Mohon tunggu...
Elin Pratiwi
Elin Pratiwi Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Sastra jerman di Universitas Negeri Surabaya, penggiat sastra, Indonesia is not islamic country.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dichtung

14 Mei 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:19 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lagi buka folder nemu beberapa tulisan yang udah ane sortir “gak bagus” mungkin, tapi pingin share saja. Cekitdot….jangka waktu tulisan ini antara tahun 2011 dan 2012…NB:tema tulisan tidak mengarah ada satu topic, ini hanya sebuah kumpulan.

Sumpah kosong

Inspirasi memudar

Semua hitam menamparku tanpa peduli akan kesakitan

Entah itu apa yang ramai terbahak-bahak tanpa beban

Entah apa itu yang seolah berjalan diatas angin

Bosan menatap mata yang sama

Malu tapi punya mau

Ingin tapi sembunyi

Mati sajalah dan berganti dengan nyanyian-nyanian surgawi baru

Coba tengok dan baru rasakan itu sebuah belati menusuk jantungmu sendiri.

****

“Inilah aku yang berdiri tegak di hadapanmu

Inilah aku yang selalu memandangmu dari bawah sebagi pelayanmu

Inilah aku yang selalu meneteskan peluh ketika harus menghormatimu

Inilah aku yang berharap kau tetap diatas sana,dengan congkak tapi tesisih

Inilah aku yang seolah berlindung tapi sebenarnya melindung

Tolonglah tunjukankita besar

Kalau asli punya kita harta

Tak usah malu,aku ini pelayanmu yang sepertinya setia

Jadi tolong beri tahu dunia.”

****



Surat untuk bapak menteri.

­­­­pak ,kemarin baru kulambaikan tanganku kepada pesawat yg membawa Anda diatas langit

Yang membelah awan dan memecah angin.

Pak ,baru kemarin saya memajang foto bapak di dinding saya yang bolong,supaya tikus-tikus kecil itu tidak masuk dalam kamarku.

Baru kemarin juga kulihat ibukuyang kuli panggul memakai baju yang ada fotonya,lucu,besar tapi gagah dan berwibawa.

Kupandangi terus itu baju,kuamati ter yata itu gambar bapak.

Setiap hari tak lupa sekalipun saya memandang dan memberi hormat

Sebab kata ibu guru,”kalian harus hormat dengan orang-orang yang memperjuangkan kehidupan KALIAN”.

Sambil berharap bapak memberi sedikit senyum serta keajaiban agar ayahku bisa dikembalikan dari ganasnya laut dan ibuku diangkat jadi pembantu rumah tangga bapak.

Aku pasti sangat senang,adikku yang sekarat dan tanpa pengobatan pasti akan langsung berdiri dan sehat kembali, karena mendengar ibunya diangkat jadi orang penting bapak.

Karena kata ibu guruku,”menjadi kaki tangan orang penting itu jabatan terhormat”.

Tapi aku kecewa pak,mengapa di pagi hari yang sedikit mendung tadi,bapak pergi dari dunia ini.

Gudang uang bapak,yang bapak tampung dalam berangkas besar, bapak tinggalkan begitu saja.

Baru saja ibuku mau jadi pembantu bapak,mengapa bapak harus pergi.

Bapak masih punya janji sama KAMI bahwa akan merubah kehidupan KAMI,

Katanya kami bisa kaya? Tapi kapan?Oh aku tahu ,bapak pasti mau menampung banyak uang dulu,baru nanti dibagi-bagikan kepada KAMI.

TERIMA KASIH PAK.

Tapi? Bapak kan sudah mati, terus siapa yang akan membantu KAMI jadi kaya?

Oh mungkin,orang-orang yang berpakaian jas mengkilat serta ibu-ibu yang memakai sepatu tinggi, yang melayat kerumah bapak itulah yang akan membantu KAMI.

Aku tahu sekarang,terima kasih bapak atas kebaikannya..selamat jalan.

ELIN PRATIWI

SBY,05-04-2011

“Aku Ini Orang Hitam

Yang tak mengerti akan kuasa

Aku ini orang dari keburaman

Yang mencoba menerka arah tanpa kebrutalan.

Bukan duri yang mau terinjak oleh kaki

Tanpa alas

Bukan pula kapuk lembut

yang menerbangkan diri diatas imaji.

Ini hanya aku yang hitam,

Yang tak mengerti akan kuasa

Hanya aku

Yang buram yang menerka arah tanpa kebrutalan.

Biar tangan ini mengaduk lumpur

Lalu tubuh ikut-ikutan terkubur,

Safir yang menawan

Buta dipandangan.

Dan aku,

Tetap orang hitam yang tak mengerti

Akan kuasa yang berprasangka.”

***

“setiap sorot dalam kecilnya indera

Berbalut keindahan yang menabirkan makna

Ini ada satu objek saja yang diterka, menguap dengan satu titik mata”

Elin pratiwi September 2011

“Ini adalah pagi ketika asap mengepul diantara jemari

Mana tahan nafsu dengan lipstick merah meranting

Balutan kaki dengan lumpur sedengkul

Dada kembang kempis merekah bagai buah apel.

Ini pasti enak dicicipi,

Ini pasti nikmat dilayani

Berapa mau yang diberi,berapa mau yang harus dihargai

Punggungmu itu bungkuk karena beban seberat rumahmu

Matamu kering namun tak penah hitam

Tanganmu halus namun mengkerut

Nasib kaumku.”

Bodohnya sang.

Ketika hening mengikat ramai

Aku bagai mati diantara nafas

Congkaknya mereka tertawa, senyumnya itu basi

Cerdiknya gumpalan halus isi tempurung

Terbolak balik seperti dadar

Ini kaki masih diantara mereka yang ramai

Masih diantara mereka yang berdebat

Masih diantara mereka yang berpura-pura

Aku akan habis, habiskarena diamku

Elin pratiwi 20 januari 2012. ’12:40

Jangan menatap langit yang masih biru kekuningan

Jangan pula menatap lagit yang putih tak berbintik

Keadaan masih gelap ketika harus bangun mengangkat kaki

Burung masih mendekap anaknya dalam sangkar karna dingin tak mau beranjak

Lalu apa yang dipersulit?

Lalu apa yang dipikir?

Kembalilah keperaduan yang nyaman

Kemudian terbang bagai nyawa yang tak bertuan

Masih ada banyak api yang menghangatkan

Masih banyak selimut yang menutupi.

20 januari 2012



Diam angin tak bergerak

Diam sunyi hingga tak ada suara terdengar

Diam hingga dingin menyerbu kedalam sumsum tulang

Diam menjadi kata yang mulai menakutkan

Jadi apakah kita ini

Melawan dan memberontak

Jadi apakah kita ini? para penguasa

Telah berteriak hingga layaknya anjing tak makan

Tatap aku pak,tatap aku buk

Ini tanganku ,tolong potong

Ini kakiku,tolong buntungkan

Inikepalaku tolong penggal

Sudah cukup hari ini sunyi

Sudah cukup hari ini pesta

Sudah cukup kau berlayar di antartika

Sekarang kembalilah,lihat aku yang lelah untuk mempertahankan sepetak tanah.

Elin pratiwi

Lamongan,5 desember 2010

“Menulis adalah ketika apa yang ada diotakmu tersalurkan dengan rapi, saya adalah orang yang tertutup namun ketika menulis saya adalah saya yang apa adanya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun