Mohon tunggu...
Eka Siswanto Pratama
Eka Siswanto Pratama Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang Fisioterapist, Lahir di Parepare, Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bulan Pengkhianat!

17 Maret 2011   15:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:42 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ku sandarkan kepalaku di sofa yang tak berwujud sofa lagi, hanya sebuah gabus penyok yang terbungkus oleh sobekan sobekan kulit sintesis dan dibingkai dengan papan papan kayu. Tapi setidaknya sudah cukup menopang beratnya kepalaku malam ini.

Segelas kopi pahit yang telah masuk ke tenggorokan hanya terasa seperti air putih, hambar, tak ada pahit ataupun tak terasa butiran butiran kecil kopi yng tergerus oleh panasnya air dari dispenser.. Maksud hati, ingin menenangkan pikiran dengan efek kopi, yang katanya, bisa menenangkan pikiran dan membuat otak ku yang kecil ini untuk lebih fokus.

"Ah, dasar teori orang orang sok pintar, yang tak pernah merasakan yang namanya kopi!" Pikirku, bukannya menenangkan pikiranku, malah beribu bayangan bayangan tak jelas berkelabat memenuhi otakku yang kecil ini dan sudah penuh, tak tahu terisi apa, sampah mungkin.

Ku berdiri, dan beranjak dari sofa reot yang malah membuat pantatku sakit.

Ku buka jendela kamarku, ku biarkan angin masuk dan berharap anginnya bisa membawa sampah sampah pikiran yang sudah memenuhi otak kecilku.

"Hhh.." sejuk, setidaknya hembusan angin ini, berhasil mengangkut sampah sampah yang ada dalam otakku yang kecil. Tapi hanya sedikit, mungkin hanya 1/100 dari isinya.

"Makasih angin," bisikku saat hembusannya menerpa wajahku yang kusut.

Hembusan angin di jendela kamarku, begitu membuatku terlena, walau hanya sedikit. Sambil menikmati hembusan angin, tak sengaja, kudapati sang bintang berkedip tanpa sang bulan. Ku cari sang bulan, ku palingkan tatapan ku ke kiri atas, ke kanan atas, tak juga kudapati dimana keberadaannya.

"Kemana kau bulan??"
"Mengapa kau biar kan sang bintang bersinar sendiri malam ini?"
"Mana sanggup, sang bintang yang kecil itu menerangi malam yang luas ini?"
"Ahh, dasar kau, si bulan pengkhianat. Tega kau biarkan sang bintang sendiri malam ini??"
"Atau mungkin kamu selingkuh dengan sang awan malam ini??"

Huh, Bulan, Bulan, kamu sama saja dengan wanita itu.
Hhh.. Sampah sampah di otakku yang kecil yang tadinya sedikit berkurang, malah semakin bertambah banyak, karena memikirkan lagi si Bulan (baca : cewek) pengkhianat!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun