Mohon tunggu...
Eliya Alqila
Eliya Alqila Mohon Tunggu... -

sesuatu hal yang sulit ditebak, penuh dengan teka-teki seperti DA VINCI CODE selalu menarik perhatianku. jadi kapan hal ini akan datang???. "menunggu."\r\n\r\ndan jika ingin tahu tentangku lihat eliyahidayaturrohimah. blogspot. com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita tentang Awan

6 Oktober 2012   06:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:11 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kulihat sebuah titik kecil di angkasa, titik kecil itu saling berikatan membentuk gumpalan yang berikatan dengan yang lain, mengeras dan membeku menjadi sebuah kapas yang bisa terbang di langit – langit nan luas dan terbentang sejauh mata memandang, putih, bersih dan sepertinya lembut, ingin aku terbang seperti mereka, kelihatannya ringan dan tak ada beban. Segalanya semua tentang dirinya mengigatkanku dengan dirimu, kau awan, kau lembut dan selalu kurindu dan namamu awan layaknya mereka. Masih aku memandang mereka dengan keadaan putus asa, harusnya aku bahagia, karena kau selalu bilang bermimipilah dan terbanglah tinggi layaknya sang awan meski itu semua impian yang hanya hayalan, aku senang dengan caramu, suaramu yang lembut, semangatmu tentang sebuah harapan  dan yang paling aku suka dari dirimu adalah semua hal tentang dirimu. Saat ku jatuh dan terluka kau selalu ada dan menangkap air mataku hingga mengkristal dan beku dan terganti dengan sendau guraumu, mendengar suaramu selalu membuatku terjaga dari rasa takut yang menghantuiku dalam menatap massa sang waktu.  Detik jam mengalun dengan kencang, masih ku dengar tawamu yang menawan tatkala kau berjanji akan mengucapkan janji itu disini, dan masih ku dengar rington suara hpmu berdering saat kau akan menghampiriku di seberang jalan itu, sungguh hari itu hari yang kurasa waktu itu sangatlah indah, masih ku cium bau sang embun yang leleh karena mentari, sepucuk suratmu datang dengan baumu seminggu sebelumnya dan aku sangat bahagia tatkala kau ingin bertemu denganku dan caramu beda membuatku gemas dan penasaran, saat ku telfon kau selalu bilang “Rahasia”, tapi ku akui aku senang dengan gaya misteriusmu sejak pertama kali bertemu denganku, masih dapat ku rasa getaran dag dig dug saat aku dekat denganmu seperti saat pertama kita bertemu. Mentari bersinar dengan elok di pagi ini, udara masih segar dan bunga – bunga harum semerbak berkuntum merah delima saat ku sentuh kelopaknya nan merah. Meski di pagi ini, aku tak tahu apa arti warna merah sebenarnya dalam otakku, yang kutahu bunga itu menemaniku dalam sepiku menatap hariku yang sunguh kurasa tak berharga dengan kata lain bunga – bunga itu temanku, masih aku menyirami mereka di pagi ini, dan ku dengar suara langkah kaki saat berlari cepat saat kau di kejar anjing, sungguh konyol sikapmu waktu itu, peluhmu membanjiri bajumu dan nafasmu tersengal- sengal kalut, tapi masih sempat kau menyapaku dengan lambaian tanganmu, senyumanmu yang tipis tapi menawan dan ucapan hai yang terucap di bibirmu. Aku kalut sekali jika kau tertangkap oleh binatang ganas itu, tapi kau sungguh bodoh kenapa kau tersenyum saat itu, kau unik, aneh atau kau gila. Satu orang di dunia yang pernah ku kenal beda yaitu kau, hanya kau. Sering ku lihat kau mondar – mandir tak jelas di depan rumahku, meski saat itu aku tahu kau baru pulang kuliah, masih menyapaku dengan senyuman khasmu saat aku memandangmu dari atas balkon kamarku atau jendela kamarku, tapi bagaimana kau tahu. Ku hitung hari ini sudah lewat seminggu tapi kau belum juga terlihat, aku kawatir jika kau sakit entah perasaan apa yang kurasa tapi aku sangat kawatir dan terlalu kalut dan takut jika hilang dan menjauh dariku. Aku pun keluar dengan perasaan takut dan kalut ku lihat sisi jalan yang biasa kau lewati?, tapi tak kunjung ada dirimu, akupun jengah untuk menunggu dan berbalik tapi suaramu mengalun “Pagi…,”.  Sejenak tak bisa ku ucap kata untuk membalas ucapmu hanya hatiku dan senyumku yang menyapa “Pagi.” .

“Boleh aku masuk.” Katanya lembut.

“Emm….” Kataku masih berpikir.

“Siapa seine?.” Kata ibuku lembut dan membuka pintu.

“O…nak awan, mari masuk.” Kata ibuku lagi.

“Ini tante saya mau mengantar kue dari mama saya.”

“O..ya makasih mari masuk.” Kata ibuku.

“Mama kenal.” Setengah aku berbisik pada ibuku.

“Itu anaknya bu rengga yang baru pindahan dua minggu yang lalu, kamu waktu itu kebetulan masih kuliah jadi gak sempet kenalan, tapi mama kenal soalnya sering ketemu saat nganter mamanya arisan, anaknya baik. Kata ibuku.

“Mari nak masuk.” Kata ibuku tak berkurang ramahnya.

“Iya tante.” Katanya dengan senyumannya.

“Biar ku kunci saja  seine.”  Dan dia mengambil gembok gerbang yang ada di tanganku.

“Aneh banget nih orang.” Pikirku dalam hati.

Dia berjalan beriringan denganku, saat kulirik dia, dia melihatku entah apa yang dipikirkan dirinya tentangku. Kupalingkan mukaku.

“Mari nak duduk, seine tolong temani nak awan sebentarnya mama mau buatin minuman.” Kata ibuku ramah.

“Tapi ma.” Kataku.

“Udah bentar aja.” Kata ibuku.

Akupun duduk, dan ia memandangku. “Ada apa ya….?.” kataku jengah karena dia.

“Gak Cuma bingung aja, soalnya kamu cantik tapi kok gak pernah senyum.” Katanya.

“Emmm.” Jawabku.

“Kok cuma emmm, gak nanya yang lain, kenapa?, apa?. Kalau kamu jawab gitu udah habis topiknya, kamu gak tanya kenapa aku di kejar anjing waktu itu?.” Katanya.

“Kenapa?.” Jawabku polos yang tak tahu harus berkata apa.

“Waktu itu aku di kejar anjing pingin aja.”

“Aneh atau gila ni orang.” Tanyaku dalam hati.

“Aku suka tantangan, dan aku suka menantang makannya aku ingin tahu rasanya di kejar anjing.” Katanya meneruskan ucapannya.

“Kalau kamu gimana.” Katanya memandangku yang kebingungan.

“Aku…gak tahu.” Kataku setengah bingung dengan pertanyaannya.

“Kamu kayaknya perlu deh mengenal aku.” katanya Yang semakin membuatku bingung.

“Aku….” Kataku kebingungan.

“Tante….maaf, apa boleh saya ajak jalan – jalan seine.” Katanya menghampiri ibuku.

“O…boleh – boleh saja, ajak aja gak pa – pa biar ceria lagi anaknya, gak murung aja di rumah.” Kata ibuku ramah.

“Makasih tante.” Balasnya dengan senyuman ramahnya.

“Tapi ma.” Kataku kalut.

“Udah gak papa anaknya baik kok, ganti baju sana.”

Sejengkal waktupun berlalu dan aku sekarang bersama denganya, naik di motornya dan menikmati udara di pagi ini, segar ku hirup dan tenang rasanya entah kenapa ingin aku tersenyum lebar pada dunia saat ini. “Kita sudah sampai.” Katanya lembut.

“Kita dimana?, bukannya ini hanya jalan raya yang sempit.” Kataku heran.

“Ayo kita turun kesana.” Katanya lembut.

“Emm.” Kataku yang ragu.

“Ayo gak usah takut, percaya padaku.” Katanya meyakinkanku.

Akupun menurut dan entah mengapa aku percaya padanya, padahal aku tak mudah percaya dengan seseorang yang baru ku kenal, tapi entah energy apa yang ada dalam dirinya. Tak terasa dari jalan raya ini aku turun kebawah ternyata ada sungai yang riaknya kecil tapi tenang dan batu – batu cadasnya , dibalik batu – batu itu ternyata ajaib di situ ada hamparan rumput dan kupu – kupu yang hilir mudik dan beberapa pepohonan. “Baguskan.” Katanya lembut. “Iya bagaimana kau tahu tempat ini.” Kataku penasaran.

