Mohon tunggu...
Dyah Pratitasari
Dyah Pratitasari Mohon Tunggu... profesional -

Full time Mama | Breastfeeding Counsellor | Serves Preggos | Holistic Life Runner | pritazamzam@gmail.com | FB: Dyah Pratitasari | Twitter: @PritaZamZam\r\n

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Belajar dari Kematian Ibu Kartini

22 April 2014   01:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:22 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13980791182117355440

Lebih dari seabad yang lalu, Kartini berpulang. Diduga, kepergiannya disebabkan oleh komplikasi persalinan. Kalau ini benar, artinya kita perlu merenung dan belajar. Agar sejarah kematian Ibu setelah melahirkan, tak terus berulang.

[caption id="attachment_320893" align="aligncenter" width="300" caption="http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini"][/caption]

Kita memanggil namanya, Ibu Kartini.

Perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879 itu dikenal sebagai pahlawan emansipasi. Sejak remaja, ia sudah bercita-cita tinggi. Ingin perempuan Indonesia bisa mengakses pendidikan setinggi mungkin, sama seperti kesempatan yang dimiliki oleh kaum lelaki.

Sayang, kiprah Kartini harus terhenti setelah ia dikaruniai buah hati. Tak lama pasca melahirkan Soesalit Djojohadiningrat, putra pertamanya, Kartini meninggal dunia. Ajal itu menjemput secara tiba-tiba. Kartini yang awalnya “sehat-sehat” saja, tiba-tiba mengeluh perutnya terasa sangat nyeri. Lalu blass… terjadi begitu saja. Tak tertolong lagi.

Kepergian Kartini secara mendadak itu membuat banyak pihak berspekulasi. Ada yang mengatakan ia meninggal diracun. Ada pula yang menduga, Kartini mengalami komplikasi persalinan yang tak tertangani. Gejala nyeri perutnya, membuat sebagian kalangan curiga Kartini mengalami kejang yang kerap terjadi pada eklamsia.

Eklamsia, pendarahan, dan infeksi, memang menjadi faktor terbesar penyumbang kematian Ibu. Sumber lain mencatat, sebab yang lain adalah terlambatnya penanganan, serta kualitas pelayanan kesehatan yang tak memadai.

Sejarah yang terus berulang

Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan, angka kematian ibu di berbagai penjuru Nusantara terus meningkat. Pada tahun 2007, misalnya, angka kematian ibu berjumlah 228 kasus (per 100 ribu kelahiran hidup). Sementara pada tahun 2013, jumlahnya malah naik jadi 359 kasus.

Selama ini, persalinan di rumah, atau melahirkan bersama dukun acap dituding sebagai biang keladi. Menariknya, ketika pemerintah kian giat memindahkan persalinan ke fasilitas kesehatan, persalinan sudah dilakukan bersama tenaga kesehatan, dan pasien memperoleh fasilitas berobat gratis pun, angka kematian ibu tetap membubung. Kematian tersebut bukan hanya terjadi di daerah terpencil yang minim sarana, namun juga terjadi di Jakarta, yang notabene merupakan kota besar dengan sarana prasarana jauh lebih lengkap.  Ketua Asosiasi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND), Jumiami Ilyas, menuturkan, rumah sakit di DKI sering menjadi tempat rujukan pasien yang sudah tak dapat ditangani di daerah. “Karena sejak awal rujukannya sudah bermasalah, maka walaupun di sini peralatannya lebih lengkap, angka kematian tetap tinggi”, ungkapnya.

Menurut seorang kawan, dokter, yang enggan disebutkan namanya, kondisi seperti itu tidak perlu membuat kita heran. Sebenarnya, kita sudah punya banyak metode yang bagus untuk diterapkan. Inisiasi Menyusui Dini (IMD) misalnya, sangat membantu dalam menekan risiko pendarahan.

"Masalahnya, gimana IMD bisa diterapkan minimal 1 jam, kalau di sebelah sudah ada lusinan ibu yang juga perlu dilayani? Gimana pelayanan mau bagus, kalau perbandingan jumlah dokter sama pasien enggak sebanding sama sekali. Fasilitas berobat gratis, entah itu Kartu Jakarta Sehat atau BPJS, itu malah nambah masalah. Pasien membludak. Sementara kesejahteraan tenaga medis gitu-gitu aja. Anggaran kesehatan rendahnya keterlaluan, dan di sisi lain, masyarakat kita belum terbiasa berpola pikir mencegah datangnya penyakit dan merawat kesehatan. Lagipula, dokter, bidan, suster, rumah sakit, itu bekerja di bawah sistem. Kalau mau berubah, sistemnya juga kudu diubah!”, tandasnya, berapi-api.

Saya tersenyum mendengar curhat lengkapnya itu, dan… mengangguk setuju.

Iya.

Sepakat bahwa sistem kesehatan di negara kita perlu perbaikan di sana-sini. Bahkan, kalau perlu, dirombak habis-habisan.

Pertanyaannya, kalau cuma menunggu ada perubahan besar-besaran….

Kita mau menunggu sampai kapan?

Jujur, saya sudah tidak sabar.


Bagaimana kalau…

Kita mulai saja perubahan-perubahan kecil.

Nggak usah jauh-jauh.

Nggak usah menuding dan berharap dari orang lain.

Nggak usah yang rumit-rumit.

Sekarang juga.

Dimulai dari diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun