[caption id="attachment_312531" align="aligncenter" width="1200" caption="http://art.ngfiles.com/images/223/petski_lonely-tree.png"][/caption]
Sebuah ruangan berlampu temaram.
Penghuninya seseorang, yang senang memandang ke arah seberang dari balik tirai, sambil bergumam.
”Mungkin benar cinta itu talenta. Ia berkembang melalui pilihan-pilihan bebas dan sadar. Bukan hanya jatuh, terjebak, lalu hanyut. Karena hanyut atau tidak tetap soal pilihan. Bukan pula kelekatan. Karena cinta tidak menimbulkan ketergantungan. Tidak pula kekuasaan. Cinta melegakan napas, menumbuhkan tunas-tunas, terus tumbuh dan mengembang, mengambang di samudera dan menembus langit.
Ah.. Cintakah yang kulihat barusan? Kaki-kaki mungilnya berlarian bebas tanpa alas di sepetak tanah tak seberapa, di belakang dan samping rumah. Mereka menyusut, mengembang, mengambang dan bercengkrama di ranting-ranting pohon. Menelusup di ukiran batang, bergelantungan di mahkota bunga, dan bersemayam beberapa lama saat hujan tiba. Dalam pagar itu. Mereka tak pernah keluar dari situ. Beranak pinak. Dan mungkin dalam waktu dekat tempat itu akan sesak.”
Usai menggumam, ia menghela napas panjang. Tirai yang sedari tadi jadi perisai diremasnya. Seandainya cinta bisa dipaksa... bibirnya getir mengucap. Ia memejamkan mata. Berharap bayangan yang tinggal di pelupuk terusir oleh menutupnya kelopak. Tapi ia salah. Dalam gelap, bayangan itu hadir semakin dekat.
”Kalau orang yang benar-benar cinta mampu menggetarkan cinta hingga bergema, kuharap gaungnya terdengar sampai di seberang sana”, ia melepaskan bisiknya. Menuju jendela.
...
”Bang...”, perempuan itu terbangun tiba-tiba dengan dada yang berdegup kencang. Sebuah getaran aneh merasuk ke tubuhnya. Bisikan tanpa suara. Antara mimpi, halusinasi, intuisi. Sang pria membuka matanya malas. Kepalanya sungguh berat.
”Kenapa?”, ia bertanya, sambil merengkuh perempuannya kembali ke dada.
Napasnya tertahan.