“Biasalah seperti kataku di awal aku suka degan tantangan dan aku mencarinya.” Katanya dengan kedipan satu mata seperti gaya sok cool. Aku hanya tersenyum memandang sikapnya yang konyol, “Kamu lucu.” Kataku spontan dan tertawa. “Apa aku gak salah dengar seine, kamu bilang aku monyet, makasih ya.” Katanya lembut.

“Iya kamu monyet yang lucu.” Kataku lagi menimpali.

“Apa kamu suka monyet atau aku.” Katanya lagi.

“Monyet.” Kataku sambil tersenyum memandang dirinya.

“Kamu manis seine jika tersenyum.” Katanya lagi.

“Kamu lucu .” kataku.

“Aku suka kamu bila senyum manis sekali, jangan murung laginya,  okey!.” Katanya.

“Okey.” Kataku menyambut tos nya.

“Aku mau kenalan boleh.” Katanya.

“Kamu kan udah kenal aku, Seine pangil namaku itu.” Kataku menjabat tangannya.

“Namamu bagus, seperti nama sungai.”

“Dan pangil aku Awan.” Katanya.

“Serius namaku kaya sungai, dimana?.” Kataku.

“Di sana.” Sambil  menunjuk sungai yang tadi ku lewati.

“Gak kok aku Cuma bercanda, namamu seperti nama sungai seine yang ada di tempat yang sunguh indah sekali, aku tahu itu dimana.” Katanya melihatku.

“Itu ada diparis, yup paris, aku ingin ke sana dan aku ingin mengajakmu Seine.”

“Coba kau lihat awan disana.” Katanya menunjuk awan.

“Kau tahu awan di sana itu, dulu itu hanyalan sebuah tetesan air yang kecil dan akhirnya menyatu, mungkin jika kau pikir itu tak mungkin tapi tetesan itu nyata dan kita Juga bisa terbang layaknya awan melalui mimpi, aku ingin bermimpi, berpetualang dan aku ingin melihat dunia di luar sana yang belum pernah kutahu sebelumnya ” Katanya.

Aku takjub dengan pemikirannya dan aku suka dengan gayanya, waktupun begitu cepat merajut benang – benang sulamnya hingga tak terasa hubungan kami tidak lagi kawan tapi sebuah hubungan yang menawan dan istimewa dan kini aku sudah di seberang jalan menungunya, dan ingin mendengar ceritanya yang selalu membuka mataku tentang massa yang kulalaui dan mungkin semua jawabanya yang membuat aku penasaran dengan kata – kata yang selalu bilang “Rahasia” akan terungkap semua di sini, kulihat dia ada di seberang jalan, kutelpon dia dan terdengar suara rington hpnya yang kencang berdera, ia pun menyebrang sambil mengangkat telfonku dan brak goncangan itu memunahkan aku dan rasaku, pelan kurasa rintihnya saat memangilku, aku menghambur dan memeluk badannya yang pucat pasi bersimbah merah dan mawar ke sukaanku yang biasa ia berikan padaku berhambur pecah di sekelilingnya, merah yang ku kenal sebagai temanku setiap pagi bukan itu, itu adalah arti merah…merah darah yaitu dukaku. “Seine, aku mencintaimu, maaf.” Itulah kata – kata terakhirnya. Masih ku pandangi sebuah kotak yang berisi cerita tentangku dengannya, ada surat, bertangkai - tangkai bunga mawar yang kering dan sebuah lukisan seukuran majalah gambaranya tentang seine di paris yang indah. Kurasakan kehadiranya, parfumnya dan ku dengar suara riak seine yang membelah eifel tepat di pilar – pilar kakinya yang jenjang tinggi.  Kupandangi titik kecil itu mengambang bagai kapas, lembut dan menjagaku seperti awanku. Masih, kau masih dan akan sama seperti awanku “Aku sayang kau Awan.” Kataku dalam hati dan menitikan air mata. Sebuah suara datang dan memangilku, “Aku suka kau Seine, aku suka Seine bila tersenyum.” Suaranya lembut dan kulihat tak ada siapapun, kupandangi awan di atasku lalu ia seolah tersenyum melihatku, “Aku janji Awan aku akan tersenyum untukmu dan aku sudah berjanji.” Kata Seine menutup kotaknya dan mencium foto Awan. Terdengar  suara riak sungai yang tenang mengalur melalui jalannya, sontak suaranyapun pecah oleh gongongan anjing dan terlihat samar – samar laki – laki berpeluh - peluh keringat menyapaku dengan senyuman dan ucapan hai. “Awan lagi.” Kata Seine tersenyum indah dan memangil laki - laki itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun