Mohon tunggu...
Cecep Hasanuddin
Cecep Hasanuddin Mohon Tunggu... lainnya -

Sedang mencari pekerjaan, titik!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

"Doa Ibu" yang Bikin Kesel

31 Desember 2010   14:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:07 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya naik bis Doa Ibu dari terminal Rawa Bango pada (27/12), beberapa hari lalu, karena memang saya mau ke Cileunyi- diteruskan ke Cibiru, Bandung. Bis kepunyaan pengusaha asal Tasik itu pun melaju. Saya- mungkin bukan sebuah keberuntungan, saya berdiri di tengah. Tidak duduk. Kursi bis penuh. Padat. Yang lain pun begitu, ada yang berdiri. Beragam. Ada bapak-bapak, ibu-ibu sambil menggendong anak, anak muda, juga gadis berdandan menor, tepat di belakang saya berdiri.

Bis berwarna biru dengan motif relkereta itu terus melaju. Kencang. Ya, si Doi memang terkenal dengan cepatnya. Bisa disebut patas mungkin. Sesak di dalam bis. Amat sesak. Kaki ini sulit bergerak, terhimpit kaki penumpang lainnya. Belum lagi, di depan saya ada sebongkah tas sebesar karung beras yang bikin sempit. Mau diduduki, eh di dalam tas itu isinya pisang. Pisang yang sudah agak kenyal. Coba kalau saja saya mau sedikit jahat- tas itu pasti saya duduki, sebab sudah pegal belulang ini terlalu lama berdiri.

Saya tidak tahu. Setiap ada calon penumpang yang mencoba melambaikan tangan ke arah bis yang saya tumpangi- bis itu masih juga berhenti lantas menaikkan begitu saja penumpang, meski bis sudah full. Awak bis ini mencari apa, ya? Keuntungan atau kenyamanan buat para penumpang? Utamanya pasti keuntungan. Terpaksa, hati ini memuntahkan kata-kata tak pantas. Andai saja saya muncratkan ke muka salah satu awak bis, rasanya mungkin wajar, bahkan harus. Tapi, itu tak sampai terjadi. Untung saja. Kata-kata itu hanya mengalir dalam hati, tanpa tumpah di mulut. Itu hanya sekedar protes hati.

Salah satu penumpang, yang juga berdiri yang ada di depan saya- ia sempat protes. Hanya menggerutu. Nadanya tak menerima dengan keadaan bis yang sudah sesak, malah penumpang terus dinaikkan.Dan saya pula yang mendengarnya. Penumpang lain sibuk dengan sendirinya. Ada yang kepalanya mengangguk-angguk, bukan karena menikmati musik, tapi diserang ngantuk. Ada pula seorang ibu- yang membujuk bayinya agar tak menangis, apalagi bis yang saya tumpangi ini panas, rada bau keringat, ah, pokoknya mau muntah. Beginilah kalau di bis non AC. Wajar,Bung! Kalau mau harum, silahkan naik bis AC. Mungkin itu juga, sebab ada juga yang AC, tapi tetap bararau hangseur.

Doa Ibu sampai di Rajamandala. Sebagian penumpang ada yang turun, dan ada pula yang naik, tapi lebih banyak yang naik daripada yang turun. Dua orang turun, tujuh orang naik. Bis yang sudah mendekati uzur itu semakin tak memberikan kenyamanan. Saya sadar pula, penumpang sangat rame, karena memang minggu-minggu itu diselingi dengan libur natal dan menuju tahun baru. Wajar bis-bis semua rame. Dan terima saja bila bepergian kalau tak dapat kursi- selagi belum punya mobil/bis pribadi.

Tak terasa, bis yang saya nikmati sudah di Tagog Apu, Cipatat, Kabupaten Bandung. Di kanan kiri terlihat gunung-gunung menjulang, tapi bekas ekploitasi. Digali. Digaruk. Batu-batunya diangkat, dimanfaatkan, dan dipasarkan menjadi barang-barang antik. Jalan berkelok-kelok bak ular sanca. Ini membuat penumpang membuat pening kepala. Anak perempuan- kira-kira delapan tahun, di samping saya- ia muntah, mungkin karena tak tahan. Sang ayah langsung mengelap muntahan tadi yang tertumpah di atas kursi. Bau muntahan tadi menyeruak ke penjuru hidung para penumpang yang sempat menciumnya.”Nikmati saja lah,” kata saya melalui hati kecil.

Bis berhenti. Saya dongakkan kepala, sambil mata menelisik ke arah depan. Mobil-mobil di depan bis kami mengantre berhenti. Perlahan bis berjalan. Hanya perlahan-lahan. Keringat mulai mengalir. Kaca jendela bis yang ada di samping kiri langsung dibuka oleh penumpang yang duduk di sampingnya. Segar angin membuat tensi kesal saya menurun. Perlahan hilang. Hati mulai dingin. Kejengkelan pada awak bis, mau tak mau harus dibuang secepatnya. Kalau tidak, akan jadi semacam blunder yang menyebabkan penyakit bersarang.

Sudah di Tol Padalarang-Cileunyi. Aman. Pasti lancar. Tak sengaja, di batok kepala ini- terlintas, andai bis yang saya tumpangi tergelincir. Barangkali penumpang yang bejibun itu dirongrong malaikat Izrail. Saya pun begitu. Yang selamat, mereka menangis tersedu, bahwa kejadian itu sungguh di luar dugaan. Ini musibah. Lamunan tingkat tinggi tak tertahankan. Hingga tiba-tiba buyar oleh awak bis yang mengingatkan bahwa Cilenyi beberapa jengkal lagi sampai.”Cileunyi…cileunyi…”kata kondektur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun