelam masuk kedalamnya. Pasir pantainya keren. Pasir yang terbawa arus pantai layaknya cermin yang bisa memantulkan warna langit dan matahari. Sungguh cantik sekali.. Tapi sayang mataharinya jatuh menyamping, tidak tepat berada di tengah. Tidak seperti senja di pantai Losari yang jatuh tepat di tengah-tengah.