Mohon tunggu...
Dyah Narang Huth
Dyah Narang Huth Mohon Tunggu... Animator - Dyah Narang Huth

nama pendekku layaknya gado-gado dengan bumbu saus asing. Lahir dan besar di Jakarta. Selepas kuliah 1992, tinggalkan tanah air... karena cinta dan cita-cita. Terus berkecimpung dengan dunia pendidikan bahasa asing maupun budaya... termasuk bahasa Indonesia bagi penutur asing. Memilih profesi yang menghadirkan Indonesia di keseharian dengan mendirikan agentur budaya dan bahasa Indonesia. www.ikatagentur.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Macet dan Antri: Waktu dan Uang Terbuang?

23 September 2012   15:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pepatah klasik "Waktu adalah uang" dikenal di banyak budaya dan negara. Semakin lama aku tinggal di negri orang, semakin terasa bahwa pepatah itu rasanya sangat sulit diterapkan di Indonesia.  Di Indonesia banyak  waktu yang hanya digunakan untuk menunggu, dalam kemacetan, di antrian dan segalanya. Banyak hal yang sebenarnya bisa diubah untuk mempersingkat penantian ...tapi, apakah orang mau berubah? Di banyak hal, aku seperti merasa waktu yang dihabiskan untuk menunggu sepertinya sengaja dilakukan untuk tunjukkan kekuasaan... misalnya kekuasaan atas orang-orang yang punya keperluan surat-surat, administrasi dan sebagaiya.

Menunggu di antrian, contohnya di kantor pos
Aku kenal, ada karikatur di Jerman yang amat pas dengan situasi di kantor pos. Seseorang yang menunggu lama gilirannya hingga laba-laba pun sempat  membuat sarang di kepalanya... Karikatur itu mungkin sudah tidak pas lagi untuk situasi normal  Jerman yang cukup efisien di kantor pos, tapi untuk Indonesia, tepat sekali. Apalagi jika kantor posnya itu kecil, misalnya hanya ada 2 loket.

Kantor pos  di Indonesia bertugas jga mengurus segala jenis transaksi keuangan, tabungan, pengiriman wesel,pembayaran pajak dan sebagainya. Jadi biasanya ada 1 loket untuk pengiriman pos, pembelian perangko, pengambilan paket dsb.

Saat berada di tanah air,  aku sempat ke kantor pos di dekat rumah kami untuk mengambil paket, setiap kalinya aku selalu harus sediakan waktu lebih dari 1 jam, banyak hal sebagai alasan, misalnya saja  petugas pos di loket juga menerima telepon yang masuk... kadang lamaaa sekali pembicaraannya.  Jika ada paket yang harus dikirim maka dia juga harus menimbang, memasukkan data-data alamat pengirim, penerima ke dalam komputer lalu mencetaknya, menempelkannya di paket... kuhitung 1 paket berkisar 8 menit. Jadi kemarin ada 2 orang yang antri sebelum giliranku,  semuanya ada 5 paket... 40 menit harus menunggu karena sistim pencatatan kembali ke dalam komputer. Harusnya sistim pencatatan ini bisa diubah ... tapi  apakah kantor pos Indonesia mau berubah?

Menunggu di kemacetan
Hal ini sulit sekali dielakkan. Betapa banyak waktu yang dihabiskan dalam kemacetan di jalan-jalan. Di Jakarta, di Bali ... dan kuingat sekali percobaanku di Jakarta naik busway buka mataku mengapa telepon genggam di Indonesia begitu penting untuk dibuat sebagai- pembunuh waktu-  dalam menunggu.

Jam Karet
Hingga hari ini semua orang yang janjian denganku kebanyakan selalu on time, tidak jam karet. Tampaknya ada perubahan budaya dalam hal ini. Jam karet di Indonesia mungkin sering dibolehkan mengingat banyaknya kemacetan. Lagi-lagi hp jadi penyelamat untuk urusan jam karet di jaman kini, karena orang bisa menginformasikan keterlambatannya. Sedangkan jam karet dalam hal-hal ofisial mungkin di banyak tempat masih sering terjadi.  Yang aku alami, jika terbang sore atau malam, maka  jam berangkat pesawat akan mundur berkali-kali, agaknya ini sudah jadi -kebiasaan buruk- banyak maskapai penerbangan.

Waktu adalah uang?  Bisa jadi. Keputusannya di tangan kita semua, bagaimana mau manfaatkan waktu tersebut dan harus kita akali kendala-kendala agar  pepatah tersebut bisa kita realisasikan bersama...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun