Kesalahan adalah kejadian yang tak diharapkan namun sering terjadi disaat kita yakin telah mengarjakan pekerjaan dengan baik dan benar. Burung yang terjatuh dari pohon jua tak ingin terjadi kesalahan, seperti terjatuh dari atas dahan.
Kesalahan terbesar dalam hidupku yakni kehilangan seorang yang aku cinta karena ulahku sendiri yang tidak . Betapa berharganya satu goresan pena. Satu tulisan yang tertuang melalui pena sederhana. Kata demi kata yang terangkai apik menjadi kalimat yang tertata menjadi bentuk rangkaian kalimat yang mampu memperjelas tanpa sedikit pun suara. Kata tak perlu berucap, emosi tak usah diluapkan, tulisan mampu menyampaikan.
Ini kisahku. Aku tidak begitu suka menulis. Memang itu adalah sumber kesalahan terbesar sehingga kehilangan orang yang aku kasihi. Ia yang sudah menemaniku sudah lebih dari sahabat. Jika dapat aku klaim, ia adalah orang yang sepenuhnya mengisi hati. Walau selama itu tak ada kata terucap menjalin hubungan kasih yang lebih dari sebuah ikatan persahabatan.
Menulis dan membaca adalah dua aktivitas yang tak bisa dipisahkan seperti aku dan gadis yang akan aku ceritakan. Dalam dunia menulis, kedua aktivitas tersebut sangat menentukan baik tidaknya sebuah karya. Sehingga bukan pemandangan yang jarang lagi jika di kantor kegiatan mahasiswa bertumpuk-tumpuk buku bacaan dengan artikel yang berserakan di ruang dan meja-meja di sudut ruangan. Itu demi menunjang kualitas tulisan yang lebih baik.
Panggil saja namanya Dewi, dia orang yang paling banyak menghabiskan waktunya dengankku di kampus. Awalnya aku tak mengenalnya di awal bangku perkuliahan kami, namun karena perhatiannya yang begitu tulus pada teman membuatku tertarik untuk bersahabat dengannya. Dia manis, cantik dan sedikit tomboi. Dia sangat disibukkan dengan dunianya menulis. Proyek terbesarnya ialah ingin menulis buku. Entah buku apa, berjudul apa aku pun tak tahu. Tetapi ia sangat aktif di dunia menulis, sering hadir di even-even menulis dan sering mengikuti lomba menulis.
Seperti biasa aku masuk ke rumahnya dengan mengetuk pintu dan seperti biasa pula dia menulis di bangku kamarnya. Aku ganggu dia agar mau datang di acara komik. Awalnya dia tidak mau tapi karena kupaksa akhirnya dia mau. Dia bercerita, bahwa ia tengah mengumpulkan tulisan demi buku yang ingin diterbitkan.
“Aku pernah berkhayal ingin memiliki buku sendiri ketika aku kelas tiga sekolah dasar,” celetuknya padaku.
“Oh ya?” sahutku datar
“Iya, kegemaranku menulis telah lama.” Sahutnya.
“Iya aku tahu,”
“Semenjak SMP aku sudah mengurus ekstra majalah sekolah.”
“Aku tahu.”