Pic: Pribadi
*
Aku tidak menulis surat ini untuk kumasukan kedalam amplop berbunga lalu kukirimkan ke alamat rumahmu yang jauh dipulau sebrang sebagai surat cinta. Tidak pula kutulis ini dalam suasana yang mendayu layaknya menulis puisi seraya diiringi senandung sinatra yang mengiris. Kau tahu kenapa? ya! Sebab kita memang terlalu tua untuk melakukan hal sepicisan itu. Kedewasaan memang telah membuat segalanya menjadi rumit. Mungkin karna terlalu banyak pertimbangan. Atau mungkin segenap tetek bengek perhitungan. Sejujurnya aku benci mengatakan semua ini. Kenapa kita tidak jadi kanak-kanak saja lalu katakan saja apa kata hati. Setidaknya air mata tak perlu sampai mengering dipelipis.
Dikau, entah kau tahu, sejak engkau memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. aku sungguh tidak lagi mencari-cari tahu segala tentangmu. Semua kontak untuk menghubungimu kuhapus, semua hal yang ada kaitannya denganmu pun kubuang. Awalnya kupikir ini adalah keputusan yang tepat. Mungkin dengan melakukan itu semua bisa membuatku untuk tidak lagi mengingat dan memikirkanmu. Karna hidup memang harus terus berjalan. Setidaknya sampai suatu waktu yang entah hingga aku menemukan seseorang yang mau kuajak hidup dari hidupku. Tapi apa kau tahu jika semua ini tidak semudah itu?
Apa kau tahu jika ada rongga kosong didalam dagingku yang tidak mau menerima isi apapun? Rasanya sungguh tak enak. Seperti tabung pengap, dan disegenap penjurunya terpajang wajahmu. Seperti mendengarkan musik tapi tak terdengar apapun, seperti dikurung cahaya tapi mataku hanya melihat pekat. Malu kubilang sakit, tapi kenyataannya memang agak sakit. Kehampaan dan kesunyian ini setiap detik mengerat hatiku. Dan kuharap kau tidak mendengar pikiran kekanak-kanakan ku saat itu tika aku berharap "jika saja bisa kuputar waktu kembali, aku sungguh tidak ingin kau pergi"
Dikau, kuharap disana sekarang kau senang. Berlimpah bintang dilangit halaman rumahmu dikala malam. Aku tak menghitung itu lagi. kopi pahit yang keteguk saban pagi sudah cukup membuatku melihat pelangi. Dan untuk kesetiap paginya kubayangkan kau yang menyuguhiku. Sedosa itulah aku kini. Dan halusinasiku meningkat manakala kubayangkan yang lebih lagi saat kau duduk disampingku sambil bercerita jumlah bintang yang berhasil kau hitung semalaman. Sial! Haruskah aku bercerita tentangmu seburuk ini?
Baiklah, aku muak! Aku benci! Aku jijik untuk terus berpura-pura dewasa bahwa aku memahami kenapa kau pergi. Aku sungguh tidak mengerti, kenapa hanya karena perbedaan agama kau meninggalkankanku? Kenapa hanya berbeda suku kau pergi dariku? Kenapa hanya kau lebih tua lalu seenaknya saja kau berhenti mencintaiku. Kenapa dengan semua itu? Kenapa....? Kenapa...? Aku sungguh benci kau seolah-olah bersikap dewasa. Kau tahu aku benci kau? Aku memang membenci kau gadisku. Seandainya saja tak ada semua itu. Seandainya pula berbicara padamu semudah menyimpan sepatu diatas rak. Seandainya kau begitu...
Dikau, ini adalah usahaku yang keseratus kalinya menulis sedikit kisah tentangmu, tentu saja dengan segenap kekanak-kanakanku, dan segenap pula kerinduanku padamu. Mungkin aku memang belum mengerti banyak hal sepertimu, dan jika boleh memilih aku berharap sama sekali tak ingin mengerti banyak hal. Sebab berpura-pura dewasa dan mengerti bagiku itu artinya aku harus rela kehilanganmu. Aku tak ingin semua itu karna aku sangat mencintaimu.
Dikau, jika memang kelak ada kelahiran kembali. Lahirlah dikampungku, dan kita jadi kanak saja. Agar bisa kita bisa saling mencintai hingga akhir usia. Dinda...
*