[caption id="attachment_124319" align="aligncenter" width="300" caption="sumber:matanews.com"][/caption] Kemiskinan di negeri ini tak pernah selesai penanganannya. Seiring perjalanan dari waktu ke waktu, nasib orang miskin masih tetap miskin, meski nasibya selalu menjadi perbincangan di gedung-gedung mewah, mulai dari istana negara hingga hotel mewah. Tentunya kita patut prihatin dengan apa yang terjadi di negara ini, ketika negara memberlakukan tidak manusiawi kepada orang miskin. Sebagaimana yang terjadi di Jakarta baru-baru ini, bagaimana Pemerintah begitu "galaknya" terhadap kaum miskin, namun tidak bagi pelaku Koruptor. Jika diperhatikan pada aspek perlindungan anak, Sebenarnya kebijakan ini patut disambut gembira, dimana orang dewasa yang melibatkan anak-anak untuk mengemis akan di tahan 10 tahun penjara atau denda Rp.200 juta. Agar anak tidak dijadikan alat eksploitasi. Namun jika dilihat secara keseluruhan, tentunya kebijakan ini juga tidak adil bagi seorang miskin, hanya gara-gara mengemis dan mengajak anak kecil dikenakan hukuman sebesar itu, yang tentunya sangat sulit untuk membayangkan jumlah besaran uang tersebut. Boro-boro membayangkan, memegang uang Rp. 100 ribu itu pun belum tentu dapat. Masalah Pengemis tidak lepas dari persoalan Pe-miskinan, dimana orang miskin seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Namun di Negara ini, justru orang miskin (pengemis) dibiarkan begitu saja. Bahkan yang lebih aneh, Negara juga mengkriminalkan pekerjaan orang miskin ini. Tidak heran jika orang miskin tetaplah orang miskin, yang selalu merasakan kesulitan untuk mengakses pekerjaan, mendapatkan layanan kesehatan, hingga pendidikan bagi anak-anak mereka, serta mendapatkan kemudahan jaminan sosial lainnya dari negara, justru semakin menderita. Meski kita tahu, bahwa kita punya UUD '45 amandemen ke 4, pada pasal 34, ayat (1) menjelaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kemudian di ayat (2)   Negara  mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3)   Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Sayangnya UUD '45 ini justru bertentangan dengan KUHP pasal 504, ayat: (1) Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu. (2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. Pasal 505 (1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Biasanya Pasal inilah yang sering digunakan oleh Polisi maupun Satpol PP untuk melakukan razia terhadap para pengemis dan gelandangan. Para aparat inilah yang kadang telah "menumpulkan hatinya" dan tidak mau tahu kenapa seseorang menjadi pengemis atau gelandangan. Mereka yang selama ini menjadi miskin dan melakukan aktivitas mengemis dan menggelandang tentunya bukanlah kehendaknya. Jika ada pilihan, mereka yang rata-rata menjadi pengemis atau menggelandang tentunya memilih pekerjaan yang tetap, dan penghasilan yang mencukupi. Namun pilihan itu hanyalah sebuah ilusi, ketika mereka masih hidup disebuah negara yang diliputi perilaku yang lebih tidak terpuji yang bernama KORUPSI. Sayangnya Negeri ini lebih memilih mencari aman, dengan cara mempertajam hukuman bagi orang yang lemah dan miskin dibanding dengan para pelaku tindakan pidana Korupsi. Surakarta, 12 Agustus 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H